April 19, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Atlit Panjat Tebing Yang Sumbangkan Emas Itu Ternyata Anak PMI

3 min read

PROBOLINGGO – Rindi Sufriyanto, atlet panjat tebing asal Kota Probolinggo, Jawa Timur (Jatim), mampu mempersembahkan emas Asian Games 2018, untuk kontingen Indonesia.

Medali emas cabang olahraga panjat tebing nomor speed relay putra, dipersembahkan Rindi bersama timnya, yang beranggotakan Muhammad Hinayah, dan Abu Dzar Yulianto.

Ketiganya bertarung dan menjadi yang terbaik di Asia, saat berlaga di Jakabaring Sport City, Palembang, Senin (27/8/2018).

Pemanjat tebing berkecepatan tinggi asal Kota Probolinggo ini, penuh liku perjuangan untuk mencapai prestasi terbaik yang dipersembahkan bagi Indonesia.

Segala keterbatasan ekonomi, selalu dihadapinya. Tetapi, tidak sedikitpun menghalangi niatnya untuk terus memacu prestasi, demi tanah air tercinta.

Kehidupan ekonomi yang serba terbatas, membuat Rindi pernah harus bertanding dalam kejuaraan panjat tebing tanpa alas sepatu alias “nyeker”.

Harga sepatu untuk panjat tebing yang kelewat mahal, tidak bisa dibelinya. Tetapi, kekuatan jiwanya yang kuat, membuatnya tidak pernah merasa malu, meski harus bertanding dengan “nyeker”.

Medali emas yang diraihnya di ajang Asian Games 2018, merupakan hasil perjuangan keras yang menempa dirinya selama ini.

Bungsu dari dua bersaudara, kelahiran 15 Mei 1991 ini, harus berjuang keras untuk meraih prestasinya hari ini. Sejak kecil, harus hidup mandiri karena kedua orang tuanya bekerja menjadi pekerja migran Indonesia (PMI) di Malaysia.

Ibunya, Juwartin menghabiskan waktu selama 14 tahun di negeri Jiran tersebut, untuk menjadi PMI. Demikian juga dengan Agus Hari, ayah kandung Rindi, yang harus bekerja di Malaysia, selama tujuh tahun lamanya.

Masa kecil Rindi, harus dilewati tanpa ditemani kedua orang tuanya. Dia harus hidup bersama Rina Hasnita (33), kakak kandungnya, yang tinggal di Desa Sukoharjo RT 1 RW 5 Kecamatan Kanigaran, Kota Probolinggo.

“Sejak duduk dibangku SD, Rindi pun masuk ke dalam kartu keluarga (KK) saya. Karena, orang tua semua bekerja di Malaysia,” ungkap Rina.

Sang kakak bercerita, bakat dan kemampuan memanjat Rindi, terlihat sejak masih usia duaa tahun. “Pernah, saat ada tukang bangunan membetulkan atap rumah, tahu-tahu dia sudah memanjat tangga dan ada di atap yang diperbaiki,” kenang Rina.

Keseriusan Rindi dalam menekuni dunia panjat tebing, menurut Rina, terjadi sejak duduk di bangku kelas satu SMK Negeri 2 Probolinggo.

“Dia selalu semangat ke sekolah. Karena, selepas jam sekolah bisa langsung berlatih panjat tebing di sekolahnya,” ungkap Rina.

Rina mengaku, tekad sang adik untuk berlatih panjat tebing di sekolah sangat kuat. Pernah sepedanya untuk ke sekolah rusak, tinggal satu pedal saja. Tetapi, Rindi tidak patah arang. Dikayuhnya sepeda itu hanya dengan satu pedal, demi bisa sampai sekolah.

Semangatnya sangat kuat, meski harus menghadapi berbagai rintangan dan keterbatasan. Segala keterbatasannya, tidak menyurutkannya untuk terus mengikuti berbagai kompetisi panjat tebing, demi bisa mengasah kemampuannya.

Sejak kecil, Rina mengaku adiknya tersebut selalu mandiri. Tidak pernah mau merepotkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

“Pernah saya beri uang untuk beli sepatu untuk panjat tebing. Tapi dia tidak mau. Dia ingin beli sepatu dengan uangnya sendiri. Makanya, dia nekad ikut lomba dengan nyeker,” tutur Rina.

Aksi panjat dengan cara nyeker ini, bukan tanpa halangan. Selain rawan cedera, dia juga sering ditegur panitia, bahkan pernah terancam didiskualifikasi.

Perjuangan keras mengarungi gelombang hidup, membuat Rindi semakin tegar dan kuat untuk meraih prestasi terbaik.

Berkat prestasi yang diraih Rindi. Rina mengaku, sekitar tahun 2006 Pemerintah Bengkulu, sempat ingin meminang Rindi menjadi atletnya.

Hasil keringat mengikuti berbagai perlombaan panjat tebing, hadiahnya selalu ditabung Rindi. Uang hasil tabungan itu, akhirnya bisa untuk membeli sepatu panjat tebing yang waktu itu seharga Rp150 ribu.

Bukan main-main, Rindi harus rela menabung selama dua tahun lamanya, hanya untuk membeli sepatu panjat tebing seharga Rp150 ribu, yang kini harganya sudah berkkisar Rp450 ribu.

Sejak memiliki sepatu sendiri, Rindi tidak pernah nyeker untuk mengikuti perlombaan. Tidak ada ancaman diskualifikasi lagi dari panitia. Bahkan, kini dia mengukir namanya sebagai salah satu yang terbaik di Asia.

Dalam pesan pendek yang dikirimkan Rindi ke kakaknya. Rindi mengaku sangat bersyukur atas prestasi yang diraih bersama timnya di ajang Asian Games.

“Melalui pesan pendeknya, dia mengucapkan terimakasih kepada Wali Kota Probolinggo, segenap pengurus Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) dan KONI Kota Probolinggo, serta seluruh warga Kota Probolinggo atas dukungan dan doa untuknya,” pungkas Rina. [Yuswantoro]

Advertisement
Advertisement