December 22, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Dalam Pandangan Islam, Menagih Hutang dengan Mengumumkan di Sosmed Bisa Menjadi Ghibah, Begini Dasar dan Penjelasannya

3 min read

ApakabarOnline.com – Beberapa waktu lalu, pengguna media sosial dibuat heboh oleh postingan seseorang. Postingan tersebut berisi daftar nama beserta nominal uang. Ternyata, nama-nama tersebut adalah pihak yang pernah berutang kepada pemilik akun. Sayangnya, mereka belum juga mengembalikan pinjamannya.

Pemicunya, pemilik akun sudah lelah menagih utang kepada masing-masing nama. Dia pun menyatakan mengikhlaskan uangnya tidak kembali. Trik ini tampaknya dipakai pemberi utang untuk menimbulkan efek jera. Karena, minimal pengutang akan merasa malu lantaran namanya tersebar di media sosial.

 

Tetapi, bagaimana hukumnya tindakan ini dalam sudut pandang Islam?

Dikutip dari Bincang Syariah, dalam Islam potensi pengutang tidak melakukan pelunasan selalu ada. Tetapi ada dua kemungkinan sebabnya yaitu mampu melunasi namun tak melakukannya atau si pengutang jatuh miskin.

Untuk pengutang mampu namun enggan melunasi, pemberi pinjaman dalam mengajukan permohonan kepada pengadilan. Hakim akan memaksa pengutang untuk melunasi pinjamannya.

Jika si pengutang tetap tak mau melunasi, maka hakim dapat memenjarakannya. Sebab perbuatannya menunda pelunasan termasuk kezaliman. Apabila pengutang tersebut punya aset, maka hakim berhak menjualnya untuk melunasi pinjaman orang tersebut.

 

Termasuk Ghibah

Dalam pandangan fikih, menulis keburukan orang lain di media sosial tergolong sebagai perbuatan ghibah (menggunjing). Rasulullah mendefinisikan ghibah dengan, “dzikruka akhaaka bi maa yakrahu” (Engkau menceritakan perihal temanmu, terhadap sesuatu yang tidak dia sukai).

Pada dasarnya hukum ghibah adalah haram, namun dalam kondisi-kondisi tertentu ghibah boleh dilakukan. Imam an-Nawawi dalam Riyadh ash-Shalihin menyebutkan enam macam ghibah yang diperbolehkan, yaitu ghibah untuk mencapai tujuan yang benar dan tidak bertentangan dengan syariat, dan tujuan tersebut tidak bisa sukses kecuali dengan cara ghibah.

Meski demikian, Imam An Nawawi dalam Riyadlush Shalihin menyatakan ada beberapa jenis ghibah yang dibolehkan. Di antaranya untuk tujuan yang benar, tidak bertentangan dengan syariat, serta tujuan tersebut tidak bisa dicapai jika tanpa melalui ghibah.

Para ulama menyatakan terdapat enam rukhshah ghibah. Keenamnya yaitu ghibah karena julukan, meminta fatwa, perbuatan fasik secara terang-terangan, kezaliman, mengingatkan orang lain atas kejelekan seseorang, da menghilangkan kemungkaran.

 

Hukum Orang Mampu Tapi Menunda Pelunasan Utang

Sedangkan terkait dengan menunda pelunasan utang, Rasulullah Muhammad SAW bersabda dalam hadis riwayat Imam Bukhari. Menunda membayar utang bagi orang kaya adalah kezaliman.

Dalam riwayat lain dari Imam Bukhari, Rasulullah membolehkan pemberi pinjaman membuka aib pengutang yang mampu namun tak juga melunasinya.

Penundaan pembayaran utang yang dilakukan oleh orang yang mampu menghalalkan kehormatan (untuk dighibah) dan hukumannya.

 

Boleh Dibuka Aibnya, Tapi Lebih Baik Tidak

Ibnu Hajar Al Haitami dalam Az Zawajir ‘an Iqtirafil Kabair menjelaskan kandungan dari hadis tersebut.

“Diperbolehkan menyebutkan di hadapan orang banyak, bahwa debitur telah enggan melakukan pembayaran hutang dan tidak konsisten dalam bertransaksi. Kreditor tidak boleh menyebutkan aib lain yang ada pada diri debitur, karena orang yang terzalimi tidak boleh menyebutkan kezaliman seseorang, keculi kezaliman yang telah dilakukan atas dirinya. Diperbolehkan pula menghukum orang yang zalim dengan cara memenjarakan, memukul atau yang lain.”

Meskipun membuka aib pengutang dibolehkan, akan lebih baik jika tidak dilakukan. Menagih utang sebaiknya tetap dijalankan dengan cara-cara yang patut.

Kemudian, jika menuliskan keburukan debitur di media sosial tujuannya hanya untuk ta’yir (mempermalukan), menghina atau niat lain yang tidak diizinkan syariat, maka hukumnya adalah haram. Rasulullah bersabda,

“Barangsiapa mempermalukan temannya sebab dosa (yang telah dia lakukan), maka dia tidak akan mati sebelum melakukan dosa tersebut.” (HR. Turmudzi). []

Advertisement
Advertisement