Garap Proyek di Luar Negeri, BUMN Indonesia Tega “Memakan” Upah PMI
JAKARTA – PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA) diduga berkolusi dalam mendatangkan para pekerja kontruksi dari Indonesia ke Taiwan. Sebab, belakangan mereka dibayar dengan upah rendah di proyek Pemerintah Kota New Taipei terkait pembangunan jalur MRT Sanying yang menelan anggaran 1,2 miliar dolar AS.
Nasib pekerja migran Indonesia (PMI) yang didatangkan oleh negara sendiri lewat perusahaan berstatus BUMN ini telah mempermalukan Indonesia di Taiwan karena telah memicu protes keras dan sorotan di dalam negeri itu.Bahkan pada Jumat, 13 Agustus 2021, legislator Partai Kekuatan Baru Chiu Hsien-chih dan Asosiasi Pekerja Internasional Taiwan (TIWA) mengadakan konferensi pers bersama di Taipei, Ibu Kota Taiwan.
Konferensi pers ini untuk membahas tuduhan bahwa kontraktor konstruksi jalur Sanying telah mendatangkan pekerja migran dari Indonesia yang ternyata dibayar dengan upah rendah. RSEA Engineering Corporation (RSEA) adalah salah satu perusahaan yang dikontrak oleh Pemerintah Kota New Taipei untuk membangun jalur MRT Sanying, sebuah proyek besar dengan anggaran 1,2 miliar dolar AS.
Dilansir dari Taiwan News, pihak Asosiasi Pekerja Internasional Taiwan atau TIWA dalam jumpa pers ini menegaskan bahwa selama dua tahun, pekerja dari Indonesia telah dibayar dengan gaji pokok NT$9.677 per bulan, dan bekerja hingga 176 jam lembur per bulan.Selain NT$2.000 atau NT$4.000 yang diberikan kepada para pekerja untuk menutupi biaya hidup di Taiwan, gaji juga dibayarkan oleh mitra bisnis RSEA di Indonesia, yakni WIKA dalam mata uang rupiah.
Menurut TIWA, sebelum datang ke Taiwan, pekerja diminta untuk menandatangani kontrak kerja dengan WIKA, yang syarat pembayarannya mengikuti standar Indonesia. Pekerja menerima slip gaji dari RSEA, yang seluruhnya ditulis dalam bahasa Indonesia.Pembayaran lembur mereka, dengan nilai NT$47 per jam, dibagikan secara tunai di lokasi konstruksi.
Padahal secara hukum, menurut pihak TIWA, setiap pekerja berhak atas total NT$54.813 untuk pekerjaan sebulan, yang terdiri dari upah minimum NT$23.800 dan lembur hingga NT$31.013.Mereka menerima NT$20.344.
“Ini menimbulkan pertanyaan ke mana sisa NT$34.469 pergi, kata Presiden TIWA Chen Su-hsiang.
Chen menegaskan, kasus tersebut tidak boleh diperlakukan hanya sebagai perselisihan perburuhan, dan pihak berwenang harus menyelidiki apakah korupsi atau kegiatan kriminal lainnya terlibat.
Namun, menurut seorang perwakilan Kementerian Tenaga Kerja Taiwan (MOL), WIKA tidak memenuhi syarat untuk mempekerjakan pekerja migran di Taiwan, sehingga RSEA adalah majikan yang sah dari para pekerja tersebut sehingga RSEA harus bertanggung jawab serta mematuhi kebijakan resmi.
Jika penyelidikan menemukan kebenaran dalam tuduhan pekerja, MOL akan mencabut izin kerja RSEA dan mendenda hingga satu juta NT$.
WIKA sendiri, dilansir dari Wikipedia, adalah salah satu perusahaan konstruksi milik Pemerintah Indonesia. WIKA berdasarkan UU Nomor 19 tahun 1960 junto PP Nomor 64 Tahun 1961 tentang Pendirian PN Widjaja Karja tanggal 29 Maret 1961.Berdasarkan PP ini juga, perusahaan konstruksi milik Belanda yang bernama NV Technische Handel Maatschappij en Bouwbedrijf Vis en Co. yang telah dinasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia, dilebur ke dalam PN Widjaja Karja.
Kesepakatan Upah Pekerja Migran Indonesia
Pemerintah Taiwan bersama Indonesia sejak medio 2021 sepakat untuk semakin meringankan kedua belah pihak di bidang ketenagakerjaan antara majikan dan migran.Di antaranya, majikan harus membayar tiket pesawat pekerja ke dan dari Indonesia, akomodasi sebelum meninggalkan negaranya ke Taiwan, biaya visa, biaya perantara tenaga kerja, dan biaya verifikasi kontrak.
Namun sebaliknya, pekerja migran harus membayar sendiri untuk tes Covid-19 yang diperlukan, pemeriksaan kesehatan, pemrosesan paspor, dan biaya yang terkait dengan dokumen catatan kriminal.
Biaya untuk pihak Taiwan bisa berjumlah 832 dolar AS per pekerja Indonesia, demikian CNA melaporkan sebagaimana dilansir dari Taiwan News, baru-baru ini.Indonesia, awalnya dilaporkan mengumumkan bahwa kebijakan barunya akan berlaku efektif pada Januari 2021, tetapi memutuskan untuk menundanya karena Taiwan tidak setuju dengan langkah tersebut.
Adapun perubahan biaya tersebut dari pihak Indonesia berlaku bagi tenaga kerja Indonesia yang berangkat ke 14 tujuan, termasuk Jepang dan Hong Kong. Dalam putaran terakhir negosiasi biaya pekerja migran antara Pemerintah Taiwan dan otoritas dari Indonesia, Indonesia sempat memotong jumlah biaya yang diminta oleh majikan Taiwan untuk ditanggung.
Awalnya, Indonesia menginginkan 11 jenis pungutan yang harus dibayar oleh majikan Taiwan yang ingin merekrut tenaga kerja Indonesia, tetapi belakangan jumlahnya turun menjadi enam selama pembicaraan antara Kementerian Tenaga Kerja (MOL) Taiwan, dan Badan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP2MI).
Topik utama diskusi awal terkait dengan biaya akomodasi di Indonesia, yang menurut Pemeirntah Taiwan, tidak masuk akal karena kurangnya rincian tentang kualitas tempat dan durasi tinggal pekerja.
Negara Terbaik untuk Ekspatriat
Masih menurut Taiwan News, Taiwan mempertahankan gelarnya sebagai tempat terbaik di dunia untuk ekspatriat untuk tahun ketiga berturut-turut berdasarkan survei oleh InterNations.Dalam laporan InterNations Expat Insider berjudul Tempat Terbaik & Terburuk untuk Ekspatriat pada 2021, ekspatriat di seluruh dunia menempatkan Taiwan sebagai tempat teratas di antara 59 tujuan.
Tempat kedua adalah Meksiko, dengan Kosta Rika, Malaysia, Portugal, Selandia Baru, Australia, Ekuador, Kanada, dan Vietnam melengkapi 10 besar.Daftar tersebut dihasilkan oleh survei pada Januari 2021, yang meminta 12.420 ekspatriat yang mewakili 174 kebangsaan di 186 negara dan wilayah untuk menilai berbagai aspek kehidupan mereka di luar negeri.
Sebanyak 37 faktor dikelompokkan dalam empat indeks utama yang dinilai, termasuk kualitas hidup, kemudahan menetap, bekerja di luar negeri, dan keuangan pribadi.Agar destinasi terdaftar di bawah salah satu indeks dan peringkat keseluruhan, setidaknya harus ada 50 peserta yang tinggal di sana. Untuk Taiwan, negara ini menempati peringkat pertama dalam indeks Kualitas Hidup dan Bekerja di Luar Negeri.
Taiwan dinilai jauh di atas rata-rata global untuk keamanan kerja (83 persen vs. 61 persen), keadaan ekonomi lokal (85 persen vs. 62 persen secara global), kebahagiaan dengan pekerjaan seseorang (75 persen vs. 68 persen), dan kehidupan secara umum (80 persen vs 75 persen).Selain itu, ekspatriat di Taiwan menilai kualitas perawatan medis negara tuan rumah mereka sangat tinggi pada 96 persen (vs 71 persen secara global), dan 94 persen senang dengan keterjangkauan Taiwan (dibandingkan dengan 68 persen secara global).
Panduan ekspat, mengutip seorang penduduk Chili yang menyatakan bahwa sistem perawatan kesehatan Taiwan ‘benar-benar menganggap orang sebagai manusia, bukan sekadar angka’. Ekspatriat juga melaporkan merasa sangat aman di negara Asia Timur itu, tanpa ada yang menuding merasa tidak aman secara pribadi (vs delapan persen secara global).
Taiwan berada di peringkat sedikit lebih rendah dalam indeks Kemudahan Penyelesaian di tempat ke-13. Namun, dalam subkategori Keramahan, Taiwan menempati posisi pertama, dengan mayoritas ekspatriat merasa mudah untuk berteman (62 persen vs. 48 persen secara global), dan menganggap orang Taiwan ‘ramah terhadap penduduk asing’ (96 persen vs. 67 persen). secara global). []