April 20, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Bukti Baru, Ternyata Perempuan Lebih Tahan Banting

3 min read

Menyoal harapan hidup, banyak sudah penelitian yang membuktikan perempuan lebih panjang umur ketimbang lelaki–sekitar 5-6 tahun di hampir semua populasi modern. Pun di tengah maraknya isu kesenjangan gender, perempuan ditemukan tetap kuat bertahan menghadapi banyak beban kehidupan.

Kini, studi baru menambah bukti bahwa dalam menghadapi kondisi krisis dan ekstrem mengancam jiwa, seperti kelaparan, wabah penyakit dan perbudakan, perempuan jauh lebih kuat dari laki-laki. Bahkan, sifat tahan banting tersebut ditemukan sejak dini, pada masa awal kelahiran.

Demikian simpulan studi yang diterbitkan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences.

Sejauh ini, tak jelas mengapa perempuan lebih unggul soal harapan hidup. Secara tradisional, kecenderungan panjang umur itu kerap dikaitkan dengan gaya hidup yang lebih sehat dan minim kekerasan. Seperti dicontohkan iflscience.com, lelaki cenderung jadi peminum berat dan melakukan hal berisiko.

Namun, seiring perbedaan gaya hidup menyusut, di mana perempuan dan laki-laki banyak melakukan hal setara, nyatanya perempuan masih hidup lebih lama dari lelaki.

Sejumlah penelitian kemudian mengungkap bahwa dalam kondisi normal, alasan biologis memainkan peran penting, bersamaan dengan faktor lingkungan dan perilaku. Itu pun masih dipertanyakan. Terlebih lagi secara umum, cuma sedikit sains yang menemukan apa yang terjadi pada periode kematian tinggi.

Untuk itu, tim periset dari University of Southern Denmark dan Duke University dalam studi baru menganalisis data demografis dari tujuh periode yang menghadapi krisis ekstrem. Guna membuktikan siapa yang lebih kuat bertahan dalam situasi sulit, juga alasan mendasarnya.

Secara rinci, periset melakukan studi kasus berdasarkan data sejarah harapan hidup dan tingkat kematian dari kelompok yang menghadapi kelaparan, penyakit dan perbudakan selama masa-masa genting periode tahun 1772-1939.

Beberapa di antaranya kelaparan di Swedia (1772-1773), kelaparan di Irlandia (1845-1849), epidemi campak di Islandia (1846 dan 1882) dan perbudakan kejam di Trinidad (pada awal abad ke-19).

Seluruh situasi tersebut memiliki kondisi sangat buruk sehingga angka harapan hidup menurun signifikan. Salah satu atau kedua jenis kelamin diperkirakan tidak akan hidup lebih lama dari 20 tahun pada masa itu.

Wabah campak 1882 di Bavaria misalnya. Harapan hidup turun dari 43,99 tahun menjadi 18,83 tahun untuk perempuan, dan dari 37,62 menjadi hanya 16,76 tahun untuk laki-laki.

Berdasarkan hasil studi, periset justru menemukan bahwa di hampir semua populasi dan kelompok usia, perempuan adalah ‘korban’ yang lebih kuat.

Bukan hanya tingkat kematian perempuan yang ditemukan lebih rendah, mereka juga hidup lebih lama. Rata-rata sekitar enam bulan hingga empat tahun, kata pemimpin penulis Virginia Zarulli, asisten profesor dari Institute of Public Health di University of Southern Denmark pada Live Science.

Mengutip BBC.co.uk, periset mencatat bahwa sebagian besar hasil studi didapat dari angka kematian bayi pada periode genting tersebut. Ternyata, bayi perempuan yang baru lahir bertahan lebih baik pada kondisi ekstrem dibanding bayi laki-laki.

Yang lebih mengejutkan, kata Zarulli, dalam studi baru periset juga menemukan bahwa sikap orang tua menunjukkan preferensi seks, biasanya untuk bayi laki-laki.

Preferensi seks yang dimaksud adalah, ketika orang tua cenderung lebih memperhatikan pengobatan saat bayi laki-laki sakit, atau memberi makan anak laki-laki lebih banyak dari anak perempuan ketika sumber pangan begitu langka.

“Lebih luar biasa lagi, meski ada potensi diskriminasi terhadap mereka, bayi perempuan lebih kuat bertahan dibanding bayi laki-laki,” ujar Zarulli.

Berdasar temuan tersebut periset menyimpulkan, meski selama ini telah diketahui bahwa janin perempuan bertahan lebih baik pada kondisi rahim yang buruk, dan angka kematian bayi laki-laki cenderung lebih tinggi pada kondisi normal, ternyata faktor biologis memang mendasari kekuatan perempuan. Sebabnya, usia bayi belum terpapar perbedaan perilaku dan sosial.

Periset menyebutkan faktor biologis itu termasuk perbedaan genetika dan hormonal. Misal, tulis periset, estrogen yang ditemukan lebih menonjol pada perempuan memiliki efek anti-inflamasi, sedangkan testosteron yang ditemukan lebih besar pada pria, sebenarnya dapat menekan sistem kekebalan tubuh.

Selain itu, jelas Zarulli, testosteron lebih tinggi juga menyebabkan perilaku lebih sembrono pada lelaki sehingga rentan risiko kematian akibat kecelakaan dan kekerasan.

Meski begitu, keuntungan perempuan bukan sebatas itu, melainkan “Kombinasi antara biologi dan lingkungan,” kata ahli epidemiologi Sandro Galea, dekan di Fakultas Kedokteran Boston University pada Nypost.com.

Jadi, bisa dibilang, kekuatan perempuan memang berakar dari biologisnya. Akan tetapi peran budaya, masyarakat dan perilaku individu juga sangat penting demi kelangsungan hidup dan kebahagiaan perempuan.[Zora]

Advertisement
Advertisement