83% Rumah Tangga di Indonesia Belum Lakukan Pemilahan Sampah
JAKARTA – Dengan lebih dari 280 juta penduduk, Indonesia menghadapi berbagai macam masalah kompleks, tak terkecuali perkara sampah. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia (RI) pada tahun 2024, total timbulan sampah nasional mencapai 31 juta ton, dengan volume sampah yang berhasil ditangani hanya 14 juta ton saja.
Artinya, hanya 43% dari total timbulan sampah yang berhasil ditangani. Sebagian besar masih berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tanpa proses pemilahan dan pengolahan yang memadai. Upaya pengelolaan sampah di Indonesia masih menghadapi rintangan besar, terutama dari sisi perilaku masyarakat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 83,75% rumah tangga di Indonesia belum melakukan pemilahan sampah sama sekali pada tahun 2025. Sementara itu, hanya 14,93% rumah tangga yang melakukan dua jenis pemilahan sampah, dan 1,32% yang melakukan tiga jenis atau lebih pemilahan sampah.
Adapun dua jenis pemilahan sampah yang dimaksud adalah sampah organik (mudah terurai, seperti sisa makanan dan dedaunan) serta sampah anorganik (tidak mudah terurai, seperti plastik, kaleng, dan kaca). Sedangkan pada kategori tiga jenis, terdapat penambahan sampah residu (sampah yang tidak bisa didaur ulang dan memerlukan proses lebih lanjut, seperti plastik yang sudah terkontaminasi atau popok bekas).
Sementara itu, perilaku pemilahan sampah di Indonesia masih sangat timpang antarprovinsi. Papua Pegunungan tercatat sebagai wilayah dengan proporsi rumah tangga tidak memilah sampah tertinggi, yakni mencapai 98,59%. Disusul Papua Tengah (96,28%), Riau (95,19%), Papua Selatan (95,11%), dan Sumatra Utara (95,05%).
Sementara itu, lima provinsi lainnya yang juga menunjukkan angka tinggi antara lain Sumatra Selatan (94%), Aceh (93,82%), Kepulauan Riau (93,38%), Banten (93,14%), dan Bengkulu (93,02%).
Di sisi lain, wilayah dengan proporsi rumah tangga yang paling banyak melakukan pemilahan sampah didominasi provinsi dari Pulau Jawa, Bali, dan beberapa provinsi asal Pulau Sulawesi.
Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta menjadi provinsi dengan kesadaran tertinggi, hanya 59% rumah tangga yang tidak memilah sampah. Posisi berikutnya diisi oleh Bali (60,1%), Jawa Tengah (71,61%), Jawa Barat (76,58%), dan Papua Barat Daya (77,87%).
Selanjutnya, Jawa Timur juga menunjukkan capaian yang baik dengan proporsi rumah tangga yang belum melakukan pengelompokan sampah sebanyak 83,54%, diikuti oleh Sulawesi Selatan (83,79%), Sulawesi Barat (85,11%), Papua (85,31%), dan Sulawesi Utara (86,48%).
Apa Alasan Publik Tak Pilah Sampah?
Lebih dari separuh publik Indonesia mengaku tidak melakukan pemilahan sampah karena alasan sederhana, yaitu dianggap terlalu merepotkan. Berdasarkan survei GoodStats, sebanyak 55,1% responden menyatakan bahwa memisahkan sampah terasa tidak praktis untuk dilakukan dalam keseharian.

Angka ini menegaskan bahwa persoalan kesadaran lingkungan di Indonesia belum sepenuhnya berkaitan dengan pengetahuan, melainkan lebih pada faktor kenyamanan dan kebiasaan. Aktivitas memilah sampah dinilai memakan waktu, membutuhkan tempat tambahan di rumah, dan sering kali dianggap tidak memberikan manfaat langsung bagi individu.
Sementara itu, 16,2% responden merasa tidak perlu memilah sampah karena beranggapan bahwa petugas kebersihan atau pihak pengelola sampah akan melakukannya di tahap akhir. Pandangan ini menunjukkan adanya kesalahpahaman publik terhadap sistem pengelolaan sampah. Tanggung jawab justru seharusnya dimulai dari rumah tangga sebagai sumber utama sampah domestik.
Selain itu, 11,5% lainnya menyebut tidak memiliki cukup waktu untuk memilah sampah. Terdapat juga 3% publik yang mengaku tidak tahu cara mengelompokkan sampah. Adapun sisa 15,2% responden mengaku memiliki alasan lain yang tidak disebutkan dalam data ini.
Pengambilan data survei GoodStats ini dilaksanakan pada 7-16 November 2024. Dengan responden berjumlah 1.000 orang yang tersebar di seluruh Indonesia, survei ini menggunakan metode online survey yang kemudian diperkuat dengan Focus Group Discussion (FGD) kepada perwakilan sampel.
Data di atas mengindikasikan bahwa minimnya edukasi dan infrastruktur pendukung masih menjadi penghambat utama dalam penerapan perilaku memilah sampah di masyarakat. Sosialisasi terkait cara memilah dan manfaat jangka panjangnya belum merata, terutama di wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi.
Padahal, perilaku memilah sampah merupakan langkah dasar menuju sistem pengelolaan sampah berkelanjutan yang menekan volume limbah ke TPA. Tanpa partisipasi aktif masyarakat di level rumah tangga, target pemerintah untuk mengurangi sampah nasional sebesar 30% dan menangani sebanyak 70% pada tahun 2025 berpotensi sulit tercapai.
Target-target tersebut telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah.
Dalam perwujudannya, Direktur Jenderal (Ditjen) Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Berbahaya dan Beracun (PSLB3) Rosa Voivien menetapkan visi untuk berupaya membentuk pola pikir bersama bahwa sampah dan limbah dapat dikelola dengan baik melalui kerja dan komitmen bersama.
“Perubahan pola pikir menjadi fondasi utama untuk mengatasi permasalahan sampah. Semua ini dilakukan agar masyarakat bisa mengubah pola pikir dari hanya membuang sampah, tapi bagaimana kita bisa menggunakan sampah untuk kebaikan bersama,” tegasnya dalam ucapan 10 Tahun untuk Sustainabilitas Ditjen PSLB3 dalam siaran YouTube Kementerian Lingkungan Hidup, Kamis (21/10/2024).
Kini, mengubah persepsi publik bahwa memilah sampah bukan aktivitas yang rumit menjadi tantangan. Pemerintah dan pengelola lingkungan perlu memperkuat fasilitas, seperti penyediaan tempat sampah terpisah dan program edukasi berbasis komunitas agar kegiatan ini terasa lebih mudah dan bernilai nyata bagi masyarakat. []
Sumber Good Stats
