December 23, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

“Ancaman” (?) Dalam Doa

3 min read

Suatu ketika si fakir pernah berdoa, “Ya Tuhan, tolong berikan saya makan. Jika Engkau tidak memberiku makan maka tidak ada ibadah yang dapat kulakukan kepada-Mu.” Lalu orang disampingnya yang mendengar doa itu berkata, “Hei, kamu jangan mengancam Tuhan kalau berdoa!

Tak selang beberapa lama si fakir itu kemudian berdoa lagi, “Ya Tuhan, anakku sedang sakit, berikanlah kesembuhan untuk anakku.” Dan orang yang disampingnya pun kembali berkomentar, “Hei, ada anak-anak lain yang juga sakit. Jangan kamu politisasi doa itu hanya untuk kepentinganmu saja!

Berdoa adalah hak setiap orang beragama. Siapapun yakin bahwa terkabul atau tidaknya suatu doa itu adalah hak prerogatif Tuhan. Orang lain tidak bisa menilai atau menafsirkan sebuah doa dari redaksinya, karena doa bersifat subjektif bergantung pada kondisi, maksud, dan niat si pendoa. Oleh karena itu, doa tidak bisa diintervensi dengan apapun apalagi dijadikan delik karena syarat terkabulnya doa haruslah disertai dengan keikhlasan, bukan keterpaksaan.

Dalam al-Quran, secara umum Allah menjamin bahwa Dia akan mengabulkan doa setiap orang yang memohon kepada-Nya (Q.S al-Baqarah : 186). Terlepas apakah doa itu mengandung unsur ‘ancaman’ atau ‘politik’ sebenarnya bukan jadi soal. Yang jadi soal yaitu mengapa ada sebagian pihak yang berkeberatan dengan konten sebuah doa, dan seolah-olah dia punya hak untuk memberikan keputusan tentang dikabul atau tidaknya doa itu.

Setiap doa memang memiliki syarat-syarat tertentu untuk dikabulkan. Adab dalam berdoa menjadi point penting untuk diperhatikan. Berdoa hanya kepada Allah, khusuk, tidak tergesa-gesa, tidak melampaui batas, bukan dalam rangka dosa dan memutus tali silaturahmi, berbaik sangka, halal-haramnya benda yang dikonsumsi, ini semua adalah syarat yang terangkum dalam adab yang mesti diperhatikan bagi orang yang berdoa. Masalah ancaman ataupun politisasi dalam doa nampaknya tidak disebut sebagai prasyarat.

Doa adalah perbuatan yang sifatnya kondisional, bergantung pada pengalaman situasi dan intuisi dari sang pendoa. Nabi Muhammad SAW pernah berdoa  saat perang Badar, “Ya Allah, penuhilah janji-Mu kepadaku. Ya Allah berikanlah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika Engkau membinasakan pasukan Islam ini, maka tidak ada yang akan beribadah kepada-Mu di muka bumi ini.” (HR. Muslim 3/1384 hadits no 1763). Beliau SAW tidak memanjatkan doa yang sama ketika hendak melakukan fathu makkah (penaklukan kota Mekkah dari orang-orang kafir Quraisy) karena kondisnya saat itu berbeda, ketika fathu makkah pasukan muslim sudah berada di atas angin sementara perang Badar dalam keadaan terdesak.

Di tahun politik 2019 ini, kondisi ‘keterdesakan’ menjadi relatif. Bagi kubu petahana, doa yang terlantun dalam sajak puisi Nenno Warisman dianggap sebagai desakan yang mengandung unsur politik dan ancaman kepada Tuhan. Pembacaan puisi itu sendiri menjadi rangkaian acara Malam Munajat 212 yang digelar di Monas pada Kamis (21/2/2019). “Menangkan kami. Karena jika Engkau tidak menangkan, kami khawatir, Ya Allah, tak ada lagi yang menyembah-Mu, Ya Allah.”, demikian doa yang terdapat dalam sajak puisi tersebut. Sementara bagi oposisi, kalimat itu memang sebuah ekspresi keterdesakan atas berbagai kondisi yang dialami 4 tahun belakangan ini. Soal apakah kondisi politik saat ini tepat jika disamakan dengan kegentingan saat perang Badar, nampaknya takkan ada habisnya dibahas berdasaran pandangan kedua belah pihak.

Sangat disayangkan kalau perbedaan pandangan ini tidak dapat dinikmati secara intelektual, akibat baut-baut syaraf yang seharusnya di longgarkan di tahun politik ini justru semakin di putar searah gerakan jarum jam, kencang sekencang-kencangnya. Akhirnya, kita jadi melihat realitas yang dialami si fakir di atas bukan lagi pada pandangan yang absurd. Tahun politik 2019, semua orang jadi usik, apapun dicari delik untuk dibuat polemik, retorik doa dalam puisi berujung selidik, terlihat siapa yang anti kritik, mungkin elektabilitas sedang paceklik, makanya jadi panik karena sebentar lagi perahu rezim akan terbalik. [Ilham Firdaus]

Advertisement
Advertisement