February 6, 2025

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Berkat Gigih dan Pantang Menyerah, Kini Mantan PMI Asal Bantul Berhasil Buktikan, di Kampung Halaman Bisa Memiliki Usaha dengan Cuan yang Cukup Mantul

2 min read

JAKARTA – Banyak yang beranggapan, memiliki dan menjalankan usaha, modal utamanya adalah uang. Banyak yang beranggapan, di kampung halaman yang dianggap minim lapangan pekerjaan, juga tipis harapan untuk menjalankan usaha berbasis kewirausahaan.

Ternyata anggapan tersebut ditepis oleh Supardi, pria warga Sungapan, Kalurahan Sriharjo, Imogiri, Bantul Yogyakarta. Dengan usaha kripik tempe sagu, Supardi mematahkan berwirausaha di kampung halaman tidak menjanjikan.

Pulang dari negara penempatan Malaysia tahun 2004, Sunardi awalnya menjalankan usaha kuliner.

“Saya dulu jadi TKI di Malaysia di bidang kilang minyak dan kilang alumunium. Setelah pulang (ke Tanah Air), saya tanya dan ajak teman-teman saya yang juga mantan TKI untuk buat usaha,” tutur Supardi.

Langkah ini bukan sekadar membantu perekonomian mereka, tetapi juga memberikan kesempatan bagi para mantan pekerja migran untuk membangun kehidupan yang lebih stabil di kampung halaman.

Bermodal kemauan dan belajar secara otodidak, ia mencoba peruntungan dengan memproduksi keripik peyek di Magelang, Jawa Tengah dengan modal dari hasil bekerja di Malaysia. Sayangnya, usaha tersebut tidak berjalan mulus dan mengalami kerugian.

Tak ingin menyerah, Supardi kembali ke kampung halamannya di Bantul dan mulai mencari peluang baru. Pada 2012, ia menemukan ide untuk membuat keripik tempe sagu, camilan khas yang memadukan gurihnya tempe dengan kerenyahan sagu. Keunikan produk ini perlahan menarik minat pasar, hingga akhirnya berkembang menjadi bisnis yang menjanjikan.

“Sejauh ini, stok dan bahan-bahan pembuatan tempe sagu itu mudah didapatkan. Jadi, kami buat sendiri menjadi tempe sagu baru kemudian diolah lagi menjadi keripik tempe sagu,” paparnya.

Kini, Keripik Satu Fito telah memiliki pelanggan setia dari berbagai daerah, termasuk Banyuwangi, Jawa Timur. Produk ini semakin diminati, terutama pada momen-momen tertentu seperti libur Natal dan pergantian tahun.

“Dalam kondisi normal, kami memproduksi sekitar 60 kilogram keripik per hari. Tapi saat musim liburan seperti sekarang, produksi meningkat hingga 80-90 kilogram per hari,” ujar Supardi.

Lonjakan permintaan ini juga berdampak pada omzet yang diperoleh. Jika biasanya ia mengantongi sekitar Rp1,5 juta per hari, kini pendapatannya bisa mencapai Rp45 juta per bulan.

Dengan semangat pantang menyerah dan inovasi dalam usahanya, Supardi membuktikan bahwa kegagalan bukanlah akhir dari segalanya. Dari seorang mantan pekerja migran, ia kini menjadi juragan sekaligus inspirasi bagi banyak orang yang ingin merintis usaha di tanah air. []

Advertisement
Advertisement

Leave a Reply