April 27, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Sumiyati, PMI asal Grobogan Yang Meninggal Dunia Karena Dibakar Hidup-Hidup Oleh Majikannya

4 min read

GROBOGAN – Beberapa lembar foto cetak berwarna hasil jepretan kamera jadul mengabadikan sosok Sumiyati, anak kedua hasil buah cinta Maryono Wirodirjo (62) dan Sunarsih (57).

Meski jumlahnya tak banyak, setidaknya foto yang dipajang di dalam album itu menyimpan sejuta memori yang tak terlupakan bagi keluarga kecil Sumiyati di Dusun Galeh, Desa Kramat, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.

“Istri saya paling rajin membersihkan debu yang menempel di album foto Sumiyati. Selalu saja kami tak kuasa menahan tangis kalau melihat foto Sumiyati. Begitu kuat kenangan dari Sumiyati di hati kami,” tutur Mbah Maryono, sapaannya, saat ditemui Kompas.com di rumahnya, Rabu (10/1/2018).

Di rumah sederhana berdinding papan dan beralaskan tanah inilah Sumiyati menghabiskan masa kecilnya sebagai seorang anak petani. Hidup di lingkungan keluarga dengan kondisi perekonomian yang pas-pasan perlahan membangun kepribadian Sumiyati menjadi gadis yang bersahaja.

Pendidikan karakter Sumiyati ditempa sejak dasar di sekolah berbasis agama atau madrasah. Sumiyati pun tumbuh berkembang sebagai gadis yang religius. Putri kedua dari tiga bersaudara itu dikenal tekun shalat dan mengaji.

Dia tak pernah menuntut keinginan di luar batas kemampuan finansial orangtua, justru dia dengan senang hati membantu orangtuanya terjun ke sawah.

Sikap dan perilaku positif yang ditunjukkan itulah yang membuat potret Sumiyati memperoleh tempat istimewa di benak keluarga.

“Sumiyati anak yang baik, penutur, pendiam, dan tidak neko-neko. Shalat dan mengaji tak pernah luput, dengan keluarga begitu baik dan ringan tangan,” ungkap Mbah Maryono.

 

Bertaruh nasib ke Arab Saudi

Selepas menghabiskan waktu menuntut ilmu di madrasah tsanawiyah di kampung halamannya, Sumiyati tidak melanjutkan ke jenjang SMA. Karena keterbatasan ekonomi, dia memilih membantu orangtuanya bertani di sawah. Pada tahun 2000, Sumiyati yang lahir pada 1 Maret 1984 tersebut menikah dengan lelaki idaman yang juga tetangganya, Sukardi.

Pernikahannya dengan pekerja bangunan tersebut dianugerahi seorang putra yang diberi nama Muhammad Rozi.

Hingga suatu ketika, hasrat Sumiyati untuk mengubah strata hidup mengantarkannya untuk bertaruh nasib ke negeri orang. Dia tergiur dengan nasib para tetangganya yang sukses setelah menjalani profesi sebagai pahlawan devisa negara di Arab Saudi.

Pada Mei 2004 melalui penyaluran Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) PT AMRI Margatama, Jakarta, Sumiyati akhirnya terbang ke Arab Saudi bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Saat ditinggal hijrah menjadi pekerja migran Indonesia ( PMI) di Arab Saudi, anak semata wayangnya masih berumur dua tahun.

“Mbak nitip Bapak, Emak, dan Rozi ya, Dik. Mbak tidak akan pulang sebelum sukses,” ujar Yuliatun (29), adik Sumiyati, menirukan pesan kakaknya itu sebelum hengkang ke Arab Saudi.

 

Nyawa dibayar nyawa

Satu tahun berlalu, Sumiyati masih aktif berkomunikasi dengan keluarga melalui sambungan telepon. Gaji selama setahun yang disisihkan Sumiyati sebesar Rp 13 juta dikirimkan kepada keluarganya untuk membantu menyokong hidup.

Kekhawatiran mulai menyelimuti keluarga. Selama bertahun-tahun Sumiyati tidak pernah ada kabarnya. Pihak keluarga pun kesulitan mengakses Sumiyati. Sampai akhirnya bunyi dering ponsel dari nomor berkode Jakarta itu mengawali hancurnya asa yang menggunung bagi keluarga Sumiyati di desa terpencil tersebut.

“Telepon dari perusahaan penyalur di Jakarta menginformasikan bahwa Mbak Sumiyati meninggal dunia karena dibunuh majikannya. Kabar pada tahun 2010 itu kami terima setelah tiga bulan Mbak Sumiyati meninggal dunia. Seketika kami berteriak, menangis, dan shock. Kami tak habis pikir, Mbak Sumiyati yang kami cintai nasibnya berakhir tragis,” kata Yuliatun.

Hingga sejauh ini, kasus pembunuhan Sumiyati masih dalam persidangan oleh pihak pengadilan setempat. Pihak keluarga berharap majelis hakim menjatuhkan hukuman yang setimpal kepada pelaku yang menghilangkan nyawa Sumiyati. Hak-hak yang sudah sepatutnya diterima pihak keluarga Sumiyati supaya segera diserahkan.

“Utang nyawa dibayar nyawa. Kami minta hukum di Arab Saudi bisa berlaku seadil-adilnya, dan kami mohon kepada Bapak Presiden Jokowi mengawal kasus ini. Karena sudah bertahun-tahun, kasus ini tidak ada kabarnya,” ucap Sunarsih, ibunda Sumiyati.

 

Sumiyati tewas dianiaya

Ketua Lembaga Pemerhati dan Advokasi TKI, Jawa Tengah, Harso Mulyono menyampaikan, pihaknya merupakan tim pendamping hukum kasus Sumiyati. Data yang diterima pihaknya dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Jeddah, Arab Saudi, menyebutkan bahwa Sumiyati tewas pada 11 Februari 2010 di Kota Najran, Jeddah.

Tanpa sebab yang jelas, Sumiyati dianiaya secara sadis oleh majikan perempuannya, Sofiah binti Ahmad Ibrahin Assiri. Sumiyati kemudian dibakar hidup-hidup dan jasadnya yang hangus dibiarkan begitu saja di lantai atas rumah.

Terbongkarnya kasus itu, sambung Harso, setelah keluarga pihak majikan lelaki melaporkan kejanggalan itu kepada otoritas Arab Saudi. Dari kasus ini, pengadilan menyidangkan dua terdakwa, yaitu majikan perempuan Sumiyati, Sofiah binti Ahmad Ibrahin Assiri sebagai seorang ibu rumah tangga dan pelaku pembunuhan Sumiyati, serta majikan lelaki Sumiyati, Amir Muhammad bin Amir Al Assiri, pejabat publik di Jeddah, yang dianggap terlibat karena membiarkan kasus ini terjadi.

“Jasad Sumiyati hangus sehingga dengan pertimbangan segala macam dari keluarga dikebumikan di Arab Saudi. Ditusuk, dipukul, dan dibakar oleh majikan perempuan. Sungguh biadab pelakunya yang beralasan jengkel karena ditagih uang gaji oleh Sumiyati,” kata Harso.

Menurut dia, pihaknya terus mendorong semua pihak untuk ikut mengawal kasus Sumiyati. KJRI di Jeddah, kata dia, juga sudah berupaya sepenuh hati mengawal persidangan kasus Sumiyati yang belum juga final.

“Intervensi pihak asing ke dalam proses pengadilan di negara mana pun tidak diperkenankan. Itu yang jadi kendala. Yang jelas KJRI terus mengawal. Kami mendorong semua pihak supaya hak ahli waris keluarga Sumiyati dipenuhi, termasuk pembayaran sisa gaji hampir lima tahun atau Rp 120 juta,” ujar Harso.

Dia menambahkan, harapan keluarga Sumiyati adalah hukum syariat Islam di Arab Saudi bisa ditegakkan. Pihak keluarga menghendaki hukum Qisas, istilahnya dalam hukum Islam berarti pembalasan (memberi hukuman yang setimpal), mirip dengan istilah “utang nyawa dibayar nyawa”. Dalam kasus pembunuhan, hukum Qisas memberikan hak kepada keluarga korban untuk meminta hukuman mati kepada pembunuh.

“Kami minta hukum di Arab Saudi tegas sebagaimana diberlakukannya hukuman mati kepada raja Arab Saudi, Turki bin Saud al-Kabir, pada 2016 dan salah satu kasus paling mengemuka di kalangan kerajaan adalah ketika Faisal bin Musaid al Saud, yang membunuh pamannya, Raja Faisal, akhirnya dieksekusi pada 1975,” tutur Harso. [Asa/KCP]

This slideshow requires JavaScript.

Advertisement
Advertisement