Agar Mudah Menangani dan Tidak Menular, Kemenkes RI Bakal Karantina Penderita TBC
JAKARTA – Kementerian Kesehatan berencana untuk melakukan proses karantina pada pasien pasien tuberkulosis (TBC), guna memutus rantai penularan penyakit kepada orang sekitar. Panduan teknis untuk karantina ini masih dalam proses penyusunan.
“Merujuk hasil rapat terbatas pemerintah, diusulkan ada karantina pasien TBC supaya memastikan orang yang akan minum obat minimal 2 pekan sampai dua bulan berjalan teratur,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI, Siti Nadia Tarmizi, dikutip Jumat (21/07/2023).
Dia menjelaskan, pemerintah menggagas penyediaan fasilitas yang representatif bagi pasien TBC aktif, untuk menjamin agar asupan obat dan gizi seimbang dapat terpenuhi secara teratur.
Menurutnya, pemerintah belum memutuskan fasilitas karantina yang akan disiapkan. Hanya saja, bentuknya akan merujuk pada Sanatorium TBC yang pernah beroperasi di Indonesia pada zaman Hindia Belanda.
Selain fasilitas, teknis karantina juga belum ditentukan. Namun Nadia menyebut karantina saat Pandemi Covid-19 juga dapat menjadi rujukan.
“Sementara ini teknisnya baru kemarin, teknisnya masih disiapkan dulu apakah (karantina) wajib atau tidak,” katanya.
Yang pasti, kata Nadia, tujuan utama dari penyediaan fasilitas karantina adalah menjaga agar infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis penyebab TBC tidak menyebar kepada keluarga maupun orang terdekat pasien.
Menurut Nadia, orang yang hidup dengan TBC memerlukan asupan secara konsisten obat keras. Konsumsi obat berkala selama dua pekan hingga dua bulan, dapat menjamin TBC yang diderita lebih terkendali.
Nadia menambahkan, penderita TBC umumnya dialami masyarakat pada level sosial ekonomi rendah, sehingga tidak jarang asupan gizi seimbang tidak terpenuhi karena keterbatasan finansial.
“Misalnya ada orang yang dua pekan atau dua bulan minum obat harus bolak balik jauh dari rumahnya, atau dia pekerja, tapi perusahaannya tidak memberi izin. Jadi kami fasilitasi karantinanya,” katanya. []