July 27, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Dari Pada Selalu Impor, Yuk Turun Kesawah

5 min read

Keberhasilan Indonesia berswasembada beras di tahun 1984 hingga mendapatkan penghargaan dari FAO menjadi sebuah kebanggan tersendiri yang demikian melekat. Kebanggan tersebut sedemikian besarnya, sehingga ketika ada isu kebutuhan untuk impor beras, masyarakat Indonesia seolah-olah belum rela untuk melepas predikat sebagai negara yang berhasil untuk berswasembada beras. Ditambah lagi kenyataan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja di Indonesia. Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) untuk triwulan I 2018, tiga sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor pertanian, kehutanan dan perikanan 30,46%;  kemudian diikuti dengan sektor perdagangan sebesar 18,53%, dan yang menduduki posisi ketiga adalah sektor industri pengolahan sebesar 14,11%. Pernah mendapat penghargaan untuk berswasembada pangan serta kondisi sektor pertanian sebagai sektor yang menyerap tenaga kerja besar merupakan beberapa alasan yang seringkali menjadi perdebatan dalam pro dan kontra mengenai impor beras.

Terkait dengan masalah kemampuan produksi beras nasional, pemerintah telah mencanangkan metode perhitungan produksi beras yang baru. Selain itu, ditetapkan bahwa rilis beras secara resmi menjadi tanggung jawab BPS. Tepat sebulan yang lalu, tanggal 22 Oktober 2018, BPS mengenalkan metode yang disebut sebagai Kerangka Sampel Area (KSA). Metode perhitungan ini lebih objektif karena memanfaatkan tekonologi citra satelit, menggantikan metode lama yang menghasilkan angka ramalan menggunakan eye estimate (berdasarkan pandangan mata). Selain itu, bersifat kekinian karena pengolahan data berbasis online. Jadi, permasalahan keterlambatan hasil estimasi pun dapat diatasi. Dengan metode perhitungan ini, maka kebutuhan impor pun dapat diantisipasi dengan lebih baik dan tepat.

Perbaikan data produksi ini diharapkan juga dapat melindungi petani, yang seringkali dirugikan akibat adanya impor beras ini. Beras impor yang masuk pada saat panen raya adalah permasalahan yang seringkali dikeluhkan petani. Sebab beras impor yang masuk pada saat panen raya tentunya akan menurunkan harga beras. Ketika harga beras rendah, keuntungan petani pun rendah.

 

Swasembada dan Impor

Mungkin bisa dikatakan impor memiliki konotasi negatif, sebab banyak pihak yang menentang impor. Impor menguntungkan ketika produk yang diimpor tersebut tidak diproduksi oleh sebuah negara. Tetapi ada pula produk impor yang sebetulnya dapat diproduksi juga di dalam negeri, namun tetap diimpor, sebab negara lain dapat memproduksinya dengan harga yang lebih murah. Bagi konsumen, hal ini menguntungkan sebab konsumen mendapat beragam pilihan dengan beragam harga, atau bahkan dengan harga yang lebih rendah. Namun impor kemudian menjadi sebuah barang yang “jahat”, ketika mematikan produsen domestik. Hal ini terjadi ketika produk impor menyebabkan persaingan head to head dengan produsen domestik. Namun, untuk menghindari hal ini, pemerintah memiliki berbagai regulasi yang dapat melindungi produsen domestik untuk segera dapat mempersiapkan dirinya untuk bersaing dengan produk impor.

Demikian halnya dengan beras. Sebagai negara yang pernah menerima penghargaan swasembada pangan, tentunya impor beras menjadi pertanyaan besar. Ditambah lagi, Indonesia merupakan salah satu dari tiga negara yang memproduksi beras terbesar dunia dan pemerintah juga telah mencanangkan beras sebagai salah komoditas yang berswasembada, alias dapat diproduksi sendiri, tanpa perlu impor. Selain itu, banyak tenaga kerja yang bergantung pada sektor beras ataupun sektor pertanian secara umum. Jadi, impor beras dipandang akan merugikan petani.

Impor beras kadangkala memang dibutuhkan. Alasan pertama, khususnya untuk Indonesia, adalah beras tersebut tidak dapat diproduksi di Indonesia. Beras tersebut dikategorikan sebagai beras khusus, seperti beras jasmine, beras Ponni, beras Basmati. Beras jenis ini terutama dibutuhkan oleh restoran-restoran Timur Tengah ataupun india, atau warga negara asing yang terbiasa memakan beras jenis tersebut. Alasan kedua, yang selalu menjadi alasan utama pemerintah, adalah untuk stabilisasi harga. Penyebab kenaikan harga dapat terjadi karena dua faktor, dari sisi penawaran, seperti penurunan produksi akibat perubahan iklim atau serangan hama penyakit yang menyebabkan gagal panen. Atau dari sisi permintaan, terjadi lonjakan permintaan pada bulan di luar panen raya.

Permintaan terhadap beras yang tidak diproduksi di dalam negeri merupakan permintaan terhadap beras impor yang akan selalu ada. Namun, kebutuhan terhadap impor beras yang dilakukan untuk stabilisasi harga inilah yang memerlukan pertimbangan yang matang. Reformasi metode penghitungan data merupakan salah satu langkah baik yang diambil pemerintah untuk meredakan isu impor beras yang selalu ramai, dan bahkan berpotensi untuk dijadikan komoditas politik. Sebab, beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia.

 

Perlindungan Terhadap Petani?

Ketika berbicara tentang beras, impor bukan merupakan permasalahan utama. Tidak hanya Indonesia, China dan India sebagai negara produsen beras terbesar lainnya juga mengimpor beras. Beras merupakan sumber karbohidrat utama juga di kedua negara tersebut. Ditambah lagi, China dan India merupakan negara dengan penduduk besar juga. Oleh karena itu, pemenuhan pangan serta stabilisasi pangan tentunya menjadi perhatian utama bagi pemerintah kedua negara tersebut. Menjadi produsen beras utama bukan merupakan sebuah halangan untuk impor, sebab yang menjadi perhatian utama adalah kesejahteraan masyarakat, kebutuhan pangan para konsumen aman terpenuhi, namun kesejahteraan produsen juga terjaga.

Terkait kesejahteraan produsen beras, terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi kesejahteraan para petani ini. Salah satu permasahalan umum pada sektor pertanian di Indonesia adalah kepemilikan lahan yang kecil. Berdasarkan sensus pertanian yang dilaksanakan BPS pada tahun 2013, terdapat 55,95% petani yang menguasai lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar, dan hanya sekitar 26,62% petani yang menguasai lahan pertanian lebih luas dari 1 hektar. Rerata kepemilikan lahan petani Indonesia adalah 0,36ha. Dengan kondisi seperti ini, tentu biaya produksi pertanian Indonesia tidak efisien. Berdasarkan data IRRI, biaya produksi padi di Indonesia 2,5 kali lipat dari biaya produksi Vietnam.

Inefisiensi pada sektor pertanian juga memengaruhi upah yang diterima petani. Di tahun 2017, upah tenaga kerja di sektor pertanian adalah yang paling rendah, sebesar Rp1,75 juta per bulan. Angka ini di bawah upah rata-rata sebesar Rp2,7 juta. Apalagi jika dibandingkan dengan upah tenaga kerja yang bekerja di sektor listrik, gas, dan air rata-rata memperoleh upah atau gaji tertinggi, yaitu Rp4,43 juta. Dalam jangka panjang tentu akan memengaruhi daya tarik tenaga kerja di sektor pertanian. Hal ini sudah terlihat, yaitu dari petani di sektor pangan cenderung lebih tua dibanding petani di sektor pertanian lainnya, seperti hortikultura, perikanan, peternakan, dan perkebunan (Ikhsan, 2018).

Biaya yang tinggi, dengan upah yang rendah, tentu akan memengaruhi daya beli petani. Beras sebagai salah satu komponen yang memiliki timbangan besar dalam penghitungan inflasi, tentu dapat pula memengaruhi kesejahteraan petani. Menurut Ikhsan (2018), sebagian besar net consumer beras justru adalah petani miskin, dan net producer adalah petani yang tidak miskin. Oleh karena itu, ketika harga beras naik, yang terdampak adalah para petani juga. Jadi, ketika impor dilakukan dengan tujuan stabilisasi harga, justru petani inilah yang terbantu. Meski masih banyak faktor yang memengaruhi kesejahteraan para petani ini, tidak hanya masalah impor atau tidak impor beras.

Ketika berbicara mengenai produksi beras, masih banyak permasalahan lain yang masih terus menerus perlu dibenahi. Selain daya tarik sektor pertanian yang semakin rendah, alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan pemukiman atau perindustrian, perubahan iklim, hingga serangan hama adalah beberapa permasalahan di tingkat produksi. Belum lagi masalah pengelolaan pasca panen dan distribusi. Penanganan dan penyimpanan beras agar tetap memiliki kualitas yang baik, serta lokasi permintaan yang mungkin jauh dari pusat produksi, dapat turut pula memengaruhi ketersediaan maupun tingkat harga yang terjangkau. Tetapi, langkah pemerintah untuk membenahi metode penghitungan produksi padi merupakan langkah yang besar, dan dapat menjadi informasi yang sangat berguna sebagai pijakan untuk kebijakan-kebijakan lain di tingkat produksi. Sebab, dengan informasi angka produksi yang akurat dan terkini, analisis dampak kebijakan yang memengaruhi faktor produksi pun dapat diketahui dengan cepat dan akurat. Selain itu, ramalan kebutuhan impor pun dapat lebih cepat diputuskan untuk mengurangi fluktuasi harga.[sita]

Advertisement
Advertisement