Curhatan Seorang PMI yang Barang Kirimannya untuk Lebaran Ditahan Bea Cukai
JAKARTA – Kelompok pekerja migran Indonesia meminta pemerintah “membebaskan” mereka dari peraturan pembatasan impor barang yang berlaku 10 Maret 2024 karena hanya menambah beban pekerja migran dan keluarganya.
Seorang PMI di Taipei,Taiwan, Tutik, bercerita empat kardus oleh-oleh yang dikirim sejak Februari lalu tertahan di gudang bea cukai Semarang, Jawa Tengah. Padahal isinya hanya barang bekas pemberian majikannya beserta beberapa makanan untuk hadiah Idulfitri keluarganya di Ngawi, Jawa Timur.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Budi Santoso, mengeklaim revisi Permendag nomor 36 tahun 2023 tentang kebijakan dan pengaturan impor sudah memberikan kemudahan serta solusi yang adil dan efektif bagi pekerja migran Indonesia yang akan mengirimkan barangnya.
Menurutnya, barang dalam keadaan baru maupun tidak baru dengan jumlah tertentu akan dikecualikan dari kewajiban memiliki perizinan impor dari Kemendag.
Kendati demikian, ekonom dari INDEF, Andry Satrio Nugroho, menilai Permendag ini perlu direvisi karena dianggap “tidak mulus” ketika dijalankan di lapangan.
‘Sakit rasanya diperlakukan begini, kami bukan maling’
PMI yang kini bekerja di Taipei, Tutik, terdengar jengkel gara-gara barang yang dia kirim sejak 5 Februari lalu tak kunjung sampai di rumahnya di Ngawi, Jawa Timur.
Padahal biasanya kiriman yang diangkut menggunakan jasa ekspedisi langganannya selalu tiba tidak lebih dari satu bulan.
Kali ini, kata Tutik, pihak ekspedisi mengatakan barang-barangnya yang dikemas sebanyak empat kardus tertahan di bea cukai Semarang tanpa alasan jelas.
“Saya cek di aplikasi ekspedisi tiba di pelabuhan 13 Maret 2024, sampai sekarang masih antre katanya di bea cukai,” ujar Tutik kepada BBC News Indonesia, Senin (08/04/2024).
Empat kardus kirimannya itu terdiri dari dua kardus berukuran besar dan dua kardus kecil. Kata ibu tiga anak ini, tak ada yang spesial atau mahal di dalamnya. Kebanyakan adalah barang-barang bekas pemberian majikannya yang sudah meninggal di panti jompo.
Misalnya baju bekas, sandal bekas, dan tas bekas. Termasuk popok dewasa, susu, dan beberapa makanan ringan sebagai oleh-oleh lebaran.
“Enggak ada barang branded, tidak ada barang baru. Semuanya saya beli kadang sudah terpakai sekali atau dua kali, baru dikirim pulang. Intinya barang-barang bekas kita lah dan yang dikasih majikan.”
“Itu pun baju-baju saya beli saat diskon, saya kumpulin dari jatah uang makan dari majikan. Saya beli mainan, anak minta coklat, suami minta dibelikan kopi.”
Pekerja migran berusia 50 tahun ini mengaku tak habis pikir dengan kebijakan pemerintah yang menahan barang-barangnya tersebut.
Sebab semua barang itu dibeli dari hasil jerih payahnya bekerja selama sembilan tahun di Taipei.
Tutik mengaku merasa diperlakukan seperti pelaku kejahatan.
“Terus terang saya kecewa, kami di sini kondisinya susah, eh malah kena tahan. Ya Allah… Padahal cuma makanan buat Lebaran di rumah,” ucapnya dengan nada geram.
“Sakit rasanya diperlakukan begini. Kami bukan maling, bukan koruptor, barang-barang itu bukan untuk diperjualbelikan. Saya kumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk menyenangkan keluarga.”
Kini, Tutik mengatakan hanya bisa pasrah dengan nasib barang-barangnya. Pihak ekspedisi, kata dia, tak bisa memastikan kapan kirimannya lolos dari antrean bea cukai Semarang.
Dia sempat terpikir untuk menghubungi suaminya di Ngawi agar menjemput sendiri barang kirimannya. Pasalnya untuk mengirim dari Taipei ke Indonesia, dia harus membayar ongkos ekspedisi sekitar Rp3 juta.
Itu mengapa Tutik sangat berharap pemerintah tidak mempersulit barang-barang kiriman pekerja migran yang disebutnya tidak mahal tersebut.
“Dengan segala hormat kepada Presiden saya mohon jangan dipersulit untuk pengiriman barang-barang kami yang cuma baju bekas.”
“Saya takut makanan-makanan itu bisa kedaluwarsa. Tolong bapak-bapak kami penyumbang devisa negara, bukan koruptor.” []
Sumber BBC