November 21, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

“Besar Kepala” Karena Dipuja, Ekspektasi Mama-Mama Muda di Sosial Media

5 min read

ApakabarOnline.comMama punya kisah horror terngeri dasawarsa ini!

“Pada suatu hari, listrik mati. Mama pun tiada bisa posting feed dan story.

Padahal begitu bertubi konten tentang anak Mama’s activity nan extraordinary.

Asli! Ini lebih mencekam daripada kisah zombie!”

Kalimat tersebut dituliskan akun @mamambisius dalam sebuah unggahan di profil Instagram-nya. Di kalangan pengguna media sosial ini, terutama mereka yang berdemografi sebagai ibu-ibu muda, Mama Ambisius hadir sebagai akun hiburan. Akun ini menyuguhkan berbagai konten bernada sarkastis tentang perilaku ibu-ibu muda di era digital yang berobsesi terhadap kegiatan pengasuhan (parenting) yang baik. Misalnya saja, akun ini menyoroti para ibu muda yang tak jarang berlomba-lomba menunjukkan prestasi sang anak di media sosial sebagai bukti “keberhasilan” dalam mendidik.

Sebenarnya, menunjukkan prestasi anak di media sosial merupakan pilihan setiap orang tua. Hal tersebut bahkan dapat dinilai positif karena dapat menjadi bentuk penghargaan terhadap sang anak. Namun, yang menjadi masalah adalah intensitas dan tujuan “pameran-prestasi” tersebut. Dengan niat baik, ternyata apresiasi bisa jadi bumerang bagi pihak yang jadi target.

 

Kebaikan Apresiasi

Tidak dapat dimungkiri, memberikan apresiasi kepada anak merupakan tindakan yang berdampak baik bagi perkembangannya. Psikolog Ryan M. Niemiec dalam sebuah artikel menjelaskan bahwa apresiasi memang memiliki banyak sisi positif, kepada siapa pun ia diarahkan. Salah satunya sisi positifnya adalah kelanggengan sebuah hubungan. Seseorang yang mengekspresikan rasa apresiasi kepada pasangan dinilai lebih berkomitmen sehingga berdampak baik dalam sebuah hubungan.

Apresiasi tidak hanya berpengaruh terhadap awet atau tidaknya suatu hubungan. Niemiec (2014) juga menjelaskan bahwa hubungan yang dihiasi berbagai bentuk ekspresi perasaan dan apresiasi dapat diasosasikan dengan lebih kuatnya ikatan, lebih tingginya kepuasan pernikahan, hingga keinginan yang lebih besar untuk berbagi perhatian dalam sebuah hubungan. Jadi, selain kuantitas jangka waktu, kualitas hubungan pun dapat didorong oleh kegiatan ini.

Bentuk apresiasi tidak hanya dapat ditujukan kepada seseorang, tetapi juga terhadap momen yang dihabiskan bersama orang tersebut. Jadi, hidup tidak hanya dihadapi, tetapi juga disyukuri. Masih menurut Niemiec, orang-orang yang terbiasa menikmati masa lalu dan masa yang sedang dijalani cenderung memiliki kebahagiaan yang lebih besar apabila dibandingkan dengan mereka yang hanya menjalaninya.

 

Bagaimana caranya?

Salah satu hal yang memacu timbulnya apresiasi terhadap seseorang atau sesuatu adalah dengan secara mental mengurangi peristiwa positif. Maksudnya, kita dapat membayangkan kejadian-kejadian tersebut tidak pernah terjadi dalam hidup kita (Niemiec 2014). Misalnya, bagaimana jika Anda tidak pernah bertemu dengan pasangan Anda, meskipun kalian kerap terlibat pertengkaran? Bagaimana jika Anda tidak pernah memiliki anak yang saat ini sedang Anda besarkan, meskipun ia terkadang membangkang? Dengan mengimajinasikan hal-hal tersebut, seseorang dapat lebih memandang penting orang-orang di sekitar dan berbagai hal yang telah terjadi pada dirinya.

 

Besar Kepala karena Dipuja

Meskipun begitu, apresiasi tidak selamanya berdampak positif, melainkan juga dapat berbuah negatif. Logika ini setidaknya tercermin dalam kecenderungan beberapa “mama muda” pegiat media sosial, terutama Instagram. Alih-alih untuk tujuan psikologis, apresiasi yang dilakukan terhadap anak lewat berbagai unggahan malahan lebih sering digunakan sebagai bahan pengejaran obsesi.

Sebagai orang tua baru, beberapa orang ingin memenuhi ambisinya dalam menjalankan pengasuhan yang sempurna terhadap sang anak. Kegiatan-kegiatan yang dikategorikan mendukung perkembangan anak diunggah. Sebagai pencapaiannya, mereka juga berkompetisi menunjukkan berbagai prestasi sang anak untuk membuktikan bahwa upaya parenting mereka benar-benar ideal. Akhirnya, yang ingin dicapai adalah pernyataan yang membuktikan bahwa mereka tampak sukses sebagai orang tua.

Tanpa disadari, kegiatan yang akhirnya menjadi adiksi ini memengaruhi sang anak yang terus diganjar pujian. Sang anak akan tumbuh sebagai sosok yang terlampau percaya diri dan menganggap dirinya paling hebat dalam berbagai hal. Hal ini diperparah apabila segala apresiasi yang disampaikan para orang tua menggunakan metode perbandingan dengan anak-anak lainnya di sekitarnya. Si anak melabeli dirinya lebih baik dari sosok yang dijadikan pembanding oleh sang orang tua. Akhirnya, bukan tidak mungkin sang anak malah meremehkan anak lain tersebut.

Dengan penghargaannya yang terlalu besar terhadap diri sendiri, ia akan menyepelekan hampir semua hal karena yakin dirinya mampu menyelesaikan perihal apa pun. Akibat jangka panjangnya, akan terbentuk karakter yang terlalu santai dalam mengelola target hidup sehingga minim upaya melakukan pengembangan diri.

 

Kesuksesan adalah Keharusan

Pujian tidak hanya dapat mengakibatkan rasa terlalu percaya diri yang berpotensi melahirkan sikap arogan dan meremehkan. Pujian atau apresiasi yang tidak tepat dan terlalu berlebihan juga dapat mengakibatkan depresi ketika sosok tersebut mengalami kegagalan suatu hari, terutama apabila yang bersangkutan masih berusia anak. Hal tersebut setidaknya dijelaskan oleh Brummelman, dkk. (2014) dalam artikel jurnal yang berjudul “On Feeding Those Hungry for Praise: Person Praises Backfires in Children”.

Mengutip penelitian terdahulu, Brummelman, dkk. (2014) mengatakan bahwa, apabila anak-anak melakukan kesalahan ketika melakukan tugas yang sama, mereka yang pernah menerima pujian ketika menjalani tugas tersebut sebelumnya akan merasa lebih tertekan. Mereka akan mengevaluasi dirinya secara lebih negatif. Mereka akan mempertanyakan, apabila dulu dapat melakukannya dengan baik, kenapa sekarang tidak bisa? Pikiran tersebut akan menggerogoti sang anak dan menimbulkan dampak negatif terhadap kondisi mentalnya (Brummelman, dkk., 2014).

Sang anak akan menyalahkan dirinya sendiri dibandingkan, bukannya menyalahkan kebiasaan mereka. Dibandingkan berpikir, “Saya tidak berusaha cukup keras sehingga saya gagal”, ia akan berpikir, “Saya tidak pandai sehingga saya gagal”. Logika negatif terhadap diri sendiri tersebut secara psikologis akan lebih menyakitkan dibandingkan logika negatif terhadap kebiasaan karena kebiasaan berpotensi diubah. Ketika seseorang melabeli dirinya bodoh, hal tersebut akan cenderung dianggap tidak dapat diubah.

Situasi akan lebih buruk apabila pujian atau apresiasi yang biasanya diterima didapatkan dari orangtua yang suka membandingkan diri sang anak dengan anak yang lain. Ketika gagal, sang anak akan membandingkan dirinya dengan anak lain yang juga melakukan tugas yang sama. Ia akan menyalahkan diri sendiri yang tidak dapat melakukan suatu tugas sebaik anak lain melakukannya. Hal ini dinilai tidak bijak karena, bagaimanapun, setiap anak memiliki talenta yang berbeda-beda yang tidak dapat dibandingkan dengan satu jenis tugas saja.

Selain itu, Kamins & Dweck (dalam Brummelman, dkk., 2014) menyatakan bahwa, dalam kondisi tertentu, apresiasi dapat menjadi syarat dan keharusan. Hal ini mendorong anak-anak untuk meyakini bahwa mereka hanya akan dihargai sebagai manusia hanya jika mereka sukses atau berprestasi. Ketika mereka mengalami kegagalan, meskipun hanya satu atau dua kali, mereka akan merasa tidak berharga.

Apresiasi yang disampaikan secara rutin memperparah potensi dampak negatif ketika sang anak gagal. Pujian-pujian tersebut akan membuatnya merasa bahwa kesuksesan adalah hal yang keharusan. Prestasi adalah sesuatu yang harus ditunjukkannya secara terus-menerus secara konstan. Pola pikir inilah yang kemudian membuat si anak rapuh secara emosional, tidak siap terhadap berbagai bentuk kegagalan.

Ambisi kebanyakan mama muda yang hobi mengunggah berbagai aktivitas dan pencapaian anak di media sosial pada akhirnya berpotensi memiliki efek seperti yang dijelaskan sebelumnya. Sementara sang mama menjadikan prestasi putra-putrinya sebagai konten wajib di media sosial, sang anak akan merasa bahwa dirinya harus selalu berprestasi. Bukannya berbuah kebahagiaan karena merasa jadi kebanggaan, apresiasi justru tak ubahnya menjadi sarana sang mama yang terobsesi mencitrakan dirinya sebagai orang tua yang berhasil. Kondisi ini malahan berpotensi menimbulkan berbagai tekanan yang mengganggu kesehatan mental sang anak.

Tak dinyana, apresiasi memang penting disampaikan kepada anak dalam masa tumbuh kembangnya. Akan tetapi, hal tersebut harus dilakukan dengan cara yang ideal. Apabila disampaikan secara tidak tepat, berlebihan, dan hanya menjadi sarana penyalur obsesi orang tua, apresiasi hanya akan menimbulkan dampak negatif.

Esensi apresiasi pun jadi semakin kabur. Anak hanya dapat berusaha menyuguhkan berbagai prestasi. Pada akhirnya, tetap mama yang menentukan konten yang mesti diunggah atau tidak.[]

Penulis : Novelia, M.Si, Penelitidi Visi Teliti Saksama

Advertisement
Advertisement