April 26, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Aku Korban Berburu Dolar [01]

4 min read

“Pokoknya kamu harus begini, kamu tidak boleh begitu” kalimat tersebut seringkali terngiang di telingaku saat aku teringat masa kecil hingga masa remajaku. Kalimat tersebut terucap dari kedua orang tuaku yang kini mereka entah dimana. Yang bisa aku ingat hanyalah, bapak pergi ke Malaysia saat aku masih duduk di bangku TK, kemudian ibuku pergi meninggalkan aku dan adikku untuk berangkat bekerja ke Hong Kong.

Diusia kami yang masih berada dalam masa emas perkembangan, kedua orang tuaku menitipkan aku dibawah asuhan nenek yang saat itu usianya telah renta. Wal hasil, bukan kami yang diasuh nenek, tetapi justru kami menggantikan tugas ibu mengasuh dan melayani nenek. Nenek di usia senjanya secara kognitif sudah mengalami penurunan alias pikun, sedangkan secara fisik, nenek menderita kelumpuhan pada kaki.

Rasa cinta dan kasih sayanglah yang mendorong aku yang waktu itu duduk di bangku kelas 2 SD dan adikku yang masih di bangku TK dengan setia setiap hari melayani nenek. Urusan dapur ? Saat-saat awal, tetangga membantu kami menyediakan makanan secara penuh, namun lama-kelamaan, aku yang masih belum mengenal bumbu masakan, harus berani melakukan trial and error menanak nasi dan membuat lauk untuk makan kami bertiga.

Sampai saat itu, bapak tidak pernah ada kabarnya semenjak berpamitan pergi bekerja ke Malaysia, sedangkan ibu, juga menghilang begitu saja. Tentu kami kelimpungan dengan kebutuhan biaya hidup yang tidak bisa ditunda. Beruntung sekali, salah seorang tetangga dengan sukarela membantu kebutuhan biaya hidup dan biaya sekolah kami berdua.

Adikku dibawa tinggal bersama tetangga tersebut saat mulai memasuki bangku SD. Sedangkan aku, tetap tinggal di rumah menemami nenek. Keseharianku, selesai mengerjakan pekerjaan sekolah, pekerjaan di rumah serta mengurusi nenek, aku dan adikku membantu urusan pekerjaan rumah tangga tetangga yang mengasuh adikku. Mulai dari mencuci piring, pakaian hingga bersih-bersih rumah. Imbalannya, kebutuhan makan kami bertiga dan kebutuhan biaya sekolah kami berdua seluruhnya ditanggung.

Hingga aku lulus SD, ibuku yang tak pernah ada kabarnya tiba-tiba pulang ke rumah. Kepulangan ibu yang hanya beberapa hari tersebut kami sambut dengan riang gembira. Bahkan kami berharap, ibu seterusnya akan tetap berada di rumah mendampingi kami sehari-hari. Namun harapan tersebut harus sirna. Kepulangan ibu menyulut konflik dengan tetangga yang selama ini menghidupi kami bertiga. Ibu menuduh tetangga tersebut telah memperkerjakan kami yang masih berusia anak-anak. Ibu menuduh tetangga tersebut telah terlalu jauh mencampuri wilayah pribadi rumah tangganya.

Dan pada saat kami mendengar ibu menuduh tetangga tersebut sebagai biang dari menghilangnya bapak, barulah kami mengetahui bahwa ternyata bapak tidak pernah pulang lagi lantaran telaah menikah dengan perempuan tetangga provinsi. Peristiwa itu sebenarnya tellah berlangsung sejak lama, namun demi menjaga kondisi psikologis kami berdua, tetangga tersebut sengaja menutupinya dari kami.

Aku yang telah bernalar, bisa melihat semuanya deengan nalar jernihku. Aku tidak terima atas ttuduhan ibu yang dialamatkan kepada tetangga yang selama ini telah dengan ikhlas menyelamatkan keberlangsungan kehidupan kami bertiga. Meskipun pergi ke Hong Kong, faktanya, ibu selain tidak pernah ada kabarnya, juga tidak pernah serupiahpun mengirimi kami uang untuk memenuhi kebutuhan. Kedatangan ibu memang ada maksud baiknya pada kami berdua. Meskipun dengan paksaan, “pokoknya kamu harus begini, kamu tidak boleh begitu”, namun aku meyakini hanya seperti itulah yang mampu ibu lakukan dan berikan untuk kebaikan kami berdua.

Menyadari aku membela tetangga, ibu menyasar aku dengan kemarahan dan sumpah-sumpahnya. Akhirnya, ibu pergi berpamitan akan ke Hong Kong lagi.  Sepeninggal ibu, tetangga kami menyampaikan hal memilukan kepada kami berdua. Mereka tidak berani lagi membantu kami, begitulah intinya. Aku menyadari sikap tetanggaku tersebut sebab diawali dengan sebuah peristiwa yang aku juga menyaksikannnya.

Nenek yang kondisinya kian renta tak berdaya, akhirnya harus pergi meninggallkan kami menghadap Ilahi Rabbi tanpa pernah sekalipun mendapat perawatan medis yang layak lantaran ketidaktersediaan biaya. Meskipun sedih, namun kami harus mengikhlaskan kepergian nenek. Hanya tetangga yang membantu kami mengurusi pemakaman nenek. Tak satupun orang tua kami yang pulang untuk turut mengurusi suasana duka.

Sepeninggal nenek, aku yang mati-matian bisa menamatkan pendidikanku sampai jenjang SMP berinisiatif untuk mencari kerja. Aku kembali menitipkan adikku ke keluarga tetangga agar adikku yang menjelang tamat SD, bisa mendapat pengasuhan yang layak. Aku berjanji, akan membawa pulang uang hasil kerjaku untuk biaya sekolah adikku berikut kebutuhan hidupnya.

Aku menuju ke kota, menjadi pembantu rumah tangga dengan gaji sebulan pada tahun 2007 hanya 300 ribu saja. Majikan yang aku ikuti berprofesi sebagai seorang pengusaha. Mereka berdua jarang berada di rumah, sebab sibuk dengan urusan bisnisnya. Hanya kedua anaknyalah yang statusnya tinggal di rumah meskipun lama-kelamaan aku mengetahui bahwa mereka sebenarnya sering tidak pulang dan membolos sekolah.

Aku meraba, sepertinya kedua anak majikanku memang haus akan perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Meskipun secara materi mereka lebih dari tercukupi, namun batin mereka tidak pernah mendapat perhaatian dan kehangatan dari yang diharapkannya. Deengan pemahaman tersebut, aku berusaha memaklumi apapun sikap dan tingkah mereka berdua. Sebab, dalam hati kecilku, akupun juga merasakan hal yang sama.

Beberapa bulan aku bekerja, situasi membuat kami saling mengenali lebih jauh satu sama lain. Kebetulan, kedua anak majikanku juga perempuan. Satu persatu mereka “nyeplos” akan apa yang dipendamnya. Mereka mengenal rokok dan alkohol. Bersambung [ seperti dituturkan NN kepada asa dari apakabaronline.com ]

Advertisement
Advertisement