Gelombang Demonstrasi di Hong Kong Kian Tak Kunjung Berhenti, Krisis Ekonomi di Negeri Behaunia Kian Menganga
HONG KONG – Pemerintah Hong Kong memastikan ekonomi Hong Kong telah jatuh ke dalam resesi akibat aksi protes anti-pemerintah yang sudah berlangsung lebih dari lima bulan.
Menteri Keuangan Hong Kong Paul Chan menegaskan Hong Kong tidak mungkin mencapai target ekonomi tahunan di tahun ini.
“Pukulan terhadap ekonomi kami komprehensif,” kata Chan dalam sebuah posting di blog, Minggu (27/10/2019) yang dikutip dari Reuters.
Ia menambahkan, angka perkiraan awal produk domestik bruto (PDB) Hong Kong di kuartal III 2019 menunjukkan dalam dua kuartal berturut-turut terjadi kontraksi. Secara teknis, ini sudah cukup untuk mendefinisikan sebuah resesi ekonomi.
Chan juga mengatakan akan sangat sulit untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 0-1% di tahun ini.
Aksi protes di bekas koloni Inggris itu telah mencapai minggu ke-21. Pada Minggu (27/10/2019), demonstran berpakaian hitam dan bertopeng membakar toko-toko serta melemparkan bom bensin ke polisi yang merespons dengan gas air mata, meriam air, dan peluru karet.
Para pengunjuk rasa secara rutin membakar depan toko termasuk bank, terutama yang dimiliki perusahaan China daratan dan juga mengganggu sistem transportasi massal (MRT) kota Hong Kong.
MTR telah menutup layanan lebih awal selama beberapa minggu terakhir dan mengatakan akan menutup sekitar dua jam lebih awal dari biasanya pada Senin ini untuk memperbaiki fasilitas yang rusak.
Jumlah wisatawan ke Hong Kong anjlok gara-gara aksi demo yang berkepanjangan ini. Penurunan jumlah wistawan memburuk pada Oktober 2019, turun hampir 50%.
Operator ritel, dari mal hingga bisnis pusat bisnis telah dipaksa untuk menutup tokonya selama beberapa hari dalam beberapa bulan terakhir.
Sementara pihak berwenang telah mengumumkan langkah-langkah untuk mendukung usaha kecil dan menengah. Namun Chan mengatakan, langkah-langkah itu hanya bisa “sedikit mengurangi tekanan”.
“Biarkan warga kembali ke kehidupan normal, biarkan industri dan perdagangan beroperasi secara normal, dan ciptakan lebih banyak ruang untuk dialog rasional,” tulisnya di blog yang dilansir Reuters.
Unjuk rasa berkepanjangan dipicu meningkatnya gangguan China terhadap Hong Kong, yang kembali ke pemerintahan Cina pada tahun 1997 di bawah formula “satu negara, dua sistem”.
China sendiri membantah ikut campur urusan Hong Kong. China menuduh pemerintah asing, termasuk Amerika Serikat dan Inggris, menimbulkan masalah. []