Bagasi Berbayar dan Dampak Yang Ditimbulkan
Sejak 22 Januari lalu, masyarakat dikejutkan oleh bagasi berbayar yang diterapkan maskapai berbiaya hemat (low cost carrier/ LCC). Masyarakat yang selama ini mendapat fasilitas bagasi cumacuma minimal 15 kg atau 20 kg, tibatiba harus merogoh kocek ratusan ribu rupiah.
Kebijakan maskapai penerbangan yang tanpa sosialisasi terlebih dahulu itu tentu saja mendapat protes meluas di masyarakat dan heboh di media sosial. Protes bukan hanya datang dari penumpang, tapi juga dari sejumlah pengusaha biro perjalanan wisata yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Perjalanan Indonesia (Asita) di berbagai daerah.
Asita Riau yang beranggotakan 168 agen bahkan memboikot kebijakan maskapai LCC tersebut dengan tidak menjual tiket selama sepekan. Keberatan kemudian datang juga dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Mengapa tiba-tiba maskapai murah itu menerapkan kebijakan bagasi berbayar? Meski mereka berdalih bahwa hal itu merupakan praktik yang lazim dalam dunia penerbangan internasional di berbagai negara, sejatinya ada alasan yang lebih mendasar. Yaitu, maskapai penerbangan nasional saat ini tengah berada dalam tekanan terkait dengan kenaikan biaya operasional.
Maka, pengenaan tarif bagasi menjadi solusi untuk menyelamatkan diri dari ancaman kerugian. Pembengkakan biaya operasional antara lain bersumber dari mahalnya harga bahan bakar avtur, yang memakan sekitar 40-45% dari total biaya. Sepanjang 2018, terjadi kenaikan harga avtur rata-rata 19% dibandingkan 2017. Menurut klaim Asosiasi Maskapai Penerbangan Indonesia (INACA), setiap kenaikan harga avtur 1 sen dolar AS akan menambah beban maskapai sebesar US$ 4,7 juta selama setahun.
Selain avtur, komponen biaya operasional maskapai lainnya adalah sewa pesawat yang mencapai 20%, biaya kebandaraan sekitar 10%, dan biaya pegawai sekitar 10%. Di luar itu, industri penerbangan juga mendapat tekanan dari depresiasi rupiah. Setiap pelemahan Rp 100 terhadap dolar AS akan mengurangi pendapatan maskapai sekitar US$ 5,3 juta per tahun.
Ketentuan mengenai bagasi sudah diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan (PM) No 185 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri. Aturan tersebut menyatakan, maskapai dengan pelayanan standar maksimal (full service) dapat menyediakan bagasi cuma-cuma sebanyak 20kg, pelayanan menengah (medium service) dengan fasilitas bebas bagasi 15 kg, serta maskapai pelayanan minimum atau dikenal dengan LCC diperbolehkan mengenakan biaya atas bagasi.
Dengan ketentuan tersebut, artinya sah-sah saja maskapai LCC menerapkan biaya untuk bagasi. Yang sangat disesalkan adalah tiadanya sosialisasi yang memadai, sehingga menimbulkan kehebohan yang tidak perlu. Bahkan boleh dikatakan bahwa penerapan kebijakan bagasi berbayar adalah kenaikan tarif pesawat secara terselubung.
Kebijakan tersebut tidak menabrak aturan dengan alasan bisnis, tapi kurang elok dan tidak etis ketika daya beli masyarakat kelas menengah bawah sedang tertekan. Itulah sebabnya, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan harus segera mengatur masalah ini.
Jangan sampai penerapan tarif bagasi diserahkan begitu saja kepada industri penerbangan. Pihak industri penerbangan pun hendaknya tidak semena-mena dalam menetapkan tarif. Apalagi jika dengan kebijakan itu, penumpang harus menanggung biaya hingga mendekati tarif batas atas. Artinya, Kemenhub tetap harus menetapkan besaran tarif, dengan pola tarif batas atas dan batas bawah seperti yang berlaku pada tiket pesawat.
Jangan sampai tarif ini dibiarkan bebas, sehingga terjadi kongkalikong sesama maskapai penerbangan, apalagi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tengah menyelidiki dugaan atau kemungkinan adanya kartel di industri penerbangan nasional.
Sementara itu, dari spektrum yang lebih luas, jangan sampai bagasi berbayar ini mengancam industri pariwisata. Orang yang bepergian dengan pesawat akhirnya tidak mau membeli oleh-oleh barang kerajinan atau makanan khas daerah tujuan wisata karena takut harus membayar mahal bagasi.
Kita tahu bahwa industri penerbangan dan industri pariwisata saling membutuhkan dan bersinergi, seiring munculnya destinasi-destinasi baru dan tren kebutuhan masyarakat kelas menengah untuk berwisata sesering mungkin.
Jangan sampai industri penerbangan mengkanibal industri pariwisata. Dalam konteks itu, industri penerbangan khususnya kategori LCC sebaiknya mengkaji ulang tarif bagasi berbayar. Maskapai penerbangan jangan menerapkan aji mumpung mentang-mentang permintaan jasa penerbangan sedang booming. Kemenhub juga mesti membuat aturan seadil dan sebijak mungkin yang tidak memberatkan masyarakat.[Bsid]