November 18, 2025

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Angka Kasus Gagal Ginjal Terus Meningkat, Apa Saja Penyebabnya ?

2 min read

JAKARTA – Dunia kini menghadapi sebuah krisis kesehatan besar yang selama ini nyaris tak tersorot publik. Di balik hiruk-pikuk isu global lainnya, kasus gagal ginjal atau penyakit ginjal kronis (chronic kidney disease/CKD) justru melonjak tajam dalam 30 tahun terakhir.

Riset terbaru Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) yang menggunakan data Global Burden of Disease (GBD) 2023 mengungkap fakta mencemaskan: pada tahun 2023, jumlah orang dewasa yang hidup dengan CKD mencapai 788 juta jiwa. Penyakit ini kini melompat menjadi penyebab kematian tertinggi peringkat ke-9 di dunia, merenggut sekitar 1,5 juta nyawa hanya dalam satu tahun.

Lebih memprihatinkan lagi, lebih dari separuh penderita CKD tidak menyadari bahwa ginjal mereka tengah mengalami kerusakan. IHME menemukan bahwa sebagian besar kasus berada pada stadium awal (stadium 1–3), tahap yang biasanya tidak menunjukkan gejala signifikan. Kondisi “senyap” inilah yang membuat CKD berkembang secara perlahan namun mematikan, hingga akhirnya baru terdeteksi ketika sudah masuk tahap lanjut dan fungsi ginjal telah menurun drastis.

Peningkatan kasus CKD secara global tidak hanya dipicu oleh pertumbuhan populasi dan penuaan. Penyebab utamanya ternyata semakin dipengaruhi gaya hidup modern. IHME menyebut gula darah puasa tinggi, kegemukan, dan tekanan darah tinggi sebagai tiga faktor risiko terbesar yang memicu kerusakan ginjal di hampir semua kelompok usia.

Diabetes dan hipertensi tetap menjadi kontributor terbesar, namun studi ini menegaskan bahwa CKD bersifat multifaktorial dan berkaitan dengan pola makan, lingkungan, sosial ekonomi, serta faktor pekerjaan.

Dalam beberapa wilayah seperti Amerika Tengah, tren gagal ginjal bahkan menunjukkan pola yang tidak biasa. IHME menyoroti naiknya kasus CKD of Unknown Etiology (CKDu), yaitu gagal ginjal misterius yang bukan disebabkan diabetes atau hipertensi.

Fenomena ini banyak menyerang pekerja perkebunan yang bekerja di bawah paparan panas ekstrem dan mengalami dehidrasi kronis, sehingga memunculkan dugaan kuat bahwa perubahan iklim dan faktor lingkungan turut memperburuk risiko penyakit ginjal di negara berkembang.

Krisis ini juga diperparah oleh ketimpangan akses layanan kesehatan. Meskipun beban CKD tinggi di banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah, akses terhadap dialisis dan transplantasi ginjal justru sangat terbatas.

Sebaliknya, negara-negara kaya memiliki tingkat tertinggi dalam hal pasien yang menerima terapi pengganti ginjal, meskipun prevalensi CKD di wilayah tersebut lebih rendah dari rata-rata global. Kondisi ini membuat angka kematian akibat CKD di negara miskin jauh lebih tinggi karena banyak pasien tidak pernah mendapatkan pengobatan yang semestinya.

IHME juga menegaskan bahwa kerusakan ginjal berdampak jauh lebih luas dari yang diperkirakan. Pada 2023, disfungsi ginjal berkontribusi terhadap 11,5% kematian akibat penyakit jantung secara global.

Artinya, CKD bukan hanya penyakit yang merusak ginjal, melainkan faktor penting yang memicu kematian kardiovaskular. Temuan ini memperkuat langkah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menetapkan CKD sebagai penyakit tidak menular prioritas global, setara dengan kanker, diabetes, dan penyakit jantung.

Peneliti IHME menekankan bahwa deteksi dini harus menjadi fokus utama negara-negara di seluruh dunia. Skrining albuminuria dan pemantauan faktor risiko pada populasi rentan masih minim dilakukan, bahkan di negara berpendapatan tinggi.

Dunia berharap temuan ini dapat mendorong pemerintah untuk memasukkan CKD dalam kebijakan kesehatan publik secara lebih serius serta memperluas akses terhadap pengobatan efektif yang dapat memperlambat kerusakan ginjal dan mencegah komplikasi jantung. []

Advertisement
Advertisement

Leave a Reply