Dimodali Majikan, Jahitan Kartini Lumintu Berdatangan
MAGETAN – ”Almarhum nenek majikan pasti akan selalu terkenang setiap kali membicarakan usaha saya ini,” tutur Kartini, eks-pekerja migran Indonesia (PMI) Hong Kong asal Maospati – Magetan, saat berbincang dengan Apakabar Plus di rumahnya. ”Nenek itu paling pelit beli pakaian. Kalau sobek atau hilang kancingnya, selalu nyuruh saya untuk menjahitkan. Bahkan, beberapa barangan kain lainnya seperti sarung bantal atau taplak meja, kalau ada yang sobek, juga nyuruh saya,” lanjutnya.
Dari kebiasaan mengerjakan tugas-tugas dari nenek itulah, hasil kerja Kartini diam-diam diamati dan dinilai oleh sang majikan. Sampai kemudian, Tini – sapaan karib Kartini – diajak ke rumah adik majikannya itu, dikenalkan dengan mesin jahit sekaligus disuruh belajar. ”Kan lumayan, bukan hari libur, saya jalan-jalan sama nenek ke rumah adiknya untuk belajar menjahit,” akunya.
Berawal dari kemampuan Kartini yang tertangkap oleh majikan, akhirnya – setelah Kartini dianggap mampu menggunakan mesin jahit dengan benar – nenek membeli mesin jahit di rumahnya. Pekerjaan Kartini pun bertambah. Barang apa pun yang robek, nenek meminta Kartini menjahit dengan mesin tersebut. ”Nenek bilang pada saya: nanti kalau kamu sudah pulang, buka usaha jahit saja. Hasil jahitanmu bagus,” terangnya.
Harapan itu pun menjadi kenyataan. Tak lama setelah nenek yang delapan tahun ia jaga itu meninggal dunia, Kartini pulang kampung. Ia dimodali oleh anak nenek majikan untuk membeli peralatan jahit. ”Awalnya saya masih bingung. Tahun 2014, saat saya memulai usaha ini, masih tidak pede. Tapi lama-lama terbiasa juga,” cetus Tini.
Tahap awal, Kartini hanya menerima borongan membuat jilbab burka dari Temboro. Lama kelamaan, banyak anak-anak sekolah yang menjahitkan pakaian seragam kepadanya. Alhamdulillah, pesanan itu berkelanjutan sampai sekarang.
Menurut Kartini, anak majikannya mengeluarkan uang sebesar HK$ 15,000 sebagai amanah dari almarhum nenek, sekaligus tambahan bonus lantaran telah bekerja di rumah majikan yang sama selama 10 tahun. Uang tersebut ia belanjakan untuk membeli satu unit mesin jahit biasa, satu unit mesin obras, dan satu unit mesin jahit serba bisa. Selain untuk pengadaan mesin, Kartini juga mengeluarkan biaya untuk memoles tempat kerjanya yang berada di dalam rumah. ”Total modal yang dulu saya keluarkan kira-kira Rp 23 juta,” terangnya.
Setelah usahanya memasuki tahun kedua, Kartini mengaku omzet jahitan yang datang ke rumahnya semakin tinggi. ”Borongan jilbab burka yang paling banyak. Sehari saya menyelesaikan rata-rata enam burka. Kalau mau full tanpa mengerjakan yang lain, bisa 10 burka selesai dalam sehari,” lanjut Tini.
Dari mengerjakan barang jahitan yang masuk ke usahanya, setiap seminggu sekali, pada hari-hari biasa, Kartini bisa mengantongi keuntungan bersih rata-rata Rp 800 ribu atau Rp 3,2 juta sebulan. Sedangkan pada saat-saat tertentu, utamanya menjelang Lebaran atau pergantian tahun ajaran sekolah, Kartini bisa mengantongi keuntungan bersih hingga Rp 6 juta dalam sebulan. ”Keberadaan sekolah, dan pondok pesantren di dekat sini lumayan membantu meningkatkan keuntungan usaha saya. Sebab, mayoritas barang yang saya kerjakan ordernya dari sana,” tuturnya.
Modal operasional untuk menjalankan usaha seperti Kartini, yang murni hanya mengerjakan jahitan orang lain, nilainya relatif kecil. ”Yang paling besar untuk membayar langganan listrik. Dalam sebulan, pemakaian listrik untuk mesin jahit dan setrika habis sekira Rp 300 ribu. Itu pun karena tarif listrik naik gila-gilaan dalam setahun terakhir,” akunya.
Berawal dari kebetulan, Kartini menemukan ide dan gagasan. Namun saat menjalankan, tak mungkin ia berharap pada faktor kebetulan. Kerja keras membangun jaringan, mengenalkan produk jasa yang ia kelola sekaligus kualitas hasil kerjanya dari satu tempat ke tempat lain, merupakan perjalanan yang melelahkan. ”Dulu saya hampir menyerah. Dalam lima bulan pertama buka usaha, sama sekali tidak ada jahitan datang,” kenangnya.
Momentum pertama Kartini menerima jahitan adalah ketika ibu-ibu kelompok Yasinan ada yang minta dikecilkan ukuran bajunya. Melihat hasil kerjanya, datang lagi ibu-ibu yang lain secara beruntun. Sampai kemudian, ketika tahun ajaran baru, banyak jahitan seragam sekolah yang masuk ke usahanya.
”Ketika saya datang menawarkan jasa ke pengusaha-pengusaha konveksi yang berjaringan dengan pondok pesantren, awalnya saya juga tidak direken. Berkali-kali saya datangi beberapa pengusaha, kok ya akhirnya ada juga yang mau menerima tawaran saya untuk mengerjakan konveksinya. Kalau puas, silakan dibayar sesuai harga pasaran. Kalau tidak puas, beri saya masukan,” imbuh Tini.
Keberhasilan Kartini memang tidak diperoleh semudah membalikkan telapak tangan. Keterampilan menjahit, tanpa didukung keahlian membangun hubungan, tentu sulit untuk mendatangkan keuntungan. ”Jadi, buat saya, kita harus terampil menjahit sekaligus harus terampil mencari lobang usaha,” pungkas Kartini. [asa]