April 20, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Ber-Islamnya Ala Indonesia

6 min read

JAKARTA – Tak bisa elakan modernitas membawa efek besar terhadap pergeseran nilai dan cara pandang manusia, termasuk di dalamnya cara pandang beragama. Setidaknya ada tiga cara pandang beragama masyarakat Indonesia.

Pertama, kelompok formal-tekstual. Kelompok ini tidak mau sama sekali menerima penafsiran ulang. Bagi mereka agama bersifat “sakral”, tidak bisa diotak-atik, bahkan bersikap resisten terhadap ide-ide pembaharuan.

Mereka terjebak pada metode pemikiran yang menekankan pada aspek penalaran formal semata. Dalam bahasa Muhammad Arkoun, kelompok formal-tekstual telah menjauhkan diri dari nalar Islam universal yang dinamis (at-Turas bi harfin kabir), tetapi pada saat yang sama, mendekati dan memberlakukan penalaran hukum yang kaku dan sempit (at-Turas bi harfin sagir).

Kelompok formal-tekstual hanya bergerak dalam ayat-ayat teknis-praktis Al-Qur’an, belum sampai pada titik memperdalam wacana universal-dinamis dari ayat-ayat tersebut, bahkan menyangkal pentingnya memperdalam dan menerapkan ayat-ayat Al-Qur’an yang dinamis-universal.

Kelompok-kelompok semacam ini kita dapati seperti paham Wahabi, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dan belakangan organisasi seperti Front Pembela Islam (FPI). Mereka tidak mau berkompromi dengan nilai-nilai budaya; semisal budaya tahlil, ziarah kubur, selametan (kenduri), dan semacamnya.

Bahkan pada tingkat ekstrem, pandangan berlebihan terhadap sakralitas agama (hukum Islam) ini melahirkan sikap ekslusif, diskriminatif, dan intoleran, hingga kekerasan terhadap kelompok yang berbeda.

Dalam realitasnya, sikap eksklusif dan intoleran tersebut tidak hanya dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok masyarakat, bahkan negara. Kelompok ekstrem ini juga memiliki cita-cita utopia untuk mendirikan dauliyah kekhalifahan Islam (pemerintahan Islam internasional) sehingga semua sistem politik dan hukum serta turunannya di negara-negara modern yang tidak menggunakan sistem khilafah dicap kafir.

Kelompok kedua adalah kelompok kultural-subtansial. Kelompok ini berpandangan yang penting adalah substansi nilai-nilai syari’ah Islam yang diterapkan dalam hukum agama dan secara kultural umat Islam diberi kebebasan untuk menjalankan agamanya, baik dalam bidang ibadah maupun bidang mu’amalah dalam kehidupan sehari-hari. Kelompok ini terkadang melampaui batas, sehingga tidak terikat lagi dengan nilai-nilai nas hukum Islam. Paradigma seperti ini jelas tidak bisa diterima oleh nas dan pikiran rasional.

Kelompok ketiga adalah paham formal-subtansial. Paham ini muncul sebagai tawaran moderat di tengah mainstream terhadap paham formal-tekstual dan kultural-subtansial. Kelompok ini berupaya melakukan konstekstualisasi nilai-nilai agama (hukum Islam) terhadap kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia, kemudian hasilnya berupaya diformulasikan menjadi aturan perundang-undangan (hukum positif).

Dengan kata lain, paham kelompok ini hendak merumuskan paham agama (hukum Islam) yang khas ala Indonesia. Hal ini didasarkan pemahaman umat Islam Indonesia terhadap hukum Islam selama ini masih sangat kearab-araban (baca: arabisme).

Bagi mereka Islam murni (puritan) adalah Islam yang dipraktikan Nabi Muhammad selama hidup beliau pada abad ke-7 Masehi. Untuk menjaga kemurnian ajaran Islam, maka dimanapun berada harus mengikuti dan meniru Islam masa Rasulullah dengan seluruh budaya dan tradisi kearabannya.

Kurang afdal berislam jika belum menggunakan identitas Arab, mulai cara bicara ke-arab-arab-an, berjenggot panjang, memakai jubah, memakai abaya hitam dan bercadar, hingga cara makan dan apa yang dimakan orang Arab menjadi model keislaman.

Tentu paham seperti ini masuk pada ketegori yang memaksa. Karena itu, perlu kiranya dibangun sebuah kesadaran untuk menggagas “Islam (fiqh) ala Indonesia” yang dapat merespons kebutuhan hukum (beragama) masyarakat Indonesia.

Islam ala Indonesia ini merupakan pengembangan pemikiran agama (hukum Islam) di Indonesia dengan para tokoh-tokoh penggagasnya. Misalnya Fikih Indonesia oleh Hasbi Ash-Shidiqiey, Fikih Mazhab Nasional Hazairin, Sekurelisasi Islam Nurcholis Madjid, Reatualisasi Islam Munawir Sjadzali, Pribumisasi Islam Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Agama Keadilan Masdar F. Mas’udi, dan Fikih Sosial Sahal Mahfudz.

Islam ala Indonesia adalah pemahaman Al-Qur’an dan Hadis mengenai masalah-masalah mua’malah yang disesuaikan dengan karakter budaya masyarakat Indonesia. Menurut Hasbi, jika ‘urf (adat istiadat/budaya) Arab dapat dijadikan sumber hukum Islam di Arab, maka ‘urf Indonesia juga bisa digunakan.

Lebih lanjut, memaksakan budaya Arab diberlakukan untuk umat Islam Indonesia bukan saja bertentangan dengan azaz persamaan yang dianut oleh ajaran Islam, namun juga menjadikan hukum Islam (fiqh) terasa asing, dan pada akhirnya masyarakat meninggalkan fiqh dan mencari hukum yang lain.

Islam (fiqh) ala Indonesia ini terus berkembang, bahkan ide pembaharuan itu sudah masuk pada ruang-ruang yang selama ini dianggap qath’i (naṣ yang sudah pasti tidak bisa ditakwil dan dimaknai dengan arti lain).

Sebagai contoh adalah ide reaktualisasi gagasan Munawir Sjadzali yang dianggap menggugat ketentuan naṣ yang qath’i atas dasar kemaslahatan dan rasa keadilan masyarakat. Persolan yang disoroti Munawir adalah permasalahan bunga bank dan persamaan bagian waris antara anak laki-laki dan anak perempuan.

Perihal bunga bank, banyak umat Islam berpikir dan berkeyakinan bahwa bunga bank adalah riba dan hukumnya haram serta terkutuk, sehingga harus ditinggalkan. Namun, pada saat yang sama, banyak dari mereka menggunakan layanan bank berupa tabungan, deposito, dan layanan bank lainnya yang berkaitan dengan bunga.

Mereka beralasan bahwa menggunakan layanan bank itu karena keadaan darurat. Padahal kelonggaran yang diberikan dalam keadaan darurat adalah bahwa tidak ada unsur kesengajaan dan tidak lebih dari pemenuhan kebutuhan primer, sebagaimana dinyatakan dalam QS Al-Baqarah [2] ayat 173.

Sikap mendua ini juga terlihat dalam masalah pembagian harta waris. Dalam QS An-Nisa [4] ayat 11, secara tegas dan jelas dinyatakan bahwa hak anak laki-laki dua kali lipat dari bagian anak perempuan. Namun dalam praktiknya, ketentuan ini banyak ditinggalkan oleh masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penjelasan ini dapat ditemukan pada kepala keluarga yang memberikan sebagian besar kekayaanya semasa hidup mereka sebagai hibah (pemberian cuma-cuma/hadiah) kepada anak-anaknya dengan bagian sama besar tanpa mendiskriminasi gender.

Dengan demikian, pada waktu meninggal, kekayaan yang akan dibagi tinggal sedikit atau bahkan hampir habis sama sekali. Hal itu dilakukan agar tidak terjadi konflik saat pembagian harta waris sebagaimana banyak didapatkan sengketa waris yang diajukan ke pengadilan-pengadilan Agama. Meskipun secara formal, praktik pemberian hibah tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan Al-Qur’an, namun pada dasarnya praktik tersebut adalah hilah (siasat, tipu daya) untuk menghindari ketentuan hukum waris Islam (faraid).

Menurut Munawir, sikap mendua masyarakat Islam Indonesia tersebut tidak selalu disebabkan oleh tipisnya iman. Namun, bisa disebabkan oleh pertimbangan budaya dan struktur sosial serta konteks masyarakat Indonesia saat ini yang telah sedemikian rupa sehingga penerapan hukum Islam apa adanya tidak dapat diterima oleh rasa keadilan dan kemaslahatan.

Oleh karena itu, menurut Munawir, perlu dilakukan modifikasi dan kontekstualisasi hukum Islam, termasuk ketentuan-ketentuan yang telah jelas (qath’i) digariskan secara tekstual dalam Al-Qur’an. Adapun argumentasi Munawir terkait bunga bank dan persamaan bagian hak waris anak laki-laki dan anak perempuan akan ditulis dalam kesempatan yang lain (jika diperlukan).

Dua contoh kasus di atas menunjukan adanya hubungan dialektis antara Al-Qur’an dengan realitas budaya. Persis dalam sistem budaya yang mendasarinya itulah, Al-Qur’an terkontruksi secara kultur dan terstruktur secara historis. Inilah yang ditegaskan oleh Nasr Hamid Abu Yadz sebagai al-Muntaj al-Saqafi (Al-Qur’an sebagai produk budaya). Hal ini berarti, tidak semua doktrin dan pemahaman agama dapat berlaku sepanjang zaman dan tempat, mengingat gagasan universal Islam telah mengambil lokus bahasa dan budaya Arab yang relatif, lokal, dan partikular.

Karena sifatnya yang selalu berdialektika dengan realitas, maka tradisi keagamaan dapat berubah sesuai dengan konteks sosial budaya suatu masyarakat. Atas dasar itu, bagi Islam (fiqh) ala Indonesia, Islam yang hadir di setiap jengkal bumi ini selalu merupakan produk racikan dialektika antara wahyu dan tradisi, sehingga Islam yang ideal sebagaimana bayangan kelompok formal-tekstual itu sebenarnya tidak ada. Yang ada hanyalah Islam yang riil, yang hidup di tengah masyarakat plural.

Dengan perspektif demikian, bagi Islam ala Indonesia, sama sekali tidak berpretensi mengangkut budaya lokal Arab untuk diterapkan dibelahan bumi Indonesia karena menyadari bahwa universalisasi budaya-budaya Arab tersebut bukanlah tindakan bijak.

Dalam konteks ini, Gus Dur pernah menyatakan bahwa proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah hanya akan menyebabkan tercerabutnya masyarakat Indonesia dengan budayanya sendiri, sehingga arabisasi tidak serta merta sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu, Islam ala Indonesia berusaha mendialektikakan ajaran inti Islam ke dalam budaya lokal Indonesia dan berusaha selalu mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal masyarakat dalam merumuskan hukum-hukum agama dengan tanpa mengubah hukum inti agama (maqasid asy-syariah).

Dengan karakteristik seperti ini, Islam ala Indonesia menempatkan ‘urf sahih (adat istiadat yang baik dan konteks sosial) pada posisi yang sangat penting sebagai pertimbangan utama dalam menetapkan hukum Islam. Wallahu a’lam. []

Penulis Muhammad Muhajir

Advertisement
Advertisement