December 4, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Demi Anak-Anak PMI, Mi’ut Rela Naik Turun Gunung

4 min read

 MALANG – Mi’ut gelisah. Tokoh di Desa Purwodadi berusia 50 tahun ini merasa ada pola hidup yang salah pada banyak pekerja migran di desanya. Mereka sukses meraup uang dan keluarga di kampung halaman sejahtera, tetapi hubungan mereka keluarga banyak yang terganggu. Dari mulai pertengkaran suami-istri, sampai kehidupan anak yang terlantar.

Anak pekerja migran kerap berada di posisi yang paling dirugikan. Usia mereka dengan pengasuhnya, biasanya kakek dan nenek, terlalu jauh. Selain itu, di antara keluarga para buruh migran ini juga masih ada yang terbelit kemiskinan. Belum lagi ada persoalan rendahnya kesadaran untuk mengenyam pendidikan.

“Dari yang saya ketahui, kalau di sana [buruh migran perempuan] kerja, ya harapannya yang di rumah [suami] juga kerja. Tapi, ada yang dikirimi uang lalu dipakai foya-foya, kerjaannya malas-malasan, dan tiba-tiba habis lalu terlibat cekcok dengan istri dan cerai. Yang menjadi korban adalah anak-anaknya, terlantar. Lingkarannya seperti itu” ujar Mi’ut yang pernah menjadi pekerja migran di Malaysia pada 1988-1989) itu.

Kawasan selatan Jawa Timur, termasuk Kabupaten Malang, adalah salah satu lumbung pekerja migran Indonesia. Di Kota dan Kabupaten Malang saja, jumlah pekerja migran sampai dengan bulan Juni 2018 tercatat ada 3.517. Mereka tersebar di berbagai negara tujuan favorit seperti Hongkong, Taiwan, Singapura, Malaysia, Arab Saudi, dan lainnya.

Merujuk pada data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) per Juni 2018 tersebut, Malang memang bukanlah daerah di selatan Jawa Timur dengan jumlah pekerja migran terbanyak. Masih ada daerah selatan Jawa Timur lainnya yang lebih tinggi seperti Ponorogo (4.095) dan Blitar (3.745).

Umumnya, para pekerja migran mengisi sektor tenaga pembantu rumah tangga, perkebunan, kuli bangunan. Dalam satu bulan, para pekerja migran di luar negeri ini mengantongi gaji rata-rata delapan sampai 10 juta rupiah.

Desa Purwodadi yang berada di Kecamatan Donomulyo Kabupaten Malang selama puluhan tahun sudah menjadi desa asal para pekerja migran. Desa ini dapat ditempuh sekitar dua jam dari pusat Kota Malang dan Kota Blitar. Saat ini ada 475 pekerja migran luar negeri dan lebih dari 153 Anak Pekerja Migran (APM) dari Desa Purwodadi. Umumnya mereka adalah perempuan dengan negara tujuan Hongkong, Singapura, dan Taiwan.

Meski mayoritas warga Purwodadi berprofesi sebagai petani kebun, karakteristik geografis Malang selatan umumnya adalah karst lahan kering. Akibatnya, sedikit hasil bumi yang bisa diusahakan oleh para petani. Hasil pertanian palawija seperti jagung dan ketela pohon menjadi andalan, tapi hanya cukup untuk konsumsi pribadi saja.

Sejak 1986, laju jumlah pekerja migran di desa tersebut kian meningkat. Menjadi buruh migran adalah jalan andalan untuk meningkatkan taraf perekonomian keluarga. Persoalan muncul ketika pilihan itu berujung pada terlantarnya anak-anak.

 

Mendidik Anak-Anak Buruh Migran

Mi’ut menangkap gejala-gejala yang diakibatkan oleh terlantarnya anak-anak para buruh migran. Karena pengawasan dan pengasuhan yang tidak maksimal, mereka menjadi rentan terhadap pergaulan tak sehat.

“Kami naik-turun gunung, door to door. Ternyata luar biasa, dari orangtua asuh yang dititipi, curhatnya seperti ini-itu. Kami tergerak dan sangat tersentuh untuk bisa menangani,” tutur Mi’ut.

Sejak 1996, Mi’ut mengumpulkan anak-anak buruh migran dan anak-anak lain berusia maksimal 18 tahun di rumahnya. Ia mencoba memperkenalkan dunia lain bagi mereka seperti kesenian, keterampilan, pelajaran pendidikan, juga mengaji agama. Dalam memberikan pendidikan nonformal, Mi’ut tidak sendiri. Ia terbantu dengan kehadiran para mahasiswa yang beberapa kali berkunjung ke daerahnya untuk melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan menjadi relawan.

Pada 2005, Mi’ut mendirikan Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ) di samping rumahnya. Kemudian, Mi’ut sadar bahwa pendidikan agama saja tak cukup. Bekerja sama dengan beberapa lembaga, ia mengembangkan saluran pendidikan lainnya. Kini, dibantu 12 relawan setempat, Mi’ut berhasil memiliki gedung Taman Kanak-kanak (TK) pada 2007 dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) tahun 2011.

Mi’ut dan para relawan lainnya sejak awal tidak memisahkan anak buruh migran dengan anak-anak umum ketika mereka berkumpul. Menurut pengamatannya, anak-anak buruh migran cenderung bersikap minder sehingga membuat perbedaan yang mencolok dengan anak-anak pada umumnya.

Maslakah, 43 tahun, adalah salah seorang dari 12 relawan yang bergabung bersama Mi’ut. Ia juga merupakan guru di TK dan PAUD. Setelah lama bercengkrama dengan anak didiknya, ia memahami kerinduan anak-anak buruh ini akan orangtua mereka, terutama ibu.

“Saya mengerti mereka rindu perhatian kasih sayang ibu. Sering kelihatan dia nempel-nempel ketika datang dan minta pangku, kemudian bercerita kepada saya.” ujarnya. “Kasihan sekali, anak-anak tidak didampingi orangtua ketika di usia dini, usia emas.”

Di rumahnya, Maslakah membuka pintu untuk memberikan les kepada anak pekerja migran dan anak-anak umum yang duduk di kelas dua dan tiga SD. Anak-anak kelas empat dan lima diampu oleh putra Maslakah, Alex Firmansyah (15), yang juga menjabat sebagai Ketua Forum Anak Purwodadi.

 

Rentan Kekerasan Seksual

Apa yang terjadi di Desa Purwodadi dalam pemberdayaan masyarakatnya bagai gayung bersambut. Lembaga Pengembangan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LP3TP2A) Kabupaten Malang, melirik Desa Purwodadi sebagai daerah eksklusi karena lokasinya yang jauh dari perkotaan. Dua desa lainnya yang dianggap daerah eksklusi juga dimasukkan dalam pendampingan, yaitu Desa Kedungsalam dan Desa Mentaraman. Dari tiga desa tersebut terdapat 444 anak pekerja migran.

Sejak Juli 2017, LP3TP2A meluncurkan beberapa program pemberdayaan seperti Program Peduli bagi APM dan Sekolah Peduli bagi orangtua pengasuh. Selain melakukan penyuluhan terstruktur dan pendataan, LP3TP2A juga menemukan ada anak buruh migran yang mengalami kekerasan seksual di Kabupaten Malang. Setidaknya ada delapan anak yang dalam setahun terakhir mendapat pendampingan karena terkait kekerasan seksual.

Konselor LP3TP2A Kabupaten Malang, Zuhro Rosyidah, menjelaskan bahwa langkah pendampingan yang dilakukan kepada korban kekerasan seksual dilakukan secara bertahap.

“Sebulan dua bulan tiga bulan terus kita lihat bagaimana perkembangannya, apakah sudah siap kembali ke tempatnya semula. Kalau tidak, kita akan carikan tempat yang layak dan aman untuknya,” ujar Zuhro.

Ironisnya, para pelaku kekerasan berasal dari lingkaran terdekat korban, seperti ayah kandung, ayah tiri, teman hingga bapak kos. Keberadaan para korban kekerasan seksual ini rata-rata sudah tidak di kampung halamannya. Zuhro mengatakan mereka ada yang tinggal di panti karena sampai melahirkan, ada yang pindah keluar kota sebagai upaya menghapus masa lalu, dan ada juga yang ibu korban sampai pulang untuk ikut memproses hukum pelaku.

“Kita tetap monitoring [secara] jarak jauh. Kalo semua sudah kembali seperti semula, sudah membaik, ya bisa kita tinggalkan meskipun tidak 100 persen. Tetap dipantau,” terangnya.[Firman/Tirto]

Advertisement
Advertisement