Dampak Jangka Panjang Pandemi Corona Masih Dirasakan Perempuan Pekerja Migran
JAKARTA – Pekerja migran merupakan bagian dari tenaga kerja global yang memiliki kondisi hidup dan situasi kerja paling rentan. Dari sekitar 164 juta pekerja migran di seluruh dunia, sepertiganya berasal dari negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, terutama di wilayah Asia dan Pasifik, termasuk Indonesia.
Mayoritas dari mereka bekerja di berbagai sektor industri, konstruksi, dan domestik. Kondisi kerja di sektor tersebut seringkali berbahaya dan kurang manusiawi, ditambah upah rendah, dan terbatasnya akses ke perlindungan hukum.
Migrasi membuat banyak pekerja migran putus hubungan dengan keluarga sehingga kehilangan dukungan sosial. Faktor lain seperti pemahaman tentang hukum dan budaya lokal yang kurang memadai, termasuk kemampuan bahasa yang terbatas, juga sering mengakibatkan mereka menjadi korban penyiksaan dan eksploitasi.
Kondisi ini jadi semakin buruk akibat pandemi COVID-19. Penelitian kami – yang masih berlangsung – sejauh ini telah memberikan gambaran bagaimana perempuan pekerja migran domestik dan purna (yang telah kembali ke negara asal) menjadi salah satu kelompok yang terkena dampak paling parah selama pandemi. Dampak tersebut masih mereka rasakan hingga menjelang berakhirnya pandemi saat ini.
Dampak pandemi masih terasa
Pada Mei 2020, hampir 74% dari pekerja migran sektor domestik di seluruh dunia terdampak secara signifikan oleh pandemi. Ini termasuk sulitnya akses ke kebutuhan dasar dan informasi, sampai kebijakan diskriminatif di negara tujuan.
Mereka bahkan menghadapi kesulitan tambahan ketika telah purna dan kembali ke negara asalnya karena lekatnya stigma dan diskriminasi tentang pekerjaan mereka yang dianggap “rendah”.
Secara mental, pekerja migran menunjukkan gejala kecemasan dan depresi yang lebih tinggi selama pandemi daripada pekerja lokal di negara yang sama. Ini sebagian besar disebabkan oleh kebijakan penanganan COVID-19, seperti pembatasan mobilitas.
Bagi para pekerja migran domestik yang tinggal bersama pemberi kerja (live-in), kerap terjadi ketimpangan relasi antara mereka dan majikan. Contoh paling umum yang kami temui di negara-negara Asia adalah ketika pekerja migran domestik dilarang keluar rumah saat hari libur karena majikannya takut mereka akan kembali ke rumah tersebut dengan membawa virus.
Tetapi ironisnya, para majikan tetap menyuruh pekerja pergi ke pasar setiap pagi atau melakukan aktivitas di luar rumah. Bahkan majikan sering mengundang koleganya untuk makan di rumah tanpa khawatir bahwa mereka juga mungkin membawa virus.
Secara ekonomi, tantangan yang dialami para pekerja migran domestik selama pandemi COVID-19 meliputi pemotongan gaji, ketidakpastian pendapatan, kehilangan pekerjaan, bahkan sampai deportasi. Ini biasanya disebabkan oleh turunnya pendapatan pemberi kerja.
Tapi, walaupun gaji dipotong, para pekerja migran justru seringkali harus menghadapi penambahan jam kerja karena harus tinggal selama 24 jam dengan majikannya akibat kebijakan isolasi mandiri. Ditambah lagi, banyak pekerja migran mengaku kesulitan mengakses layanan kesehatan di negara kerjanya. Bahkan, ini termasuk kebutuhan medis dasar seperti alat pelindung diri, masker wajah, dan pembersih tangan (hand sanitizer).
Dalam hal keuangan, pekerja migran perempuan biasanya sulit memiliki tabungan atau pegangan uang untuk dirinya sendiri. Ini karena sebagian besar dari mereka mengirimkan seluruh pendapatan kepada keluarga di kampung halaman masing-masing. Kondisi ini membuat mereka mau tidak mau tetap bergantung pada majikan untuk memenuhi kebutuhan pribadi mereka selama bekerja.
Berbeda dengan perempuan, pekerja migran laki-laki mayoritas bekerja di luar sektor rumah tangga, sehingga mereka bisa memiliki kesempatan mencari pendapatan tambahan atau bekerja di beberapa tempat sekaligus ketika bekerja di luar negeri.
Ketika kembali ke Indonesia, perempuan pekerja migran purna kerap mendapat kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan untuk perawatan dan berisiko dianggap sebagai pembawa virus. Posisi seperti ini membuat mereka sangat rentan, namun juga tak mampu berpendapat.
Di sinilah pentingnya para pemangku kepentingan mengambil langkah strategis untuk mengatasi dampak sosial jangka panjang pandemi COVID-19 bagi para perempuan pekerja migran dan purna ini.
Tujuh langkah strategis
Berdasarkan pengalaman intensif kami berkolaborasi dengan perempuan pekerja migran dan purna, kami merekomendasikan tujuh langkah strategis yang bisa dilakukan oleh pemerintah, pembuat kebijakan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta pemangku kepentingan lainnya. Ini penting untuk melindungi dan mendukung reintegrasi ekonomi dan sosial perempuan pekerja migran dan purna.
Pertama adalah penyediaan dukungan kesejahteraan mental dan emosional. Ini termasuk memberikan akses ke layanan konseling dan kelompok dukungan, serta menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif bagi para perempuan pekerja migran untuk berbagi pengalaman mereka.
Kedua adalah penyediaan bantuan keuangan, terutama bagi mereka yang kehilangan pekerjaan, serta memberikan dukungan bagi mereka yang terpaksa pulang ke negara asal.
Ketiga, menyediakan akses pada pendidikan dan pelatihan keterampilan, yang mencakup pelatihan vokasional, magang, dan bentuk lain dari pendidikan dan pelatihan keterampilan. Hal ini dapat meningkatkan kesempatan kerja dan peluang penghasilan, khususnya bagi para purna.
Keempat adalah menyediakan perlindungan yang mencakup perlindungan hukum, pelatihan keselamatan, dan mekanisme pelaporan kekerasan dan penyiksaan.
Kelima, menyediakan kebijakan yang menjamin praktik kerja yang adil dan tanpa diskriminasi. Ini dapat dicapai melalui advokasi dan keterlibatan dengan pengusaha dan pemerintah untuk memastikan bahwa ada kebijakan untuk melindungi hak-hak pekerja.
Keenam, mendorong dialog dan kerja sama di antara para pemangku kepentingan, termasuk negara pengirim tenaga kerja dan tuan rumah, pengusaha, dan organisasi masyarakat sipil dan non-pemerintah. Hal ini bisa membantu mengatasi tantangan yang dihadapi oleh para perempuan pekerja migran di sektor rumah tangga.
Ketujuh, meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat melalui keterlibatan sosial dan kampanye, serta mempromosikan kontribusi dan pengalaman perempuan pekerja migran dalam berbagai bentuk media dan wacana publik.
Kami berharap penerapan strategi ini oleh para pemangku kepentingan dapat menciptakan kesempatan yang adil dan setara bagi semua perempuan pekerja migran dan purna. []
Penulis Andrian Liem, Research Fellow, Monash University