February 5, 2025

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Guru Besar UI Khawatir, Revisi UU Perlindungan PMI Berorientasi Mengejar Remitansi

3 min read

JAKARTA – Badan legislasi Dewan Pertimbangan Rakyat (Baleg DPR) mulai menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (RUU Pekerja Migran). Selaras proses itu Baleg mengundang berbagai pihak untuk mendapat masukan. Selama ini pekerja migran kerap disebut sebagai pahlawan devisa negara, melalui uang yang dikirimnya dari luar negeri atau remitansi.

Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Prof Sulistyowati Irianto khawatir arah revisi UU PPMI hanya mengutamakan remitansi atau devisa dari pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri.

“Saya khawatir kalau UU ini direvisi seperti apa, kalau pekerja migran nanti tidak dipandang (selayaknya,-red) manusia hanya remitansi dan penghasil devisa, itu saya khawatir,” katanya dalam rapat dengar pendapat umum dengan Baleg di Komplek Gedung DPR, Selasa (4/2/2025).

Perempuan yang disapa Prof Sulis itu menguraikan posisi pekerja migran Indonesia di negara penempatan tergolong rentan. Perlindungan di negara tujuan berkaitan dengan bagaimana negara itu melihat pekerjaan domestik atau rumah tangga secara sosio kultural dianggap sebagai pekerjaan kotor, rendah, dan tidak setara dengan sektor formal.

Ditambah lagi ada relasi kuasa. Pasalnya migrasi yang dilakukan pekerja migran Indonesia untuk bekerja di luar negeri dan mengampu pekerjaan di sektor domestik kebanyakan karena dorongan keluarga atau kemiskinan, bukan kemauan sendiri. Seperti Uni Emirat Arab, tidak memposisikan pekerja migran yang bekerja di sektor rumah tangga atau domestik sebagai pekerja.

Tidak ada perlindungan selayaknya pekerja, instrumen hukum yang tersedia hanya kontrak kerja. Tak sedikit pekerja migran Indonesia yang kabur dari rumah majikan. Ironisnya dalam kontrak kerja ada klausul yang menyebut majikan tidak bertanggungjawab dan lepas hubungan ketika pekerja migran kabur.

Padahal dokumen perjanjian kerja, termasuk paspor dipegang majikan. Sehingga pekerja migran Indonesia yang kabur itu menjadi non prosedural. Bekerjanya hukum termasuk hukum internasional menurut Prof Sulis sangat dipengaruhi struktur sosial dan politik di negara tersebut.

Seperti di Uni Emirat Arab, posisi pekerja migran sektor domestik dipandang berbeda sehingga berdampak terhadap perlindungan yang diberikan otoritas setempat. Selain itu respon pemerintah Indonesia dalam menangani persoalan yang dihadapi warganya sebagai pekerja migran tergolong lambat jika dibandingkan negara jiran Filipina. Akibatnya, banyak pekerja migran Indonesia yang terancam hukuman mati.

Prof Sulis berharap dalam merevisi UU PPMI perlu mencermati teori migrasi yang berubah, jangan lagi memandang pekerja migran sebagai komoditas atau kapital, tapi sebagai manusia. Lebih mengerikan lagi dalam proses migrasi selama ini ada fenomena perdagangan orang mulai dari proses rekrutmen tanpa pemberian informasi secara benar, dan menghadapi berbagai persoalan di negara penempatan sampai pulang ke kampung halaman.

“Itu atribut TPPO (tindak pidana perdagangan orang,-red). Saya mau mengajak kita semua melihat ini secara esensial,” usulnya.

Sementara, perwakilan kantor ILO Indonesia, Sinthia Harkrisnowo mengingatkan pentingnya pekerja migran Indonesia bekerja secara merdeka, setara, aman dan bermartabat. Sekaligus mengapresiasi pemerintah Indonesia telah membentuk Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

Standar ketenagakerjaan internasional dan prinsip fundamental hak-hak pekerja migran sudah dikembangkan sejak tahun 1919.  Kemudian deklarasi tahun 1988, yang intinya standar ketenagakerjaan berlaku untuk semua pekerja, termasuk pekerja migran. Perlu ada upaya mitigasi untuk berbagai perkara yang sering dilaporkan.

Seperti indikasi TPPO, kerja paksa karena ada penahanan dokumen atau pembebanan biaya berlebih, eksploitasi dan intimidasi.

Selain itu perlu upaya untuk melakukan sistem perlindungan yang lebih efektif untuk memitigasi risiko dan pengawasan. Standar ketenagakerjaan internasional ini mengikat kewajiban negara anggota ILO baik negara asal dan tujuan pekerja migran. Setidaknya untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak pekerja migran.

“Mengikatnya dalam perjanjian bilateral antar negara,” pungkasnya. []

Sumber Hukum Online

 

Advertisement
Advertisement

Leave a Reply