Belum Tuntas, Pekerjaan Rumah itu Bernama HAM
Tahun ini, peringatan hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia memasuki tahun ke-70, sejak PBB menerbitkan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948.
Dokumen itu termasuk unik, karena paling banyak diterjemahkan–dalam 500 bahasa. Tetapi dalam hal implementasi, lain lagi ceritanya.
Komisaris Tinggi PBB Urusan HAM, Michelle Bachelet, dalam sambutan resminya menyatakan deklarasi bersejarah itu seharusnya mencegah umat manusia saling menyakiti, dan memberi kebebasan atas rasa takut dan ketidakberdayaan.
Menghadapi tantangan masa kini pun tetap relevan, seperti menjamin persamaan hak bagi kelompok LGBT, terancamnya kehidupan, atau kekurangan makanan dan gangguan kesehatan yang disebabkan perubahan iklim.
“Deklarasi itu membatasi mereka yang berkuasa, sekaligus membangkitkan harapan bagi yang tak berdaya,” kata dia dalam pernyataan tertulis.
Peringatan hari HAM ke-70 digelar pula di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Selasa, (11/12/2018). Turut hadir dalam acara itu Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Ia menggantikan Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang berjanji akan hadir, namun batal.
JK pun dititipi sejumlah “pekerjaan rumah” dari Komnas HAM. Ada delapan butir rekomendasi untuk Presiden; Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, penyelesaian konflik agraria, penanganan intoleransi, kepatuhan atas rekomendasi, dan penguatan wewenang serta kelembagaan Komnas HAM.
Indonesia baru benar-benar memasukkan isu HAM dalam konstitusi sejak amandemen kedua UUD 1945, pada 18 Agustus 2000. Patut dicatat, deklarasi PBB itu baru terbit tiga tahun setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan dan membentuk konstitusi.
Sebelum amandemen memang ada aturan dan perundang-undangan yang membahas HAM, tetapi masuknya pasal-pasal HAM dalam UUD 1945 menjadi tonggak paling bersejarah dalam hal penegakan hak asasi manusia di Indonesia.
Dengan masuknya HAM dalam konstitusi sejak 2000, idealnya Tap MPR dan UU yang muncul sebelumnya ikut menyesuaikan. Karena itulah Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 dicabut oleh Ketetapan MPR No. I/MPR/ 2003.
Namun, sampai sekarang UU No. 39/1999 tentang HAM belum direvisi. Komnas HAM pernah menggagasnya, karena UU yang diundangkan pada era Presiden BJ Habibie itu dianggap tidak mampu membentuk Komnas HAM sesuai prinsip pluralisme dan imparsialitas sebagaimana tuntutan Paris Principle.
Meski tercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019, RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan inisiatif DPR, tak pernah masuk Prolegnas Prioritas.
Belum lagi perundang-undangan lain yang bersinggungan dengan isu HAM, seperti KUHP. Meski proses pembaruannya tengah bergulir, masih banyak isu di dalamnya yang dinilai tak selaras dengan penegakan HAM.
Pekerjaan rumah lainnya, memperluas pemahaman publik bahwa HAM tidak berarti tak terbatas. Ada hak-hak tertentu yang bisa dibatasi oleh Undang-Undang–selain hak yang tidak dapat disimpangi dalam keadaan apapun. []