Bukan Sekedar Mencegah Dehidrasi, Minum Air Putih Bisa Turunkan Stres, Begini Aturan Minumnya

JAKARTA – Kita sering mendengar candaan: “Gen Z itu hidupnya nempel sama botol minum.” Di kampus, di kantor, di transportasi umum—selalu ada tumbler stainless yang nongol dari tas. Kadang dianggap “lebay”, kadang jadi bahan ejekan. Tapi riset terbaru justru bilang kebiasaan ini ada benarnya.
Neil Walsh dan tim dari Liverpool John Moores University menemukan bahwa dehidrasi bikin tubuh lebih rentan stres. Dalam studi yang baru dipublikasikan di Journal of Applied Physiology, belum lama ini, mereka melibatkan 62 orang dewasa sehat, lalu membandingkan yang rutin minum cukup (sekitar 2–2,5 liter per hari) dengan yang hanya minum kurang dari 1,5 liter.
Hasilnya? Ketika menghadapi situasi penuh tekanan—dari tes matematika sampai simulasi wawancara kerja—dua kelompok sama-sama cemas, sama-sama jantungnya berdebar. Tapi, mereka yang kurang minum air mengalami lonjakan hormon kortisol hingga 50% lebih tinggi.
“Reaktivitas kortisol terhadap stres akut dapat memprediksi kondisi kesehatan jangka panjang. Temuan baru kami menunjukkan bahwa orang dewasa dengan kebiasaan asupan cairan rendah memiliki reaktivitas kortisol yang lebih tinggi ketika menghadapi stres akut,” jelas Walsh dan para peneliti.
Dalam risetnya, para peneliti membagi partisiapn menjadi empat kuartil dari yang terendah hingga tertinggi. Individu dengan asupan cairan terendah biasanya minum kurang dari 1,5 liter per hari, sedangkan kelompok dengan asupan cairan tinggi minum setidaknya 2 liter per hari (wanita) atau 2,5 liter per hari (pria).
Individu dalam kelompok dengan asupan tertinggi dan terendah kemudian dipasangkan berdasarkan tingkat kecemasan bawaan (trait anxiety) dan kualitas tidur yang serupa, lalu dilacak. Sepanjang satu minggu, hidrasi mereka dipantau dan diukur lewat sampel darah serta urine, sementara mereka tetap mempertahankan tingkat hidrasi normal masing-masing.
Setelah itu, mereka menjalani trier social stress test (TSST), yang dirancang untuk mensimulasikan pengalaman stres dalam kehidupan nyata melalui tugas matematika dan wawancara kerja pura-pura. Yang menarik dari perbandingan kedua kelompok ini adalah: keduanya sama-sama menunjukkan tanda-tanda stres langsung dalam bentuk yang mirip—seperti peningkatan detak jantung.
Tetapi, orang-orang dengan asupan cairan paling rendah mengalami peningkatan kadar kortisol yang jauh lebih signifikan, sebagaimana diukur melalui sampel saliva. Kortisol berlebih, apalagi kalau menumpuk, sudah lama dikaitkan dengan depresi, gangguan kecemasan, sampai risiko penyakit jantung dan diabetes.
“Hidrasi yang kurang optimal dikaitkan dengan reaktivitas kortisol yang lebih tinggi terhadap stres akut. Temuan ini memberikan satu kemungkinan penjelasan mengapa kebiasaan asupan cairan rendah dan hidrasi yang tidak memadai berhubungan dengan kondisi kesehatan jangka panjang yang buruk,” ujar Walsh.
Menariknya, penelitian ini memang belum bisa memastikan sebab-akibat langsung. Apakah benar dehidrasi memicu lonjakan stres? Atau justru stres membuat orang lupa minum? Yang jelas, menjaga tubuh tetap terhidrasi tampaknya jadi cara sederhana untuk melindungi diri dari efek stres.
Psikolog dari Georgetown University Andrea Bonior mengatakan perlu ada riset lanjutan untuk menjelaskan efek dehidrasi pada tingkat stres seseorang. Namun, menurut dia, tak ada salahnya kita mulai menjaga agar tubuh tetap terhidrasi dengan baik.
“Untuk saat ini, dengan adanya kemungkinan signifikan bahwa menjaga tubuh tetap terhidrasi memang bisa melindungi dari respons stres yang berlebihan, tampaknya ini waktu yang tepat untuk berinvestasi pada botol minum itu,” kata Bonior seperti dikutip dari Psychology Today.
Jadi, mungkin sudah saatnya kita berhenti mengolok-olok tren botol minum itu. Buat Gen Z—dan siapa pun yang hidup dalam tekanan kota besar—minum cukup air bisa jadi salah satu bentuk self-care paling murah, tapi paling efektif. []