April 19, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

AJI : Sepanjang 2018, POLRI malah Menjadi Musuh Kebebasan Pers

2 min read
Kekerasan terhadap wartawan | Foto Tirto ID

Kekerasan terhadap wartawan | Foto Tirto ID

JAKARTA – Reformasi 1998 yang memisahkan Polri dari tubuh TNI ternyata tak lantas membuat Korps Bhayangkara menjadi profesional. Bahkan tren beberapa tahun terakhir, Polri justru ikut menjadi pelaku kekerasan. Khususnya kekerasan terhadap para jurnalis.

Hal ini terlihat dari data AJI dalam beberapa tahun terakhir. Terbaru catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), selama Januari-Desember 2018, ada 64 kasus kekerasan yang menimpa jurnalis.

15 kasus di antaranya dilakukan polisi, kemudian disusul pejabat pemerintah 13 kasus, serta warga dan ormas dengan masing-masing 10 kasus.

Polri juga menjadi musuh bagi masyarakat di wilayah-wilayah konflik agraria. Pasalnya, korps Bhayangkara ini menjadi aktor utama di balik tindak kekerasan dan penangkapan yang dialami oleh rakyat.

Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada 2017, dari 659 konflik yang terjadi, polisi melakukan 21 kali tindak kekerasan maupun penangkapan tanpa prosedural kepada masyarakat yang mencoba bertahan di tanah mereka.

Fakta ini tentu memprihatinkan. Sebab jurnalis sebagai penggerak pers yang menjadi pilar demokrasi keempat Indonesia ternyata justru menjadi korban kekerasan oleh kepolisian yang semestinya memberikan perlindungan.

Kasus-kasus yang melibatkan pihak kepolisian juga tidak diproses oleh sesama rekannya dan mandek begitu saja di meja-meja kepolisian.

Kondisi ini lebih buruk dibandingkan dengan TNI. Setidaknya kasus-kasus kekerasan yang melibatkan TNI diproses oleh POM TNI. Hal ini seperti kasus 2 anggota TNI yang menganiaya 2 wartawan di Jember saat pertandingan sepak bola di Jember.

Begitu pula dengan kasus-kasus kekerasan terhadap masyarakat yang tinggal di wilayah konflik agrarian. Polisi yang semestinya menjadi pelindung, justru menjadi pelaku kekerasan.

Atas dasar fakta ini, maka perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap tubuh Polri. Atau istilah medisnya perlu dilakukan medical check up untuk mengetahui apakah ada organ-organ tubuh Polri yang sakit.

Sebab lembaga Kompolnas yang semestinya menjadi pengawas tidak mampu mengidentifikasi sakit yang dijangkit Polri sehingga tidak mampu menyelesaikan kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan yang melibatkan personelnya. Tidak mampu menjadi pelindung sekaligus penegah di tengah konflik agrarian yang terkadang antara warga dengan perusahaan.

Dalam kasus ini, DPR dan Presiden perlu turun secara langsung untuk mengevaluasi, mencari organ-organ yang sakit. DPR dan Presiden perlu memanggil Kapolri Tito Karnavian untuk mengetahui apa yang menjadi kendala dan solusi apa yang bisa dilakukan.

DPR dan Presiden juga perlu memanggil Kompolnas untuk mengetahui kenapa lembaganya yang bertugas mengawasi tidak mampu mendeteksi kasus-kasus kekerasan yang dilakukan aparat. Baik kepada jurnalis maupun kepada warga yang sedang berkonflik agrarian.

Bila sudah ditemukan penyakitnya, tentu tidak perlu ragu-ragu lagi untuk mencopot organ-organ yang rusak untuk mengoptimalkan profesionalisme Polri.

Sebab jika tidak dilakukan, tentu demokrasi Indonesia yang akan menjadi taruhannya. Karena fakta hari ini, hanya tersisa pers yang menjadi pilar terkuat dari demokrasi.[Law-Justice]

Advertisement
Advertisement