August 24, 2025

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Bermain di Alam Bebas Baik Sekali Kontribusinya untuk Tumbuh Kembang Otak Anak-Anak

3 min read

JAKARTA – Sekelompok anak tampak berjuang memindahkan sebatang kayu besar, berdebat soal di mana seharusnya kayu itu ditempatkan. Seorang anak lain memanjat pohon, bajunya tersangkut di dahan. Di sudut lain, seorang bocah berjongkok di tepi genangan air, menggambar peta harta karun di atas lumpur.

Apa yang tidak terlihat di sana? Tidak ada orang tua yang sibuk mengawasi, berseru “hati-hati”, atau buru-buru melerai ketika terjadi pertengkaran antara anak-anak. Inilah potret petualangan anak-anak tanpa pengawasan yang kini populer di media sosial dengan sebutan “feral child summer”.

Fenomena ini muncul di tengah dorongan keluarga untuk melawan rutinitas yang terlalu padat dan dominasi layar gawai. Bukan sekadar rasa rindu pada masa lalu; sebuah studi pada 2018 menemukan bahwa anak-anak di Amerika Serikat menghabiskan waktu bermain bebas di luar rumah 35% lebih sedikit dibandingkan generasi orang tua mereka.

Para ilmuwan mengingatkan hal itu penting untuk dicermati karena bermain bebas dan tidak terstruktur terbukti baik bagi fungsi eksekutif otak, regulasi emosi, keterampilan memecahkan masalah, dan masih banyak lagi. Jadi, apa yang sebenarnya terjadi di dalam otak anak ketika mereka dibiarkan berlarian tanpa batas?

“Penelitian kami menunjukkan bahwa anak-anak yang diberi kesempatan bermain di luar lebih mandiri dan mampu mengurus dirinya sendiri,” kata Ellen Beate Hansen Sandseter, profesor di Queen Maud University College of Early Childhood Education, seperti dikutip dari National Geography, Jumat (22/8).

Menurut Sandseter, “permainan yang melibatkan risiko” berkaitan erat dengan peningkatan kekuatan fisik dan mental. Anak-anak yang terbiasa mengambil risiko fisik akan lebih terampil menilai risiko lain dalam hidupnya.

Sandseter menyebut permainan seperti itu sering memicu “flow state”: kondisi ketika tantangan terasa pas, “Tidak terlalu mudah tapi juga tidak membuat kewalahan. Di titik inilah potensi belajar anak berada pada puncaknya,” kata dia.

Pengalaman dengan alam di masa kecil memang dapat memberikan dampak seumur hidup. Sebuah tinjauan pada 2024 terhadap program ruang hijau berbasis sekolah menemukan peningkatan konsisten pada suasana hati, aktivitas, dan koneksi sosial siswa.

Selain itu, studi longitudinal di Eropa menemukan paparan ruang hijau yang tinggi sejak kecil berkaitan dengan menurunnya risiko gangguan psikiatri hingga 55% lebih rendah di kemudian hari. Anak-anak yang bersentuhan dengan alam sejak kecil cenderung lebih sehat mentalnya ketika dewasa.

Bermain bebas juga melatih saraf anak-anak. Aktivitas seperti berayun, berlari, dan melompat membantu mengatur emosi dengan merangsang bagian otak bawah yang peka terhadap ritme. Ini juga memperkuat jalur di korteks prefrontal—pusat perencanaan dan pengambilan keputusan otak—serta mengaktifkan hipokampus, yang berperan penting dalam navigasi ruang dan memori.

“Dunia alami menawarkan rangkaian tantangan yang tak terbatas dan hal-hal baru untuk ditemukan, sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh bangunan buatan manusia,” ujar Louise Chawla, profesor emerita Program Environmental Design di University of Colorado Boulder.

“Alam penuh dengan tantangan ‘bisa nggak ya aku lakukan ini’,” lanjutnya. “Bisa nggak aku angkat batu ini? Bisa nggak aku panjat pohon itu?” Saat anak tumbuh, mereka kembali mencoba tantangan yang dulu tak mampu mereka atasi, lalu mengambil tantangan yang lebih besar.

Chawla menambahkan, permainan di alam seringkali lebih kolaboratif dibanding interaksi di taman bermain, karena memicu proyek bersama, seperti membangun benteng atau “memasak” dengan tanah dan bunga. Konflik tetap muncul, katanya, tapi justru mendorong anak belajar menyelesaikan masalah, membangun keterampilan komunikasi dan kerja sama yang berguna sepanjang hidup.

 

Mulai sejak dini

Chawla mengatatakan penting agar bermain bebas dimulai sejak usia dini, yakni ketika otak anak paling reseptif. “Tahun-tahun awal adalah fase yang sangat membentuk rasa nyaman dan percaya diri anak di alam,” ujarnya.

Layaknya daya tahan fisik, kenyamanan berada di alam bisa dilatih di usia berapa pun. Tapi bagi banyak keluarga, mencapai pengalaman ini tidak selalu mudah. Bahkan di negara yang dikenal ramah anak, UNICEF mencatat banyak anak yang tak memiliki akses aman ke ruang hijau di dekat rumah.

Di Amerika Serikat, sejumlah aturan masih menyulitkan anak untuk menjelajah sendirian. Kekhawatiran akan keselamatan, tekanan jadwal, hingga keterbatasan infrastruktur juga menjadi penghalang. Di negara tanpa jaminan kesehatan universal, biaya cedera potensial menambah alasan orang tua enggan membiarkan anak bermain bebas di luar.

Jika menghadapi keterbatasan akses atau kekhawatiran keamanan, Chawla menyarankan solusi skala kecil. Hadirkan unsur alam ke dalam rumah: tanaman, air, pasir; atau biarkan anak mengumpulkan benda-benda lepas—daun, bulu, pinus—untuk stimulasi sensorik.

“Bermain di alam tidak hanya baik untuk anak-anak,” kata Chawla. “Ini juga baik untuk keseimbangan dunia alami. Orang yang terbiasa dekat dengan alam sejak kecil lebih mungkin merawatnya ketika dewasa.” kata dia.  []

Advertisement
Advertisement

Leave a Reply