February 5, 2025

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

7 Desa Masih Terisolir, Warga Korban Gempa Meninggal Dunia Karena Kelaparan

4 min read

DONGGALA – Seorang warga, korban dampak gempa dan tsunami di Desa Malei, Kecamatan Balaisang Tanjung, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah (Sulteng) dikabarkan meninggal dunia akibat kelaparan.

Hal itu diketahui dari salah seorang warga bernama Harjo, 38. Harjo sendiri adalah korban, asal Desa Malei, tentangga desa korban yang disebutkan meninggal karena kelaparan. Harjo menceritakan bagaimana kondisi memperihatikan ribuan warga korban bencana di tujuh desa di kecamatan Balaisang Tanjung, Donggala, yang tak tersentuh bantuan logistik, berimbas dengan meninggalnya satu orang korban.

Sebelum diketahui meninggal dunia, sambungnya, warga tersebut sempat turun ke kampung untuk mencari makanan. Tetapi sebagian warga di kampung yang mempunyai kios penjual beras juga turut mengungsi. Sehingga tidak sempat membeli beras.

“Saya kurang tahu usia tepatnya itu berapa tapi yang jelas dia itu laki-laki baru sudah lanjut usia. Diperkirakan mati kepalaran karena paginya, dia turun ke kampung cari makanan. Jadi sorenya begitu langsung meninggal diperkirakan mati kelaparan,” Harjo bercerita saat ditemui di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu, Sabtu (6/10).

Sayangnya Harjo mengaku kurang begitu mengingat nama jelas korban yang meninggal, pada Kamis (4/10) sore lalu itu. Lelaki yang berprofesi sebagai pedagang di kios-kios sederhana di desanya ini mengaku, dampak gempa berkekuatan 7,4 SR meratakan nyaris sebagian besar rumah-rumah, lahan perkebunan dan jalanan terjal masuk desa.

Letak tujuh desa berdampingngan di kecamatan setempat digambarkan Harjo, dikelilingi kawasan pegunungan. Di bawah gunung, desa berjajar sepanjang kawasan pesisir, tak begitu jauh dari bibir pantai. Sebagian besar warga desa, berprofesi sebagai nelayan dan berkebun. Jaraknya dari Kota Palu sekitar 120 kilometer membuat, desanya dan enam desa lainnya betul-betul terisolir dan jauh dari perhatian dan bantuan logistik.

“Sampai saya tinggalkan itu waktu kemarin (Jumat) sama sekali belum ada masuk logistik di sana. Itu di tenda-tenda pengungsian warga-warga disana, kelaparan itu orang. Sudah berapa hari dengan ini, warga saya liat terakhir ada saja yang makan pisang, singkong, itu saja yang dipakai bertahan hidup itu di tenda, itu pun tidak bisa cukup mungkin karena hanya kebun yang kita ambil,” jelasnya.

Saat gempa terjadi pada Jumat (28/9) lalu, ia sempat menyelamatkan ratusan jiwa. Dengan menggunakan mobil truk, warga setempat diangkut secara bergantian untuk menyelamatkan diri ke atas kawasan gunung. Desanya dan enam desa lain, memang tak terkena tsunami, namun dampak gempa, meluluhlantakkan sebagian besar bangunan semi permanen hingga lahan perkebunan milik warga disana.

“Saya kurang tahu waktu saya tinggal desa itu sudah masuk bantuan atau belum, yang jelas terakhir sekali itu sampai masuk hari kelima kemarin dulu itu belum ada saya liat bantuan logistik, mau beras, mau apa-apa, belum ada yang saya lihat masuk,” lanjutnya bercerita.

Harjo sendiri harus menempuh kurang lebih delapan jam perjalanan melalui darat, dari desanya ke Kota Palu. Mewakili enam desa lainnya, kedatangannya hanya untuk melaporkan ke pemerintah setempat bahwa disana sama sekali belum tersalurkan bantuan logistik. Pusat distribusi logistik pasca bencana saat itu hingga sekarang ini dipusatkan di Makorem 132/Tadulako, Kota Palu.

Pemerintah Donggala lanjut Harjo, sama sekali belum memberikan perhatian terhadap kondisi di desanya dan enam desa lainnya. Harjo berharap, setelah melaporkan terkait kondisi desanya, bantuan logistik berupa beras, dan kebutuhan dasar lainnya hingga bantuan medis seperti obat-obatan bisa segera tersalurkan.

“Kalau terlalu lama, mau ditahan-tahan jangan sampai jatuh lagi korban-korban lain. Sudah kena musibah bencana, ada lagi nanti yang mati karena kelaparan, kan itu kasian sekali. Warga kita di sana butuh sekali itu, bantuan-bantuan logistik disana,” harapnya menutup.

 

Pemerintah Belum Mengetahui

Kepala Bagian (Kabag) Hubungan Masyarakat (Humas) Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulteng, Adiman mengaku, pihaknya belum mengetahui pasti terkait meninggalnya warga berusia lanjut itu di sana.

“Masalah itukan, saya juga mendengar itu. Tapi kebenarannya belum bisa saya pastikan. Tapi kalau Balaisang Tanjung itu, dalam rapat memang kemarin, masih terisolir itu. Belum bisa, karena banyaknya, belum ada akses bisa masuk ke Balaisang Tanjung itu,” jelasnya saat dikonfirmasi, melalui sambungan telepon, di Palu, Minggu (7/10).

Persoalan akses ke lokasi terdampak parah ke lokasi Balaisang Tanjung, menjadi alasan mendasar pemerintah tak begitu mengetahui jelas kondisi masyarakat korban gempa yang mengungsi di kawasan pegunungan sekitar.

Alasan itu, justru bertolak belakang dengan keterangan sejumlah warga yang menyebut jika akses melalui darat ke kawasan terilosir di Balaisang Tanjung, bisa dilalui. Hanya saja, diperlukan banyak bahan agar kendaraan mampu menjangkau lokasi.

Adiman mengungkapkan, dalam rapat internal yang melibatkan seluruh pimpinan daerah kabupaten di Sulteng, khususnya Bupati Donggala, Gubernur Longki Djanggola, menginstruksikan agar lokasi terisolir di sana terlebih dulu ditinjau. Hal itu untuk memastikan kondisi akses dan warga korban yang sementara masih bertahan di tenda-tenda pengungsian.

“Mereka akan pakai heli untuk melihat kondisi itu. Dari Kemeterian Pekerjaan Umum (PU) juga sudah diminta untuk membukan isolasinya itu. Karena itukan daerah terisolir,” ungkapnya.

Belum ada kejelasan lebih lanjut, terkait rencana apa yang akan dilakukan pemerintah untuk menangani korban di tujuh desa tedampak parah bencana yang terisolir di sana. Adiman hanya menjanjikan untuk membuat rilis menyoal penanganan kondisi Balaisang Tanjung.

Bencana yang menimpa warga setelah gempa berkekutan 7,4 SR disusul tsunami yang menghantam kabupaten Donggala, Sigi dan kota Palu, seperti tidak ada habisnya.Seorang warga, korban dampak bencana di desa Malei, kecamatan Balaisang Tanjung, meninggal dunia akibat kelaparan.

Kehebohan terkait meninggalnya seorang warga akibat kelaparan itu, rupanya tersebar hingga ke kecamatan dampak bencana lain di Donggala. Rizaldi, 41, seorang warga di desa Wani II, kecamatan Tawaeli, Donggala, mengaku mendengarkan kabar terkait meninggalnya warga berusia lanjut itu di kawasan terilosir, pesisir Malei.

“Memang kita dengar itu parah juga. Kan ini daerah situka pesisir semua. Kawasan pesisir itu pasti parah. Ada sepupu saya yang dari pantai barat (Balaisang Tanjung) itu di kawasan pesisir juga di sana dan itu tenda-tenda semua berjejer di sana itu dampak parahnya,” kata lelaki yang berprofesi sebagai pengacara di Kuningan, Jaksel ini saat ditemui di desa Wani II, Minggu (7/10) sore tadi.

Keterlambatan datangnya bantuan logistik, karena tersentralisir di satu titik lokasi  bencana disebut-sebut menjadi faktor utama satu nyawa melayang akibat kelaparan di Donggala.

“Lokasi itu desa jauh. Jauh sekali. Akses sebenarnya bisa cumankan harus ada bahan bakar lagi. Apa lagi ketika kejadian, kan ini fokus Palu dan sekitarnya. Ini kemarin kita liat sudah ada pasokan truk yang mengarah ke sana,” ucapnya. []

Sumber : Jawa Pos

Advertisement
Advertisement