Dukung Buruh Se-Jawa Barat, Gubernur Ridwan Kamil Surati DPR dan Presiden, Terang-Terangan Menolak Omnibus Law
BANDUNG – Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil terang-terangan menolak Omnibus Lawa RUU Cipta Kerja, sebagaimana yang ditolak oleh jutaan orang di seluruh Indonesia dalam beberapa hari terakhir sejak disahkan hari Senin lalu.
Pernyataan penolakan Ridwan disampaikannya saat menemui ribuan demonstran yang berunjukrasa di depan Gedung Sate, Kamis (08/10/2020). Video Ridwan Kamil berbicara didepan masa buruh dan menyampaikan pernyataan menolak tersebut diunggah di akun Twitter Ridwan Kamil.
Tidak seperti kepala daerah di berbagai provinsi lain di Indonesia, Ridwan turun ke jalan menemui para buruh yang berunjukrasa. Menurutnya RUU Cipta Kerja terlalu cepat disahkan menjadi undang-undang karena terlalu kompleks dan banyak lagi pembasan yang belum tuntas.
“Tadi saya sudah mendengarkan aspirasi yang isinya menyampaikan poin-poin ketidakadilan yang ada di dalam Omnibus Law. Mulai dari masalah pesangon, cuti, izin TKA, outsourcing, upah dan lain-lain,” katanya.
“Rekomendasi dari buruh, agar Pemprov Jabar mengirimkan surat kepada DPR dan presiden, isinya menyampaikan aspirasi untuk menolak UU Omnibus Law. Kedua, meminta kepada bapak Presiden untuk minimal menebitkan Perppu penggganti UU karena proses UU ini masih 30 hari untuk direvisi sebelum tanda tangan presiden. Dua-duanya sudah saya tandatangani dan besok pagi akan dikirimkan oleh Pemprov Jawa Barat ke DPR dan Presiden Jokowi,” katanya.
Penyataan Ridwal Kamil itu pun mendapat tepuk tangan dari para demonstran. Seorang koordinator kemudian membacakan hasil dari keputusan bersama Pemprov Jabar.
Terpisah, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenal Arifin Mochtar menilai bahwa tidak dibaginya draft RUU Cipta Kerja kepada para anggota DPR dalam rapat paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja hari Senin lalu, dapat berakibat buruk. Ia mengibaratkannya seperti rapat paripurna cek kosong.
“Kita gak pernah mendapatkan risalah, catatan, apapun yang sebenarnya wajib dibagikan. Bahkan draft terakhirnya itu tidak dibagikan ke anggota DPR. Jadi paripurna itu kayak paripurna cek kosong. Anggota tidak tahu apa yang mau dikomentari di situ. Belum lagi kalau kita bicara soal penyerahannya,” kata Zaenal, dalam konferensi pers virtual yang digelar Fakultas Hukum UGM, Selasa (06/10/2020).
Zaenal pun mewanti-wanti adanya pasal “titipan” ketika RUU itu telah resmi menjadi UU.
“Belajar dari beberapa UU yang pernah ada. Jangan sampai ada pasal titipan. Pasal selipan. Seperti yang terjadi di UU Pemilu. Dengan tidak dibaginya risalah, draft, dsb, ini kontrolnya akan sulit. Mau tidak mau kita bicara di level berharap tekanan publik yang kuat,” tukas pria yang akrab disapa Uceng ini.
Zaenal mengatakan bahwa tekanan publik sangat dibutuhkan untuk menolak RUU Cipta Kerja yang telah disahkan DPR RI.
“Saya menawarkan bahwa kita harus teriakkan bersama UU ini. Pembangkangan sipil barangkali atau apa, pilihannya silakan dipikirkan. Maksud saya ini adalah cara kita untuk melihat baik-baik apakah UU ini pantas untuk dibiarkan,” ujarnya.
Seperti diketahui, sejak RUU Cipta Kerja disahkan oleh DPR, gelombang penolakan yang disertai kemarahan publik terjadi di mana-mana. Pun begitu, sejauh ini belum ada sikap dari Jokowi menanggapi gelombang penolakan tersebut.
“Saya gak yakin juga presiden akan mau mengubah sikapnya. Mau tidak menandatangani dll sebagainya, misalnya. Apalagi melihat catatan bahwa dia yang paling ngebet dengan UU ini, dengan berbagai perkataan sebelum lebaran harus selesai, sebelum Oktober harus selesai,” kata Zaenal.
Zaenal berharap, kuatnya tekanan publik mampu menggugah Presiden Jokowi untuk mengeluarkan sikap politis yang akan berpengaruh bagi proses judicial review RUU tersebut.
“Harapan kita, dengan banyaknya tekanan ini, presiden mau menimbang walaupun tetap tidak berefek apa-apa. Paling tidak akan menjadi caata kuat untuk judicial review. Judicial review ini harus dilakukan karena secara nyata pemerintah dan DPR berjalan membelakangi partisipasi dan kehndak publik yang mana UUD Pasal 1 ayat 2 jelas dikatakan kedaulatan ada di tangan rakyat,” kata Zaenal.
Menurut Zaenal, RUU Cipta Kerja memang bermasalah dengan pembahasan, mulai dari proses formil hingga substansi materiilnya yang penuh catatan. Parahnya, kata dia, RUU itu juga dibuat nyaris tanpa partisipasi publik.
“Aspirasi di-selected, hanya pihak tertentu yang didengar,” tukasnya. []