Bunuh Diri Dalam Pandangan Islam
JAKARTA – Bunuh diri dalam Islam sangat dilarang. Sejumlah hadis juga telah menjelaskan dosa pelaku bunuh diri.
Larangan itu disebutkan, antara lain dalam surah an-Nisa ayat 29 yang artinya, “Janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” Ini seperti tertuang pula di surah an-Nisa’ ayat 30.
Menyadur dari NU Online berjudul “Dosa Pelaku Bunuh Diri, Apakah Kekal di Neraka?” oleh Mahbub Maafi Ramdlan, dilansir dari Suara.com jaringan Telisik.id, dalam pandangan Islam, tindakan bunuh diri adalah tindakan yang diharamkan dan termasuk dosa besar.
Pelarangan bunuh diri, menurut logika sederhana, karena nyawa milik Allah, sehingga manusia tidak memiliki hak apapun atasnya. Dosa orang yang melakukan bunuh diri bahkan lebih besar dibandingkan membunuh.
Hal tersebut sebagaimana dipahami dari keterangan dalam kitab Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah.
Artinya: Sungguh orang yang melakukan bunuh diri dosanya lebih besar dibanding orang yang membunuh orang lain. (Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Darius Salasil, juz III, halaman 239).
Apabila dosa membunuh orang lain dikategorikan sebagai dosa besar, sedangkan dosa bunuh diri dianggap lebih besar lagi, apakah orang yang mati bunuh diri akan kekal di neraka?
Nabi Muhammad SAW dalam riwayat Muslim dijelaskan:
Barangsiapa yang bunuh diri dengan besi, maka besi yang tergenggam di tangannya akan selalu ia arahkan untuk menikam perutnya dalam neraka jahanam secara terus-menerus dan ia kekal di dalamnya.
Barangsiapa yang bunuh diri dengan cara meminum racun maka ia akan selalu menghirupnya di neraka jahanam dan ia kekal di dalamnya.
Barangsiapa yang bunuh diri dengan cara terjun dari atas gunung, maka ia akan selalu terjun ke neraka jahanam dan dia kekal di dalamnya. (HR Muslim).
Hadis di atas jelas menyatakan bahwa orang yang mati karena melakukan bunuh diri akan masuk neraka dan kekal di dalamnya. Hal ini sebagai balasan atas tindakannya. Tetapi apakah maksud hadis ini sesuai dengan makna tersuratnya atau tekstualisnya?
Muhyiddin Syaraf An-Nawawi dalam kitab Syarah Muslim-nya menghadirkan beberapa pandangan yang mencoba untuk menjelasakan maksud dari sabda Rasulullah SAW tentang kekekalan di neraka bagi orang mati karena bunuh diri.
Pertama, bahwa maksud dari ia (orang yang mati karena bunuh diri) kekal di dalam neraka adalah apabila ia menganggap bahwa melakukan tindakan bunuh diri tersebut adalah halal padahal ia tahu bahwa bunuh diri itu adalah haram. Karena itu maka tindakan menganggap halal bunuh diri menyebabkan ia menjadi kafir.
“Adapun sabda Rasulullah SAW; “maka ia kekal selama-lamanya di dalam neraka Jahanam”, maka dalam hal ini dikatakan ada beberapa pandangan. Pertama, sabda ini mesti dipahami dalam konteks orang yang mati karena bunuh diri dan menganggap bahwa tindakan bunuh diri adalah halal padahal ia tahu bahwa bunuh diri itu haram. Maka hal ini menjadikannya kafir dan kekal di dalam neraka sebagai siksaan baginya (karena melakukan tindakan bunuh diri),” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim bin al-Hajjaj, Beirut, Daru Ihya`it Turats Al-‘Arabiy, cet ke-2, 1392, juz II, halaman 125).
Apabila seseorang melakukan bunuh diri karena menghalalkannya padahal ia tahu bahwa hal itu diharamkan maka ia kekal di dalam neraka. Sebab, konsekuensi dari menghalalkan yang haram (bunuh diri) menyebabkan ia menjadi kafir.
Bunuh diri merupakan perbuatan yang dilarang dan bertentangan dengan perintah agama. Karena besarnya dosa akibat perbuatan tersebut maka tempat kembali orang yang melakukannya adalah neraka jahanam.
Dilansir dari Republika.co.id, dengan bunuh diri, seseorang akan merasakan penderitaan tiga kali, yaitu penderitaan di dunia yang mendorongnya berbuat seperti itu, penderitaan menjelang kematiannya, dan penderitaan yang kekal di akhirat nanti.
Para pemikir Muslim modern juga berpendapat bahwa bunuh diri menunjukkan penurunan keimanan karena agama cenderung mengurangi depresi mental dan pedihnya tragedi kehidupan. []