Cara Kerja Hormon Mengontrol Pikiran Manusia

JAKARTA – Kita sering berpikir emosi sepenuhnya ada di bawah kendali pikiran. Namun, sains justru menunjukkan sebaliknya: suasana hati kita banyak ditentukan oleh pesan kimia yang dikirim tubuh sendiri.
Jika neurotransmiter seperti dopamin dan serotonin mengatur sinyal otak, maka hormon adalah “kurir” yang menghubungkan otak dengan seluruh tubuh — dari jantung, otot, hingga sistem kekebalan. Dan kini, ilmuwan mulai memahami betapa kuatnya peran hormon terhadap kondisi mental seperti depresi dan kecemasan.
“Hormon benar-benar memengaruhi suasana hati dan emosi. Mereka bekerja dengan memengaruhi neurotransmiter, dan juga proses seperti pembentukan atau kematian sel saraf di otak,” kata Nafissa Ismail, profesor psikologi di University of Ottawa, seperti dikutip dari BBC, Selasa (15/10).
Perubahan besar kadar hormon sering kali beriringan dengan gangguan suasana hati — terutama pada perempuan. Sebelum menstruasi, kadar estrogen dan progesteron menurun tajam, memicu rasa lelah, cemas, atau mudah tersinggung.
Dalam bentuk ekstrem, kondisi ini dikenal sebagai premenstrual dysphoric disorder (PMDD) — gangguan suasana hati berat yang dialami dua minggu sebelum haid.
Sebaliknya, menjelang ovulasi, lonjakan estrogen justru dikaitkan dengan rasa bahagia. Senyawa allopregnanolone, hasil pemecahan progesteron, bahkan dikenal memiliki efek menenangkan.
Namun perubahan hormon tak berhenti di situ. Kehamilan, perimenopause, dan menopause membawa fluktuasi drastis yang bisa memicu depresi. Setelah melahirkan, misalnya, kadar hormon turun mendadak — menjelaskan mengapa hingga 13% ibu baru mengalami depresi pascapersalinan.
“Bukan soal tinggi atau rendahnya kadar hormon, tapi bagaimana tubuh menghadapi perubahan cepat itu,” kata Liisa Galea, pakar psikiatri dari University of Toronto.
Tak hanya para perempuan, pria pun tak luput dipengaruhi hormon. Penurunan kadar testosteron pada pria seiring usia juga dapat memengaruhi suasana hati.
“Kami melihat perubahan emosi pada sebagian pria saat kadar testosteron berubah,” kata Ismail. “Sayangnya, topik ini masih jarang dibahas.”
Baik estrogen maupun testosteron memengaruhi serotonin dan dopamin, dua bahan kimia otak yang mengatur rasa senang dan motivasi. Estrogen bahkan diyakini melindungi neuron dari kerusakan dan merangsang pertumbuhan sel baru di hippocampus — wilayah otak yang berperan dalam memori dan emosi.
Masalah hormonal juga bisa muncul dari sistem HPA axis — sumbu hipotalamus-pituitari-adrenal — yang mengatur respons stres. Saat cemas, otak memicu pelepasan kortisol, hormon yang menyiapkan tubuh “melawan atau lari.”
Dalam jangka pendek, ini adaptif. Tapi jika stres terjadi terus-menerus, kortisol berlebihan justru merusak neuron di hippocampus dan amigdala, dua bagian otak penting untuk memori dan pengendalian emosi.
“Kehilangan volume di amigdala membuat kita sulit mengendalikan emosi negatif,” jelas Ismail.
Terapi masa depan
Di sisi lain, hormon oksitosin — yang dilepaskan saat menyusui, orgasme, atau bahkan pelukan — tampak menenangkan sistem stres.
Beberapa studi menunjukkan semprotan hidung oksitosin membuat orang lebih empatik, dermawan, dan mudah mempercayai orang lain, meski sebagian ilmuwan masih meragukan apakah hormon itu benar-benar menembus penghalang darah otak.
Sementara itu, ketidakseimbangan hormon tiroid (T3 dan T4) terbukti kuat memengaruhi suasana hati: kadar berlebih bisa memicu kecemasan, kadar rendah memicu depresi. Koreksi kadar hormon biasanya langsung memperbaiki gejala.
Pemahaman baru ini perlahan mengubah cara ilmuwan mencari pengobatan. Obat baru seperti Brexanolone, tiruan dari hormon allopregnanolone, terbukti efektif untuk depresi pascamelahirkan.
Terapi estrogen atau HRT juga membantu sebagian perempuan menghadapi perimenopause, sementara testosteron tambahan dapat meningkatkan efek antidepresan pada pria dengan kadar rendah. Namun efeknya tetap berbeda-beda. Sebagian perempuan membaik dengan pil hormonal, sebagian lainnya justru makin buruk.
“Kita tahu hormon berperan besar terhadap suasana hati,” kata Ismail. “Tantangannya adalah memahami bagaimana mereka melakukannya, agar bisa ditangani dengan tepat.” []