Derita yang “Tak TerCatat” oleh Negara, Anak-Anak yang Menjadi Yatim Piatu Karena Pandemi Corona
JAKARTA – Gelombang pandemi Covid-19 tak hanya membunuh 102.375 jiwa di Indonesia. Di luar itu, masih banyak yang tak tercatat oleh negara. Salah satunya keluarga Inayatil Farhanah. Perempuan usia anak, 13 tahun, ini menjadi yatim piatu dalam dua bulan. Kedua orang tuanya meninggal terjangkit virus SARS-CoV-2 tanpa sempat dirawat di rumah sakit karena penuh.
Semua bermula pada 23 Januari lalu, saat Naya, sapaan akrabnya, mendapat kabar ayahnya, Zainurrahman, meninggal dunia. Ayahnya memang sudah lima tahun mengidap sakit ginjal di sebelah kiri. Rutin keluar-masuk rumah sakit. Pada 2018, ayahnya pernah dioperasi akibat kencing batu.
Saat mendengar kabar itu, posisi Naya sedang di Pondok Pesantren Nurut Tawwabin, Kecamatan Dasuk, Kabupaten Sumenep, Pulau Madura. Sudah satu tahun Naya jadi santriwati, sejak lulus Madrasah Ibtidayah—setingkat Sekolah Dasar.
Sebelum meninggal, ayahnya sempat mengalami sesak napas akut. Oleh dokter spesialis ginjal, Zainurrahman dinyatakan terkena Pneumonia—infeksi paru yang menyebabkan peradangan—setelah keluar hasil rontgen.
Dua bulan setelah Zainurrahman dimakamkan, giliran istrinya, Layyinatul Hauza, mengalami sesak. Mendengar kabar itu, Naya langsung pulang ke rumahnya di daerah Sumenep. Kata neneknya, ibunya sempat akan dibawa ke rumah sakit, akan tetapi batal karena rumah sakit penuh. Akhirnya ibunya meminta istirahat di rumah saja. Tak lama setelah itu, ibunya meninggal.
Naya sendiri tak percaya kalau kedua orang tuanya terkena virus Covid-19—kendati sudah ada gejala yang menunjukkan ke arah sana. “Orang tuaku bukan kena Covid,” katanya saat saya hubungi enam hari yang lalu, lewat sambungan telepon. “Kata mbak sepupu saya yang perawat, ibu tertular dari ayah, bukan Covid, tapi TBC.”
Ayah dan ibu Naya sempat akan dirawat di rumah sakit penanganan Covid-19. Namun sulit karena fasilitas kesehatan sudah kadung penuh alias kolaps. Keduanya juga awalnya akan dimakamkan menggunakan peti, tapi dibatalkan karena takut tetangga heboh.
Salah seorang relawan dari organisasi kemanusiaan yang ikut mendampingi Naya bercerita kepada saya, mengacu riwayat penyakit di puskesmas dan rumah sakit, ibu Naya memiliki gejala kuat ke arah Covid-19. Namun data itu sengaja tidak dibuka ke publik.
“Kenapa tidak disampaikan, khawatir ditolak warga [sekitar]. Termasuk Naya, ia tahunya ibu cuma sesak napas,” katanya kepada saya.
“Di desa, masih agak kental kepercayaan ketika orang sakit akibat sihir dan lain-lain. Terus kalau kena Covid-19 itu dianggap aib banget.”
Kejadian yang menimpa Naya, setidaknya memperkuat riset mandiri teranyar Tirto mengenai pandangan publik terhadap Covid-19, yang dilakukan sepanjang 23-25 Juli lalu dan sebagian besar respondennya berada di Pulau Jawa. Salah satu alasan terbesar—43,7 persen—mengapa orang tak percaya Covid-19 itu nyata karena menganggap itu hanya penyakit flu biasa yang dilebih-lebihkan.
Apalagi, banyak kasus dugaan manipulasi data Covid-19 yang dilakukan beberapa kepala daerah, menurut penelusuran Majalah Tempo. Salah satunya dilakukan di Kabupaten Bangkalan—yang jaraknya hanya tiga jam dari rumah Naya, yang jumlah kasus positif sempat ditahan maksimal 100 kasus per hari.
Hal serupa juga terjadi di Sumenep, kata sumber Tirto itu. Kata dia, data kematian yang diberitahu ke publik oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Sumenep hanya satu orang dari Januari 2021 sampai sekarang.
“Padahal faktanya setiap hari bisa 5-7 orang meninggal,” kata dia.
Untuk memastikan mengenai kasus kedua orang tua Naya, saya telah mencoba menghubungi Bupati Sumenep—yang juga merupakan ketua Satgas Covid-19 Sumenep, Achmad Fauzi, tetapi pesan WhatsApp hanya centang satu dan nomornya tak bisa dihubungi.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sumenep, Agus Mulyono juga irit komentar saat dihubungi. “Pasti sudah ditindaklanjuti dengan prosedur. Coba ke bagian yang urusi di Kecamatan Dasuk saja,” katanya, kemarin sore.
Kini Naya menjadi yatim piatu karena kehilangan kedua orang tuanya dalam rentang dua bulan. Dia tinggal sendiri. Neneknya, sebagai orang terdekat, tinggal di rumah yang terpisah, akan tetapi bersebelahan.
Naya teringat satu ambisi yang harus dikejarnya sampai dapat. Ambisi dari ayahnya sendiri yang bekerja sebagai kuli bangunan lepas: Naya harus menjadi seorang dokter. Ia harus bisa menyembuhkan banyak orang hingga keluarganya sendiri—termasuk ayahnya agar tidak sakit lagi.
“Cita-cita saya ingin jadi dokter. Sampai sekarang masih mau jadi dokter,” katanya kepada saya.
“Kata ayah saya…” lalu ia terdiam. Dia hanya melengkapi kalimatnya dengan tangisan.
Masalah Klasik Pemerintah: Tak Ada Data
Naya tidak sendirian. Ada begitu banyak anak-anak yang menjadi yatim piatu di tengah gelombang pandemi Covid-19. Mereka kehilangan orang tua yang melindungi tumbuh kembangnya di usia anak.
Beberapa waktu lalu, ramai beredar informasi mengenai Vino, bocah 10 tahun yang sendirian melakukan isolasi mandiri di dalam rumahnya di salah satu desa di Kalimantan Timur. Ternyata, ayah dan ibunya belum lama meninggal karena Covid-19. Dia akhirnya harus hidup sebatang kara, sampai kemudian Kementerian Sosial membawanya ke Sragen, Jawa Tengah, ke tempat keluarga ibunya.
Heni Dwi Windarwati dari Ikatan Perawat Kesehatan Jiwa Indonesia (IPKJI) juga mengaku, pernah mendampingi tiga orang anak yang baru saja kehilangan ayah dan ibunya, di daerah Jawa Timur. Ayah dan ibunya meninggal setelah positif Covid-19. Heni bersama beberapa rekannya ikut mendampingi karena secara psikologis, ketiga anak itu tertekan dan berpotensi trauma.
“Anak-anaknya memohon kepada kami juga, untuk diizinkan memeluk petinya,” kata Heni dalam sebuah diskusi daring, dua pekan lalu.
“Jadi bisa dibayangkan suasana haru, berduka, perasaan kehilangan yang luar biasa, apalagi di satu waktu, kurang dari setengah bulan, mereka kehilangan kedua orang tuanya. Banyak sekali terjadi di kita,” imbuhnya.
KawalMasaDepan, sebuah gerakan inisiatif masyarakat sipil yang fokus galang donasi untuk santunan dan biaya pendidikan anak yatim piatu, setidaknya mencatat estimasi jumlah anak yang kehilangan orang tua karen pandemi mencapai 50.000 anak se-Indonesia.
Angka tersebut bukan data resmi dari Pemerintah. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sendiri mengakui bahwa hingga saat ini belum ada data pasti jumlah anak yatim piatu akibat Covid-19 di Indonesia. Komisioner KPAI Retno Listyarti juga bingung, mengapa hingga saat ini Pemerintah tak juga memiliki data itu.
Padahal, anak-anak tanpa kedua orang tua seperti mereka masuk kategori rentan. Anggota Komisi I DPR RI Christina Aryani mengatakan, anak-anak ini berpotensi terjebak ke sirkel kekerasan: perdagangan anak, prostitusi anak, pekerja paksa di bawah umur, hingga kekerasan seksual.
Ini belum termasuk potensi meningkatnya perkawinan anak di bawah umur. Komnas Perempuan mencatat, setidaknya selama pandemi, terjadi lonjakan perkawinan anak hampir tiga kali dibandingkan tahun sebelumnya. “Dispensasi perkawinan melonjak dari sekitar 23 ribu menjadi 64 ribu di Pengadilan Agama pada tahun 2020,” kata Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, tiga hari yang lalu.
“Perkawinan anak merupakan bentuk harmful practice—praktik berbahaya—bagi anak perempuan,” tambahnya.
Peneliti senior Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA UI), Ni Luh Putu Maitra Agastya mengatakan, anak-anak yatim piatu yang hidup tanpa orang tua—atau dalam istilah lain: rumah tangga tanpa orang dewasa—menjadi salah satu kelompok paling rentan dan sulit teridentifikasi. Anak-anak itu akan kesulitan mengakses banyak hal.
“Tanpa pendampingan dan pengawasan, anak berisiko tidak dapat tumbuh kembang secara optimal dan lebih sulit dalam mengakses layanan-layanan yang dibutuhkan, seperti layanan kesehatan, gizi, pendidikan, identitas hukum, serta perlindungan sosial,” kata Agastya secara tertulis kepada saya, tiga hari yang lalu.
“Oleh karena itu, kami mendorong pemerintah untuk mengambil arah kebijakan yang responsif, inklusif, dan akuntabel sepanjang penanganan dan pemulihan,” tambahnya.
Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian PPPA, Nahar, mengakui kalau sampai saat ini Pemerintah belum memiliki data pasti berapa jumlah anak yatim piatu yang orang tuanya meninggal karena Covid-19. Dia mengakui, kendati Pemerintah sudah memantau sejak 2020, akan tetapi laporannya sangat minim dan bersifat kasuistik saja—salah satunya kasus viral Vino di Kalimantan Timur.
“Data itu belum terbentuk,” kata Nahar saat saya hubungi kemarin sore.
Apalagi, lanjut Nahar, setelah kasus Vino muncul dan dipulangkan ke Sragen, ternyata ditemukan lagi dua orang anak yang menjadi yatim piatu—salah satunya mengidap disabilitas intelektual. “Poinnya: kemungkinan anak dengan kondisi tersebut banyak,” kata dia.
“Karena belum menghitung secara detail, sejak 2020 kami terus memperbaiki bagaimana memperoleh data ini. Masih terus kami selesaikan dari daerah-daerah,” imbuhnya.
Tak Cukup Hanya Santunan
Putri sulung Presiden Indonesia Abdurrahman Wahid—atau yang terkenal disapa Gus Dur, Alissa Wahid, merayakan lebaran kurban tahun ini dengan cara yang berbeda. Dia memutuskan agar dana kurban keluarganya disalurkan untuk para anak yatim piatu, karena Covid-19.
Salah satu alasan mengapa dirinya memilih untuk tidak berkurban hewan: meminimalisir risiko berkumpulnya orang-orang menyembelih hewan yang dirinya kurbankan.
“Banyak anak yang susul-menyusul kehilangan bapak-ibunya dalam jeda waktu harian. Kehilangan satu saja berat, apalagi kehilangan keduanya dalam waktu singkat, tanpa persiapan dan seterusnya,” kata dia lewat akun Twitter resminya yang sudah kami konfirmasi untuk dikutip, 21 Juli lalu.
“Asumsi saya banyak orang lebih membutuhkan biaya hidup daripada daging,” tambahnya.
Setelah itu, sebagai koordinator nasional jaringan GUSDURian, ia menginisiasi program GUSDURian Peduli untuk fokus ke anak-anak yatim piatu. Mereka menggalang dana dari publik, dan memberikan dana santunan kepada anak-anak yatim piatu—setelah proses seleksi dan verifikasi—sebesar satu juta rupiah.
Hal senada juga dilakukan KawalMasaDepan, inisiatif warga yang masih berkolaborasi dengan KawalCOVID-19 dan WargaBantuWarga. Mereka memfokuskan penggalangan dana dari publik, untuk memberikan santunan biaya hidup dan biaya pendidikan ke anak-anak yatim piatu karena Covid-19.
Namun biaya santunan hidup dan biaya pendidikan, bisa jadi dirasa tidak cukup. Perlu ada program konkret jangka panjang, mengawasi tumbuh-kembang anak-anak yatim piatu, apalagi secara mental sangat terguncang. Save the Children Indonesia mendesak agar Pemerintah segera mencarikan kerabat terdekat atau keluarga asuh bagi anak-anak yatim piatu tersebut. Sebab, jika tidak, anak-anak tersebut akan berakhir di panti asuhan atau yang terburuk diadopsi secara ilegal.
Hal senada juga diutarakan oleh Ni Luh Putu Maitra Agastya. Para pekerja sosial perlu dilibatkan dari awal. Sehingga segera dimulai pengumpulan data mengenai anak dan pengasuh utama, termasuk mengidentifikasi kerabat dan pengasuhan alternatif sebelumnya.
“Panti atau institusi sosial adalah pilihan terakhir dari sebuah kontinum pengasuhan bagi anak,” kata dia. Agastya bilang keputusan untuk menempatkan anak-anak yatim piatu di panti asuhan harus dilakukan berdasar asesmen komprehensif oleh peksos, keluarga terdekat—jika masih ada, jejaring rujukan, serta anak itu sendiri.
Penempatan anak di panti, kata Agastya, harus bersifat sementara. Selan itu, rencana pengasuhan terus disesuaikan sampai anak mendapatkan penempatan permanen yang terbaik.
“Data mengenai anak dan keluarga juga harus tersedia untuk proses pelacakan dan reunifikasi di masa mendatang jika anak akhirnya harus tinggal di panti,” ujarnya.
Penulis : Haris Prabowo – Tirto Id