50% PMI Di Malaysia Ilegal
KUPANG – Setengah atau 50% dari jumlah pekerja migran Indonesia (PMI) yang bekerja di Malaysia adalah tenaga kerja yang berstatus sebagai tenaga kerja illegal. Meskipun data jumlah PMI di Malaysia bervariasi berdasarkan data beberapa lembaga yang bergerak dalam urusan ketenagakerjaan, tetapi secara kunatitas jumlah PMI yang illegal lebih dari setengah dari total jumlah PMI.
Hal ini terungkap dalam diskusi interaktif human trafficking dengan tema “sikap dan strategi penanggulangan human trafficking” yang diselenggarakan oleh Badan Pengurus Cabang Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Kupang di Ballroom Neo Aston Hotel Kupang, Jumat (03/07/2018).
Dalam diskusi yang menghadirkan Kepala Dinas Tenagakerja dan Transmigarasi Provinsi NTT Bruno Kupok, Kepala BP3TKI Kupangg Siwa SE, pegiata Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIK) Elin Out dan Kasubdit IV Dit Reskrimum Polda NTT Kompol Rudi Ledo SIK sebagai pembicara ini terungkap data yang miris dan memilukan ini.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTT Bruno Kupok, dalam pemaparannya mengungkapkan berdasarkan data yang diperoleh pihaknya, jumlah Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di Malaysia, setengahnya adalah illegal.
Bahkan yang menimbulkan kegelisahan adalah, dari total seluruh tenaga kerja yang bekerjeja di luar negeri, sebanyak 80% nya merupakan tenaga kerja illegal.
Termasuk, data total 170 tenaga kerja yang meninggal di luar negeri, hanya enam PMII yang berstatus tenaga kerja legal.
Terhadap persoalan ini, Pemerintah daerah melalui Disknakertaras, lanjut Bruno, menaruh respons yan tinggi terhadap persoalan ini dan telah melaksanakan tindakan konkrit dalam upaya untuk menaggulangi persoalan human trafficking khususnya yang terjadi di Provinsi NTT.
Jelasnya, saat ini Disnakertrans telah membentuk posko satgas pencegahan PMI illegal di Bandara El Tari Kupang dan Pelabuhan Tenau Kupang serta seluruh pintu keluar di setiap kabupaten di NTT. Hal ini dilakukan dengan dasar, sebagian besar calon tenaga kerja yang berminat untuk menjadi PMI sering menempuh proses nonprosedural untuk menjadi PMI.
“Karena mintanya inggi untuk kerja di luar negeri dan pengurusannya nonprocedural, maka kita harus cegah sebelum mereka berangkat,” ungka Bruno.
Berdasarkan data Disnakertrans, selama periode 2016 hingga Agustus 2018, Satgas Pencegahan ini telah mencegah keberangkatan 1.240 calon TKI dalam koordinasi dengan selruh instansi terkait yang terdiri dari Polisi, TNI AU, TNI AL, Syahbandar dan Bandara. Sedangkan dalam tahun 2018 sendiri, sebanyak 287 calon tenaga kerja illegal telah dicegah keberangkatannya.
Dinas juga telah membentuk layanan terpadu satu atap atau Lembaga Pelayanan Satu Atap (LPSA) untuk mempermudah, mempercepat dan mempermurah proses pengurusan perijiinan untuk menganggulangi prosedur pemberian perijinan yang terlalu panjangg, berbelit belit dan berbiaya besar yang selama ini dikeluhkan oleh calon tenaga kerja.
Kompol Rudi Ledo SIK menggarisbawahi sinergisitas dan upaya bersama dalam menanggulangi tindak pidana penjualan orang (TPPO) ini tanpa harus berlarut-larut untuk saling mempersalahkan antara satu institusi dengan institusi lain atau mempersalahkan Negara.
Rudi menjelaskan dalam rangka proses pencegahannya, harus ada penanganan khusus termasuk untuk mencegah lolosnya tenaga kerja illegal ke luar negeri. Menurutnya, telah ada wacana di internal kepolisisan untuk mengkhususkan para petugas yang bertugas di pintu gerbang keluar wilayah baik itu di pelabuhan udara mauun pelabuhan laut.
“Rekan-rekan harus dilatih khusus sehingga mampu mendeteksi orang yang diduga akan menjadi korban perdagangan orang yang akan keluar daerah ataupun pelaku perdaganagan orang yang membawa korbannya. Ini karena human trafficking memiliki kekhususan, dengan pola dan metode yang makin berkembang,” ungkap perwira dengan satu bunga di bahu ini.
Ia juga mempertanyakan, yang terjadi selama ini dimana posisi pos polisi yang jauh bandara.
“Di Bandara sipil, kenapa polisi berseragam tidak ada? Padahal perlu untuk mencegah hal-hal seperti ini,” tanyanya retoris.
Rudi mengungkapkan perlu keterlibatan semua pihak untuk duduk bersama dan membenahi secata bersama persoalan yang mengakar di NTT ini.
Elin dari JPIT berpendapat bahwa masalah human trafficking merupakan masalah yang kompleks dan butuh keterbukaan semua pihak untuk bertnggung jawab dan berbenah.
“Masalah ini kompleks, sangat sulit untuk menuding salah dan benar. Semua pihak sama-sama berbenah diri, melakukan otokritik terhadap diri, apa saja tanggung jawab yang belum kita lakukan dan laksanakann, sehingga ke depan tidak ada lagi persoalan-persoalan seperti ini,” ungkapnya.
Menurut Elin, salah satu penyebab maraknya tenaga kerja illegal adalah persoalan korupsi yang terjadi sehingga dana yang seharusnya digunakan untuk mensejahterakan masyarkat tidak sampai pada sasarannya. Faktor lain yang juga menjadi pemicu adalah kondisi tempat mereka yang memaksa untuk mencari penghidupan yang lebih baik dengan menjadi tenaga kerja Indonesia.
“Bukan keinginan tetapi kondisi desa tempat tinggal yang memaksa mereka harus pergi, ada banyak factor sebenarnya, termasuk perputaran uang di desa dangat susah, itu yang mendorong mereka,” katanya.
Oleh karena itu lanjut Elin, pihaknya telah melakukan berbagai kampanye dan sosialisasi terhadap public terkait persoalan ini. Pihaknya juga telah melaksanakan pendampingan dan memberikan bantuan bagi para korban perdagangan orang.
BP3TKI Kupang mencatat, NTT sebagai fovorit penyumbang tenaga kerja yang bekerja di bidang rumah tangga di Malaysia. Dari system pemberangkatan tenaga kerja, sebagian besar melalui BP3S dan mandiri melalui mekanisme reentry atau lewat perusaahan. Tidak seperti Jepang dan China, belum menerapkan mekanisme pemberangkatan tenga kerja melalui mekanisme GtoG atau pemerintah ke pemerintah.
Pada akhir diskusi, muncul hal penting yang ditawarkan sebagai solusi oleh pemerintah yakni pendataan akurat untuk tenaga kerja Indonesia yang berada di luar negeri seperti di Malaysia. Implikasinya adalah dengan data yang benar dan akurat, untuk jumlah tenaga kerja illegal yang ingin pulang maka akn diurus kepulangannya sedangkan untuk tenaga kerja illegal yang ingin tetap bekerja maka diurus kelegalannya.
“Intinya setelah kita dapat data akurat, berapa jumlah yang illegal, yang mau pulang kita urus pulang, dan kedua yang mau tinggal, diurus kelegalannya,” pungkas Kepala Dinas Nakertras Provinsi NTT.
GMKI sebagai sebuah gerakan juga mengajak semua pihak untuk tetap menyuarakan kampanye menolak human trafficking yang tengah marak di NTT. Dengan hastag #BARENTIBAJUALORANGNTT- KATONGSONDEDIAM, GMKI ingin menularkan semangat untuk menentang perdagangan orang terutama melalui modus tenaga kerja illegal dan menyelesaikan kasus perdagangan orang yang mengakibatkan korban. [Ryan]