[CERPEN] Ketika Air Mata Menjadi Telaga
ApakabarOnline.com – Bulan Ramadhan akan segera datang. Warga disekitar masjid At-Taubah baik laki-laki maupun perempuan, anak-anak sampai orang tua, semua sibuk dengan persiapan menyambut datangnya bulan suci tersebut.
Akan tetapi, lain halnya dengan seorang perempuan berusia setengah abad bernama Minarni, janda beranak satu, disibukkan dengan angan-angannya sendiri. Baginya bulan Ramadhan merupakan hari dimana ia akan bertemu dengan para tetangga. Itu artinya Minarni harus membeli pakaian-pakaian baru dan mukena, yang akan dipakai ke masjid. Karena selain bulan Ramadhan dan dua hari raya, Idul Fitri dan Idul Adha, Minarni tidak pernah datang ke masjid. Bahkan sudah lama ia meninggalkan rukun Islam yang kedua.
Minarni tinggal bersama ibunya yang sudah renta, Mbah Atmo, nama panggilan perempuan berusia 70 tahun itu. Indah Permatasari, nama anak semata wayangnya yang biasa dipanggil Indah. Selepas SMA, Indah pergi bekerja sebagai TKI di Hongkong. Disisi lain, satu tahun kemudian Bambang, suaminya pergi untuk selama-lamanya, karena sakit. Maka sejak itulah Indah menjadi tulang punggung keluarga. Dulu sebelum menikah, Minarni juga menjadi TKI karena postur tubuh dan penampilannya seperti orang dewasa, dengan berbagai cara akhirnya setamat SMP Minarni bisa bekerja di Hongkong. Karena itu, ia selalu memaksa anaknya agar mau bekerja ke luar negeri. Hingga akhirnya sampailah Indah ke Hongkong 10 tahun yang lalu. Padahal ia sangat ingin melanjutkan sekolah demi merubah hidupnya. Indah ingin bekerja sambil kuliah, tapi ibunya tidak pernah setuju. Karena prinsip ibunya, perempuan itu tidak perlu sekolah tinggi, yang penting bisa memperoleh banyak uang. Dan menurutnya, menjadi TKI adalah jalan pintasnya.
Pada suatu pagi, saat Minarni hendak pergi ke pasar ia bertemu Rahmah, tetangganya yang usianya lebih muda darinya.
“Mbak Rahmah, sudah siap menyambut bulan Ramadhan?. Kalau saya sudah lho, lha wong saya sudah beli pakaian baru buat ke masjid. Kan malu kalau bajunya itu-itu saja,” Minarni bicara sambil melihat Rahmah dengan senyum sinis.
“Kalau saya yang penting ibadahnya bu”, Rahmah bicara dengan lembut.
“Oh iya, ghibahnya juga mulai dikurangi, baik langsung maupun lihat gosip di televisi lho bu”, sambung Rahmah sambil tersenyum.
“O…o gitu ya mbak!. Tapi penampilan itu juga penting!” Minarni bicara dengan ketus sambil meninggalkan Rahmah.
Minarni memang gemar memamerkan barang-barang miliknya. Penampilannya selalu modis dan up to date. Ia melakukan semuanya itu, mungkin agar dianggap orang kaya. Minarni suka meremehkan dan menghina orang yang dianggap tidak sepadan dengannya. Sifatnya yang sombong dan culas membuat tetangganya tidak menyukai bahkan ada yang membenci. Kemanapun dan kapanpun Minarni pergi penampilannya selalu berlebihan, dari cara berpakaian sampai cara berhias.
Sampai pada suatu hari, Minarni mendapat kabar bahwa di Wuhan, salah satu kota di Cina, sedang merebak virus Corona dan telah banyak korban yang meninggal dunia, maka semua TKI di Cina dipulangkan sampai batas waktu yang tidak ditentukan dan sebelum sampai ke rumah masing-masing seluruh TKI tersebut di observasi terlebih dahulu selama 14 hari di Kepulauan Natuna, termasuk Indah.
Sejak itu, Minarni tidak keluar rumah. Sudah dua hari ia mengurung diri di kamar. Ia merasa sangat bersalah pada Indah karena atas paksaannya putrinya sampai ke Hongkong. Minarni sangat khawatir terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan pada anak tunggalnya itu. Ia juga menyesal telah mempergunakan uang yang telah dikirim Indah hanya untuk berfoya-foya. Padahal anaknya dengan susah payah mendapatkannya. Minarni terguncang jiwanya, hatinya diliputi rasa sedih, dan was-was serta berdosa karena telah menyalahgunakan hasil keringat anaknya.
Melihat kondisi Minarni, Mbah Atmo sangat sedih. Tapi sebagai ibunya ia harus kuat dan menguatkan hati putrinya. Perempuan tua itu merengkuh Minarni dengan sepenuh hati. Ia berusaha menghiburnya dengan nasehat-nasehat yang menyejukkan dan terus menerus mendoakan dan Minarni dan Indah, cucunya.
Setalah mendengar kabar tentang kondisi Minarni, para tetangga berdatangan ke rumah Minarni. Mereka datang untuk sekedar menengok ataupun menghiburnya. Meskipun ada juga yang tidak mau tahu. Mungkin masih merasa sakit hati terhadap sikap Minarni.
Saat semua orang sedang tidur nyenyak, jam 02.00 dini hari Minarni bergegas bangun dari tidurnya, kemudian menyucikan diri dengan air wudhu. Ia ambil mukena lalu dihamparkannya sajadah kemudian mendirikan sholat Taubat. Diiringi isak tangis, ia berdoa dengan khusyu’ sampai terdengar adzan Subuh.
Minarni bangun dari duduknya, berjalan menuju masjid bersama Mbah Atmo. Di masjid para jamaah subuh memandang Minarni dengan heran. Secara serentak mereka mengucapkan hamdalah sambil kedua tangan diangkat didepan dada. Sejak saat itu, Minarni tidak pernah meninggalkan sholat 5 waktu bahkan selalu berjamaah di masjid dan pulang paling akhir, setelah memanjatkan doa-doanya.
Pada hari Jum’at, di pekan yang sama di masjid At-Taubah, saat imam selesai mengakhiri sholat Subuh dengan salam seorang perempuan duduk bersimpuh dengan kedua tangan menengadah. Ia bermunajat kepada Rabbnya, Tuhan Semesta Alam.
“Subhanallah Walhamdulillah Walaillahaillallah Huallahu Akbar”. Berulang kali ia ucapkan kalimah Toyyibah. Kemudai ia berdoa dengan bahasanya sendiri,
“Ya Allah…harta telah membutakan mata hatiku, hingga aku lupa siapa diriku. Jika engkau mengambil emas permata dan semua hartaku, ambillah, karena sesungguhnya semua itu milikmu. Tapi kumohon jangan engkau ambil satu-satunya permata hatiku, satu-satunya perhiasan terindah yang telah kau anugerahkan padaku, Indah Permatasari. Kembalikan ia padaku, dalam keadaan sehat dan selamat Ya Allah…”, Minarni mengakhiri permohonanya.
***
Minarni tenggelam dalam doa-doanya diiringi air mata yang tak henti-henti menetes. Hingga butiran-butiran air mata itu, tanpa ia sadari menjadi sebuah telaga. Perempuan itu terkesima kemudian ia mengambil air dengan tangannya dari telaga itu, untuk membasuh wajah dan tubuhnya. Sehingga memancarlah cahaya dari wajah dan tubuhnya. Perempuan itu mengambil air kembali lalu ia basuhkan lagi ke wajah dan seluruh tubuhnya. Sehingga cahaya yang memancar cahaya yang lebih bercahaya.
Orang-orang terpana karena melihat pemandangan itu. Kemudian mereka mendekati telaga itu dan melakukan seperti apa yang Minarni lakukan. Sehingga yang terlihat hanyalah cahaya dan cahaya.
(Wates, Maret 2020) Penulis : Nur Widayati HM