November 1, 2025

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Faktor Lahirnya Fenomena Rojali di Indonesia

2 min read

JAKARTA – Belum lama ini, fenomena “rojali” (rombongan jarang beli) dan “rohana” (rombongan hanya nanya) ramai menjadi perbincangan publik. Istilah ini muncul akibat tingginya angka kunjungan mal yang tidak berbanding lurus dengan tingkat pembelian barang. Kebanyakan dari pengunjung hanya berjalan-jalan, melihat-lihat dan bertanya mengenai suatu produk tanpa disertai aktivitas belanja.

Banyak ahli dan publik memberikan pandangannya terkait hal ini. Ada yang berpendapat bahwa sumber permasalahannya berasal dari lemahnya perekonomian dan ada juga yang mengatakan bahwa ini hanya bentuk pergeseran pola belanja masyarakat. Lantas apa penyebab sebenarnya?

Untuk menjawabnya, Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik (Kedai Kopi) telah melakukan survei terhadap 663 responden berusia 17-55 tahun yang pernah tidak melakukan pembelian di mal dengan metode Online Computerized Assisted Self Interview (CASI) pada 14-19 Oktober 2025.

 

Sekadar Jalan-Jalan Jadi Alasan Dominan

 

 

Hasil survei menyatakan bahwa sebanyak 60,5% responden tidak melakukan pembelian karena tujuan utamanya ke mal hanya sekadar ingin jalan-jalan atau healing semata. Mal adalah pusat perbelanjaan yang terdiri atas banyak sekali toko. Setiap tokonya dilengkapi dengan desain interior yang khas lagi memanjakan mata.

Keindahan dari sisi desain dan arsitektur inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh sebagian besar publik untuk healing di tengah kesibukan sehari-hari.

Kemudian alasan terbanyak kedua adalah harga produk yang terlalu mahal bagi 57,3% responden. Berjualan barang di mal terkenal memerlukan modal yang besar. Salah satu biaya operasional terbesarnya berasal dari sewa gerai atau toko.

Maka dari itu, mahalnya biaya sewa ini berdampak juga bagi tingginya harga produk, sesuatu yang sangat sulit dihindari oleh para pelaku usaha.

Selanjutnya, minimnya pemberian promo serta diskon juga jadi alasan bagi 50,2% publik tidak membeli barang di mal. Harga yang dianggap terlalu mahal disertai minimnya promo menjadi dua alasan yang saling berhubungan kuat satu sama lain, berkontribusi besar terhadap penurunan daya beli masyarakat.

Lalu sebanyak 35,9% publik mengaku hanya ingin melihat bentuk fisik dari barang yang ditemui di toko online, dan disusul adanya ketidaksesuaian antara barang dengan kebutuhan sebesar 34,1%.

Lebih lanjut, 30,5% beralasan bahwa toko online menawarkan harga yang lebih murah untuk produk yang sama. Temuan ini sejalan dengan pandangan yang disampaikan oleh Ekonom Universitas Gadjah Mada, Dr. I Wayan Nuka Lantara, S.E., M.Si.

“Banyak orang melihat produk secara langsung di pusat perbelanjaan, lalu membelinya secara online karena lebih murah. Fenomena ini dikenal sebagai showrooming,” tuturnya mengutip laman resmi Universitas Gadjah Mada (22/8/2025).

Selain beberapa alasan di atas, masih terdapat beberapa alasan lainnya yaitu mal dijadikan sebagai tempat hiburan terjangkau (24,1%), tidak cukupnya uang yang dimiliki (22,6%), tidak tersedianya merek yang diinginkan (22,6%), serta hanya ingin menemani orang lain saat berada di dalam mal (18,7%). []

Sumber Good Stats

Advertisement
Advertisement

Leave a Reply