Berat, Menjadi PMI Rentan Alami Gangguan Mental

JAKARTA – Satu dari lima orang Indonesia mengalami masalah kesehatan mental, namun hanya 9 persen yang mendapatkan akses bantuan. Data ini disampaikan Co-Founder & CEO HatiPlong, Farah Mutiasari Djalal, berdasarkan riset perusahaannya pada tahun lalu.
“Ironinya, sebagian besar tidak tahu harus ke mana untuk mencari bantuan,” kata Farah dalam diskusi bertajuk “Migrasi yang Efektif untuk Pekerja Migran Indonesia (PMI)” dalam Kongres Diaspora Indonesia ke-8 di Ibu Kota Nusantara (IKN), Jumat (1/8/2025).
Menurutnya, pekerja migran Indonesia (PMI) termasuk kelompok yang rentan. Mereka hidup jauh dari keluarga, membawa beban rumah tangga, menghadapi proses administrasi panjang, serta beradaptasi dengan bahasa dan budaya baru.
- Masalah pribadi jadi pemicu utama stres pada PMI
Farah menjelaskan, masalah pribadi menjadi penyebab utama gangguan mental pada PMI. Riset bersama KJRI dan KBRI di Uni Emirat Arab menemukan 35 persen kasus dipicu masalah pribadi dan pekerjaan, 15 persen oleh pekerjaan, dan sisanya terkait ketidakpastian masa depan.
“Kesepian juga menjadi faktor besar. Banyak PMI tidak punya siapa-siapa untuk diajak bicara, sementara keterbatasan bahasa menghambat komunikasi. Hanya 35 persen yang akhirnya mengakses bantuan,” ucapnya.
Tak hanya PMI, anak-anak yang ditinggalkan di tanah air juga menghadapi dampak psikologis. Mereka kerap mengalami trauma, ketakutan ditinggalkan, hingga krisis kepercayaan. Sebagian menjadi overachiever untuk membuktikan diri demi pengorbanan orang tua mereka.
Farah menilai, akses layanan profesional masih menjadi tantangan. Telekonseling bisa menjadi salah satu solusi, diiringi penguatan mental sebelum keberangkatan. Ia juga menekankan pentingnya penyediaan layanan konseling, baik untuk PMI maupun anak-anak mereka.
- Migrasi prosedural kunci lindungi PMI
Head of Labour Mobility, Social Inclusion, and Counter Trafficking IOM Indonesia, Shafira Ayunindya, menekankan pentingnya jalur migrasi prosedural bagi pekerja migran Indonesia (PMI).
“Ketika pekerja migran dan keluarganya terlindungi dan berdaya, mereka akan menjadi aktor kunci pembangunan. Mereka membawa dampak positif seperti etos kerja dan kontribusi ekonomi yang signifikan,” ujarnya.
Menurut Shafira, migrasi memengaruhi bukan hanya individu, tapi juga anak-anak dan keluarga yang ditinggalkan. Tumbuh kembang anak bisa terdampak, sehingga perlu mitigasi risiko yang holistik.
- Migrasi hanya batu loncatan
Ia menambahkan, migrasi seharusnya menjadi batu loncatan untuk memperbaiki taraf hidup. “Kalau taraf hidup sudah tercapai, sebaiknya keluar dari siklus migrasi terus-menerus,” imbuhnya.
Shafira juga menyoroti perbedaan antara migrasi prosedural dan nonprosedural. Migrasi nonprosedural meningkatkan risiko perdagangan orang, sedangkan jalur prosedural memberikan mekanisme perlindungan yang lebih kuat.
“Karena itu, penting memastikan semua calon pekerja migran mendapatkan akses pada jalur migrasi yang aman, legal, dan manusiawi,” pungkasnya. []