April 23, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Hong Kong Diambang Resesi (?) Bentrokan Aparat, Preman dan Demonstran Terus Terjadi

3 min read
foto HK01

HONG KONG – Kepala keuangan Hong Kong, Paul Chan Mo-po risau menyaksikan tanda-tanda kota semi-otonomi Cina itu akan terperosok ke dalam resesi jika demonstrasi dan tindak kekerasan, termasuk vandalisme terus berlanjut.

Aksi unjuk rasa besar-besaran di Hong Kong sudah sekitar 3 bulan lamanya. Demonstrasi yang awalnya damai, sejak akhir Juli lalu berubah menjadi anarkis bahkan pekan lalu diwarnai dengan aksi robek dan buang bendera nasional Cina ke laut.

Perekonomian Hong Kong paling menderita dari aksi unjuk rasa yang dipicu dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang ekstradisi Cina. Kota ini di ambang lumpuh.

Lebih dari 200 penerbangan membatalkan penerbangan mereka, komuter kacau, jalan-jalan macet, dan pelayanan publik terganggu akibat ribuan orang berunjuk rasa. Inilah unjuk rasa terbesar yang pernah terjadi di Hong Kong dalam beberapa dekade untuk memprotes pemerintah tentang RUU Ekstradisi.

Menurut catatan Chan, biaya atau kerugian yang timbul dari unjuk rasa ini meningkat tajam, dari awalnya berkisar 300 juta dollar Hong Kong atau setara Rp 542,5 miliar, maka sekarang mencapai 2,6 miliar dollar Hong Kong atau setara Rp 4,7 triliun.

“Perekonomian Hong Kong menghadapi situasi yang sangat sulit,” kata Chan, sebagaimana dikutip dari South China Morning Post, 5 Agustus 2019.

Situasi Hong Kong sangat sulit karena, menurut Chan, Cina berhadapan dengan Amerika Serikat dalam perang dagang, dan bersamaan itu menghadapi tantangan dari dalam, yakni unjuk rasa besar-besaran di Hong Kong.

Hanya dalam tempo 2 bulan unjuk rasa secara besar-besaran membuat Hong Kong kacau balau. Sejumlah toko dan pedagang ritel menderita parah dan terpaksa secepatnya menutup toko mereka.

Pertumbuhan ekonomi Hong Kong pun tercatat 0.6 persen year-on-year di kuartal kedua tahun 2019. Namun pada perbandingan kuartal ke kuartal yang disesuaikan, GDP Hong Kong sebenarnya telah menurun sebesar 0,3 persen.

“Dalam kata lain, perekonomian Hong Kong kehilangan momentumnya. Hal itu secara teknis akan jatuh ke dalam resesi ekonomi jika pertumbuhan negatif berlanjut dalam kuartal ketiga,” ujar Chan.

Atas data-data perekonomian itu, Chan mendesak warga Hong Kong untuk mempertimbangkan dampak dari unjuk rasa mereka.

“Saya berharap masyarakat akan berpikir dua kali atas aksi yang mereka lakukan,” kata Chan.

Menurut Direktur ACE Centre for Business and Economic Research, Andy Kwan Cheuk-chiu, jika pemerintah bertekad menyelesaikan krisis politik saat ini dengan mengatasi keluhan dan tuntutan pengunjuk rasa, maka perekonomian Hong Kong dengan mudah pulih.

“Kelambanan pemerintah telah memperburuk krisis kepercayaan investor yang boleh jadi mulai memindahkan investasi mereka ke tempat lain. Ini akan menjadi pukulan bagi Hong Kong sebagai pusat keuangan internasional,” kata Andy.

Suara lebih keras disuarakan Iris Pang, ahli ekonomi ING Greater kepada para pengunjuk rasa bahwa demonstrasi mereka telah berdampak pada sektor penjualan ritel, sehingga mereka menderita akibat krisis ini.

Pang meminta para demonstran mempertimbangkan konsekwensi ekonomi sebelum mengambil tindakan drastis.

Dia pun menyarankan pengunjuk rasa menjawab 2 hal ini sebelum berunjuk rasa: apakah gerakan ini berakar dari pola pikir yang benar, dan apakah unjuk rasa itu mempengaruhi mata pencarian orang.”

“Di Hong Kong, memecahkan mangkok nasi orang tidak akan dimaafkan,” kata Pang.

Pengunjuk rasa di Hong Kong belum memberikan sinyal mengakhiri aksinya. Selain itu, tantangan mereka tidak hanya ancaman resesi ekonomi, tapi juga munculnya warga Hong Kong pro Cina__ pelajar, pebisni, dan selebritas__ yang secara terang-terangan menunjukkan semangat patriotismenya setelah pengunjuk rasa merobek dan membuang bendera ke laut akhir pekan lalu. []

Advertisement
Advertisement