Begini yang Terjadi padaTubuh Manusia saat Berpuasa
JAKARTA – Puasa sudah dipraktikkan selama ribuan tahun, baik untuk alasan medis, budaya, maupun agama. Menurut Newsweek, nenek moyang kita, pemburu-pengumpul, juga dipaksa untuk beradaptasi dengan kondisi tanpa makanan dalam jangka waktu yang lama. Sebagai hasilnya, tubuh kita telah berevolusi untuk bertahan dan berkembang melalui puasa dalam durasi yang lama.
Peneliti dari China, Yiren Wang dan Ruilin Wu dalam riset yang diterbitkan di jurnal Disease Markers (2022) menyebut, dalam sejarah pengobatan kuno, puasa merupakan metode yang dimulai sejak Hippocrates. Sejak itu, puasa direkomendasikan sebagian besar sekolah kedokteran Eropa untuk mengobati penyakit akut dan kronis. Wang dan Wu menulis, puasa dapat digolongkan menjadi puasa jangka pendek, seperti puasa intermiten (berjeda) dan puasa yang panjang (lebih dari delapan hari).
Lalu, bagaimana sebenarnya tubuh manusia merespons tanpa makanan dalam jangka waktu lama?
Peneliti dari Inggris, Norwegia, dan Denmark dalam jurnal Nature Metabolism (1 Maret 2024) menemukan, puasa selama tujuh hari dapat menurunkan berat badan rata-rata 5,7 kilogram.
Para peneliti bereksperimen dibantu 12 sukarelawan, lima perempuan dan tujuh laki-laki, yang berpuasa selama tujuh hari, hanya minum air. Ada risiko dehidrasi saat berpuasa. Sebab, sekitar 20% asupan cairan tubuh manusia berasal dari makanan. Jadi, peserta harus dipastikan tetap mengonsumsi banyak air.
Riset itu mengungkapkan, di awal-awal memulai berpuasa, tubuh merespons dengan peralihan energi dari glukosa ke lemak. Dikenal sebagai ketosis. “Ini merupakan respons awal tubuh memastikan memiliki cukup energi untuk bertahan hidup,” tulis Earth.
Lalu, pada hari ketiga berpuasa, tubuh mulai merespons lebih luas. Melibatkan perubahan pada berbagai organ dan sistemnya, yang mencakup penyesuaian protein yang mendukung otak, sistem kekebalan tubuh, dan kemungkinan perbaikan sel.
“Hal ini menunjukkan, tubuh masuk ke dalam keadaan yang berbeda, fokus pada efisiensi dan perlindungan pada saat ketersediaan pangan rendah,” tulis Earth.
Para peneliti mempelajari nyaris 3.000 protein yang diukur dalam darah 12 peserta. Yang mengejutkan, sekitar sepertiga protein berubah secara signifikan selama periode berpuasa. Protein-protein ini ditemukan di berbagai organ dan terlibat dalam beragam proses biologis.
“Menunjukkan bahwa puasa memicu respons seluruh tubuh, bukan perubahan terisolasi di area tertentu,” tulis Earth.
Uniknya, perubahan kadar protein terjadi secara konsisten pada semua peserta, meski ada perbedaan gender dan kesehatan. Konsistensi ini menunjukkan respons yang mendasar terhadap puasa, sebuah mekanisme bawaan dalam tubuh manusia.
“Ini adalah proses biologis universal yang aktif untuk menangani tidak adanya nutrisi yang masuk dan mengoptimalkan fungsi organ selama kondisi puasa,” tulis Earth.
Selain itu, puasa juga mengubah protein yang ditemukan di jaringan struktur pendukung otak, yang disebut matriks ekstraseluler. Jaringan tersebut menyediakan dukungan struktur dan biokimia untuk sel-sel otak. Perubahan matriks ekstraseluler itu dapat berdampak signifikan pada fungsi otak, mulai dari kesehatan sel-sel otak hingga efektivitas komunikasi. Temuan ini menunjukkan bahwa puasa dapat berdampak positif bagi kesehatan otak.
“Untuk pertama kalinya, kita dapat melihat apa yang terjadi pada tingkat molekuler di seluruh tubuh saat kita berpuasa,” ujar epidemiolog dari Queen Mary University of London, Claudia Langenderg, yang menjadi salah seorang peneliti dalam riset itu, seperti dikutip dari Science Alert.
“Hasil riset kami memberikan bukti manfaat kesehatan dari puasa, selain penurunan berat badan. Namun, hal ini baru terlihat setelah tiga hari pembatasan kalori total, lebih lambat dari yang kami perkirakan sebelumnya.”
Science Alert menulis, sebagian besar protein kembali ke kondisi awal saat seseorang mulai makan lagi. Hal ini menunjukkan perubahan biologis dari puasa perlu dipertahankan selama jangka waktu tertentu untuk mendapatkan manfaat kesehatan jangka panjang.
Earth menulis, dengan memahami cara kerja puasa pada tingkat yang lebih dalam, para ilmuwan bisa mengembangkan pengobatan yang meniru manfaatnya. Penelitian ini juga bisa membantu mengatasi masalah kesehatan modern, seperti obesitas dan diabetes, dengan memberikan dasar bagi rekomendasi atau intervensi pola makan baru yang menggunakan prinsip puasa untuk meningkatkan kesehatan.
“Penelitian kami memberikan dasar bagi beberapa pengetahuan kuno tentang mengapa puasa digunakan pada kondisi tertentu. Meskipun puasa mungkin bermanfaat untuk mengobati beberapa kondisi kesehatan, sering kali puasa bukanlah pilihan bagi pasien yang menderita penyakit (tertentu),” kata Ketua Data Kesehatan Precision Healthcare University Research Institute (PHURI) Maik Pietzner, yang juga bagian dari tim peneliti, seperti dikutip dari Earth.
Namun, yang perlu diingat, penelitian ini hanya menguji peserta dalam skala kecil. Hasilnya mungkin bisa berbeda dalam riset dalam skala luas, yang melibatkan banyak peserta dari beragam latar belakang etnis.
Riset tersebut melengkapi penelitian terdahulu terkait manfaat puasa bagi kesehatan. Misalnya, riset yang dilakukan dua peneliti asal China dalam jurnal Disease Markers (2022). Mereka menemukan, puasa dalam jangka waktu tertentu, delapan hingga 12 minggu, bisa menurunkan konsentrasi kolesterol sebesar 20%-25% dan triasilgliserol sebesar 15%-30%.
Lalu, puasa bergantian selama delapan minggu memengaruhi penurunan glukosa orang dewasa dengan obesitas secara signifikan dan kadar insulin menurun meski tak signifikan. Puasa pun, sebut dua peneliti itu, berpengaruh terhadap metabolisme protein dan neuroendokrin manusia.
Penelitian lainnya dilakukan para periset asal Polandia, terbit di jurnal Nutrients (2023). Dalam riset itu, para peneliti menemukan, puasa jangka panjang menyebabkan perubahan somatik, metabolisme, dan hormonal yang signifikan.
“Di sisi lain, kesejahteraan mental tidak berubah di bawah pengaruh puasa hanya air selama delapan hari, dan tingkat kesehatan mental yang relatif tinggi dalam kondisi ini tidak bergantung pada perubahan fisiologis,” tulis para peneliti. []