April 23, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Berdunia Maya yang Penuh Kepalsuan

5 min read

ApakabarOnline.com – Di zaman digital seperti saat ini, banyak hal-hal yang sepertinya nyata padahal sejatinya hanya semu. Di media sosial misalnya, sebagian orang memilih sengaja membuat  rekaan gambaran kehidupannya demi mendapat sanjungan publik, atau menyembunyikan diri dari jati diri yang sesungguhnya.

Faktanya, kehidupan yang berjalan tak semengagumkan dan tak seindah potret yang dibagikan pada media sosial. Ini artinya, ada unsur  kebohongan yang menyelinap di dalamnya. Tak bisa dimungkiri bahwa media sosial merupakan “panggung” maya untuk sejumlah orang menampilkan aktivitas dan kehidupan mereka pada dunia.

Kebahagiaan dan kesuksesan, dua hal yang paling sering terlihat di media sosial, baik dalam bentuk foto maupun kalimat berupa status. Namun, tahukah Anda kebahagiaan itu lebih dari sejauh mata memandang. Artinya, apa yang terlihat tak selalu merefleksikan kondisi yang sesungguhnya.

Sebuah survei bahkan pernah melaporkan, banyak pemilik akun Facebook mengaku, mereka mengemas kehidupan yang dipertontonkan di media sosial dengan banyak kebohongan. Tujuannya, supaya orang lain mengakui dan merasa cemburu dengan pencapaian mereka.

“Media sosial adalah media yang tanpa henti mengalirkan informasi soal kehidupan hasil editan. Alhasil, persepsi kita pada kehidupan terdistorsi,” terang Happiness Research Institute.

Happiness Research Institute baru-baru ini mengampanyekan hidup tanpa terhubung dengan media sosial. Lalu, mereka menyurvei lebih kurang 1.085 orang yang tidak terkoneksi dengan media sosial untuk sementara waktu.

Hasilnya, sebagian besar dari mereka mengaku lebih bahagia dan hidup terasa jauh lebih baik. Sebanyak 88 persen responden mengaku hidup lebih bahagia tanpa media sosial. Sementara itu, 44 persen responden merasa resah saat kali pertama tidak bermain Facebook. Lalu, 54 persen lainnya menyatakan hidup lebih indah tanpa melihat drama dan aktivitas orang lain di media sosial.

Jika dikaji lebih dalam, sebenarnya tidak ada manfaat sama sekali berbohong demi citra diri agar mendapat sanjungan banyak orang. Setidaknya  5 alasan berikut ini menjelaskan mengapa berbohong demi pencitraan itu gak penting alias gak ada gunanya.

  1. Karena hanya mendatangkan kebahagiaan yang bersifat semu

Mungkin kamu pernah melihat sebuah video berdurasi beberapa menit yang isinya seolah-olah nasehat dimana dalam memberikan nasehat, pengunggah mempersonifikasikan diri bak malaikat yang bersih. Padahal sejatinya, di kehidupan nyata, dia hidup dibawah bayang-bayang kubangan kelam. Di dunia maya, dia ingin mendapatkan kebahagiaan dari pengakuan orang-orang yang melihatnya, bahwa “inil ho aku, seperti dalam frming yang aku buat ini lho kehidupanku dan kondisiku”

Mengamati akun-akun sosial media, layaknya orang hidup, tentu ada unggahan aktifitas foto, video, serta cerita kehidupan sehari-hari  dimana pemirsa bisa melihat dengan utuh bagaimana dia bekerja, bagaimana, dimana dia tinggal, dengan dan siapa saja lingkungan riil tempat tinggalnya.

Namun akan menjadi beban kepalsuan jika seseorang memerankan kehidupan yang lain. Peran serta kenyataan yang sesungguhnya ditutup rapat-rapat, kemudian dengan framing yang dia buat-buat, cerita yang dia buat-buat, dia suguhkan ke publik dunia maya sebagai jati diri yang seolah-olah nyata.

Hal sederhana, penggunaan nama di sosial media. Mudah sekali ditemukan orang yang karena alasan tidak ingin diketahui, tidak menggunakan nama riilnya disosial media. Tentu, semua targetnya untuk meraih citra positif.

  1. Akan membuatmu krisis kepercayaan diri

Bohong demi citra positif perlahan akan menggerus kepercayaan diri yang ada pada dirimu. Bayangkan jika kepercayaan diri hilang, seorang manusia akan sulit beradaptasi dan mengenal dirinya sendiri.

Salah satu yang membuat seseorang berbohong demi citra positif karena ia tak ingin kekurangan yang ada pada dirinya diketahui khalayak. Ini adalah pola pikir yang keliru. Jangan biarkan hidupmu terkungkung dalam kepalsuan, mulailah percaya diri dan jadilah dirimu sendiri tanpa perlu berdusta.

Misalnya mengaku-ngaku lulusan sebuah Akademi sebagai pendidikan terakhirnya, kemudian mengaku bekerja di sebuah perusahaan pengelola airport, padahal sejatinya, pendidikan riilnya dua set dibawah yang dia akui di sosial media, dan pekerjaan yang sesungguhnyapun dengan rapat-rapat dia tutupi karena jauh dari keinginan idealnya menjadi pekerja airport.

  1. Karena pikiranmu akan terbebani dan akhirnya terkena stres

Seseorang yang sibuk berbohong demi citra positif, tentu hidupnya akan sulit untuk tenang. Sebab ia menjalankan hari-harinya dengan menebar kebohongan agar orang-orang respect padanya. Ini merupakan pola pikir keliru yang harus dihilangkan oleh setiap orang.

Sejatinya berbohong adalah salah satu perbuatan tidak baik, jika terus saja dilakukan maka akan berdampak terhadap kualitas diri, ujungnya malah membuat pikiran menjadi terbebani dan menjadi stres karena terus saja bergelut dengan sesuatu yang sengaja direka-reka.

Jika stress sudah berada di level tertentu, kontrol diri terhadap upaya pencitraan akan lemah. Sensitifitas di sosial media dalam berinteraksi potensial akan membuka tabir yang sebenarnya, atau minimal menimbulkan kesan tidak sesuai dengan citra yang dibangun.

Seperti pada contoh diatas, seseorang yang mengaku lulusan Akademi dan bekerja di airport, tentu memiliki kapasitas intelektual dan kematangan akademik yang mempengaruhi caranya berkomunikasi. Mulai dari memilih kata, hingga standart norma dan etika. Hal mana yang layak diungkap ke publik dan hal mana yang tidak layak.

Beban kepalsuan yang disangganya, tanpa dia sadari telah membuat logika pencitraannya menjadi kacau balau. Dan saat orang mempertanyakan krekacauan tersebut, akan menambah beban baru bukan.

  1. Akan sibuk merancang kebohongan selanjutnya

Yakinlah tidak ada nikmatnya hidup jika senantiasa berkubang dalam kepalsuan. Jika bukan lulusan sebuah akademi, akui saja bukan lulusan akademi, jika bekerja menjadi sopir taksi, akui saja menjadi sopir taksi, jangan memoles diri laksana seorang penerbang. Akan lebih memiliki citra yang positif, jika jujur mengakui sebagai sopir taksi daripada sebenarnya menjadi sopir taksi tetapi mengaku sebagai pilot.

Inilah yang menjadi salah satu alasan berbohong demi pencitraan tak ada gunanya. Sebab setiap hari seseorang akan terus sibuk merancang kebohongan demi menutupi kebohongan yang sebelumnya telah ia lakukan. Ketika seseorang larut dalam kebohongan yang ia lakukan, maka hidup pun tak lagi nyaman dan penuh makna.

  1. Menjadi buah bibir

Hidup di dunia ini hanya sekali, untuk itu seseorang harus punya track yang benar agar hidupnya tidak sia-sia. Berbohong demi pencitraan merupakan salah satu perilaku yang sia-sia, sebab seseorang berupaya menunjukkan dirinya kepada orang lain lewat cara yang keliru, yakni berbohong.

Disinilah ukuran standart norma dan kepantasan seseorang terlihat. Penampilan dan perkataan dalam rangka membangun citra, menjadi tolak ukur bagaimana yang bersangkutan memiliki dasar etika yang sebenarnya, dibelakang etika yang dicitrakan.

Jika perbuatan dustamu diketahui banyak orang, bukan tidak mungkin banyak orang akan mencibir dan menyudutkanmu. Ingatlah, jangan sengaja mencuri perhatian orang lain dengan berbuat perbuatan yang tidak benar, tidak etik, menabrak norma. Berbuatlah hal yang positif dengan senantiasa menjunjung nilai kejujuran, dan memilah hal-hal mana yang layak diungkap ke publik serta hal-hal mana yang harus tetap berada di wilayah privat, maka dengan sendirinya orang lain juga akan mengangkat topi untuk memberi apresiasi padamu.

Demikian 5 alasan mengapa kepalsuan demi pencitraan itu gak ada gunanya. Selagi masih bisa bernafas, gunakan waktumu untuk menjalani hari dengan kegiatan positif dan tidak melanggar etika, kepantasan serta batasan norma. Jangan menjadi “Azura” selanjutnya, aslinya domestic helper, mengaku menjadi anak konglomerat dan mencitrakan diri sebagai sosialita, aslinya hanya lulusan SMA, mengaku lulusan pasca sarjana. []

Advertisement
Advertisement