Di Negara Penempatan, Ada Ratusan PMI Terancam Hukuman Mati
JAKARTA – Pemerintahan Joko Widodo masih punya setumpuk pekerjaan rumah terkait perlindungan warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri. Pasalnya, ada ratusan Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang terancam dihukum mati. Selain harus melakukan diplomasi tingkat tinggi untuk membebaskan mereka, pemerintah juga perlu memperbaiki upaya pencegahan.
Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri per Maret 2022, tercatat ada 202 WNI yang terancam dijatuhi hukuman mati. Jumlahnya berkurang empat orang dibanding tahun lalu, karena keempatnya berhasil bebas awal tahun ini.
Sebanyak 202 WNI yang masih terancam kehilangan nyawa di negeri orang itu, harus diselamatkan nyawanya. Apalagi, lebih dari setengah di antaranya merupakan PMI atau yang kerap dijuluki pahlawan devisa negara.
“Statistik kami dilihat dari sisi kewarganegaraan, namun memang mayoritas yang terancam hukuman mati itu adalah PMI,” kata Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia pada Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha dikutip dari Republika, Sabtu (24/04/2022) lalu.
Jika 202 WNI itu dibagi berdasarkan negara, maka sebanyak 188 orang di antaranya terancam dieksekusi mati di Malaysia. Lalu empat orang di Arab Saudi, empat di Uni Emirat Arab, dua di China, dua di Laos, serta masing-masing satu di Vietnam dan Myanmar.
Judha menyebut, pihaknya telah melakukan sejumlah upaya untuk menyelamatkan ratusan WNI tersebut. Di antaranya adalah memberikan pendampingan hukum dengan menyediakan pengacara dan melakukan upaya diplomatik. Pihaknya juga terus menghubungkan para WNI itu dengan keluarganya di Tanah Air.
Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant CARE, Anis Hidayah mengatakan, banyaknya PMI yang terjerat hukuman mati di Malaysia terjadi karena akumulasi kasus-kasus lama. Kendati demikian, pembebasan mereka tak mendesak. Sebab, Pemerintah Malaysia telah menetapkan moratorium eksekusi mati.
Pemerintah Indonesia justru harus mengutamakan pembebasan PMI yang terancam dihukum mati di negara-negara yang masih menjalankan eksekusi mati seperti Arab Saudi. “Presiden perlu lebih intensif menjalin komunikasi dengan Raja Arab,” kata Anis. Dia pun menyarankan Presiden Jokowi untuk melobi Raja Arab Saudi di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi Group of 20 (G20) di Bali pada November mendatang.
Kasus Rosmini
Selain membebaskan PMI yang terancam dieksekusi mati, pemerintah juga punya pekerjaan rumah lain, yakni mencegah agar tak ada lagi kasus baru. Menurut Anis, Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) harus meningkatkan upaya pencegahan ini.
“Menurut saya, upaya pencegahan (selama ini) belum cukup. Ini penting diperkuat sehingga tidak terus menerus ada pekerja migran yang terancam hukuman mati,” ujarnya.
Koordinator Departemen Advokasi DPP Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Juwarih berpendapat serupa. Menurutnya, ketidakpahaman PMI atas ketentuan hukum di negara penempatan, bisa berujung dengan vonis hukuman mati. Hal itu menimpa Rosmini saat bekerja di Arab Saudi, sekitar 2015 silam.
Juwarih menuturkan, Rosmini sempat dijatuhi vonis hukuman mati hanya karena kedapatan menyimpan rambutnya sendiri yang rontok. “Budaya orang Jawa kan ketika perempuan menstruasi, rambutnya tidak boleh dibuang, tapi disimpan. Oleh majikannya, Rosmini dituduh melakukan sihir dan dilaporkan ke polisi,” ujarnya.
“Di Timur Tengah itu kan kalau sudah menduakan Tuhan, itu hukumannya sangat berat,” imbuhnya.
Setelah ditangkap polisi, Rosmini diperiksa seorang diri. Padahal, Rosmini punya hak untuk menolak diperiksa jika tak mendapatkan pendampingan kuasa hukum, atau pendampingan perwakilan RI. Karena ketidaktahuannya, Rosmini tak menggunakan hak tersebut.
Diperiksa dalam posisi sendirian, Rosmini diminta mengaku telah melakukan praktik sihir. Polisi pun membujuknya untuk mengaku dengan iming-iming bakal dibebaskan segera. Lantaran tak paham hukum, Rosmini menurut.
“Karena diiming-imingi seperti itu, dia mengaku. Padahal, pengakuan seperti itu kan dasar yang kuat sekali untuk penuntutan di pengadilan,” ujar Juwarih.
Alhasil, Rosmini dijatuhi vonis hukuman mati. Setelah mengajukan banding, hukumannya diringankan menjadi hukuman penjara 10 tahun. Kini, dia telah menjalani masa hukuman selama tujuh tahun. “Kasus Rosmini ini contoh kecil saja. Kemungkinan banyak kasus seperti ini,” kata Juwarih.
Karena itu, Juwarih meminta BP2MI mengubah metode pembekalan hukum kepada PMI saat orientasi pra penempatan (OPP), agar mereka bisa lebih memahaminya. Kalau bisa, materi pembekalan hukum diberikan tidak hanya dalam sekali pertemuan.
“Jangan satu hari full pemberian materinya, karena mereka kan bukan pelajar. Pendidikan orang dewasanya harus dibenahi, agar materinya masuk,” ujarnya.
Benahi pendampingan
Menurut Juwarih, pembenahan juga harus dilakukan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dalam hal pendampingan. Kedutaan Besar RI harus memberikan pendampingan sejak awal pemeriksaan. Menurutnya, jangan lagi memberikan pendampingan saat kasusnya sudah di pengadilan.
Dia menilai, memberikan pendampingan hukum sejak awal pemeriksaan akan jauh lebih efektif mencegah PMI terjerat hukuman mati ketimbang melakukan lobi-lobi antar pemerintah. “Sebab, kunci untuk menyelamatkan PMI dari jerat hukum itu ya saat pemeriksaan awal di kantor polisi,” ujarnya sembari mengingatkan kasus Rosmini.
Juwarih juga mengusulkan agar Kemenlu menyediakan pengacara dengan sistem per kasus. Jangan lagi seperti sekarang, di mana pengacara dikontrak per tahun untuk menangani semua kasus yang menjerat WNI.
“Inginnya kita, bantuan hukum itu per kasus. Pengacara dibayar per kasus sehingga dia bisa fokus menangani perkara,” ujarnya.
Juwarih mengatakan, dirinya sudah menyampaikan dua isu pendampingan ini dalam pertemuan dengan Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kemenlu pada Kamis (21/04/2022) lalu. Pihak Kemenlu merespons positif masukan tersebut dan akan memasukkannya dalam dokumen Pedoman Perlindungan WNI Terjerat Hukuman di Luar Negeri.
“Pemerintah ke depan akan memperbaiki (pendampingan hukum) lewat pedoman baru ini. Kami berharap berkurang jumlah PMI yang terkena hukuman di luar negeri,” kata Juwarih. []
Sumber Republika