Imlek, Antara Kekakuan Istilah hingga Diskriminasi
ApakabarOnline.com – Babi dikenal lamban dan banyak tidur. Maka dia pun terlambat tiba ke pesta surgawi. Demikian menurut mitologi Tiongkok kuno yang kemudian menjadi pedoman menandai tarikh. Tahun ini adalah Tahun Babi, menggantikan Tahun Anjing. Hari perayaan besok, 5 Februari 2015, menjadi hari li bur nasional.
Dalam budaya Tiongkok, babi adalah simbol kemakmuran. Wajah gemuk dan telinga besar makhluk berkaki pendek itu merupakan tanda keberuntungan. Demikian menurut situs Chinese New Year.
Dalam Imlek 2019 ini persoalan masih sama. Menyangkut identitas keturunan Tionghoa di Indonesia. Sejak dua tahuh lalu lontaran panas politik diwarnai penyebutan “asing dan Aseng” — kata kedua itu menyiratkan nama panggilan di kalangan masyarakat Cina.
Asing dan Aseng
Sebentar. Tiga paragraf di atas memuat kata Tiongkok, Tionghoa, dan Cina. Masing-masing punya konteks. Tiongkok, apalagi ditambahi “kuno”, mengisyaratkan jejak sejarah.
Adapun Tionghoa terasa lebih nyaman bagi si pengucap maupun lawan bicara yang bernenekmoyangkan orang Tiongkok. Tentu disertai catatan, sebagian suku di Indonesia yang menyebut diri atau disebut “pribumi” juga punya leluhur di Tiongkok.
Sedangkan kata Cina bisa wajar namun bisa menjadi tak menyenangkan. Terutama jika dilandasi prasangka rasial. Serupa penyebutan nigger atau negro (=hitam; ingat tinta Rotring?) untuk orang Afro-Amerika atau black American. Atau juga penyebutan Indon untuk (orang) Indonesia.
Akan tetapi bagi Zannuba “Yanni Wahid” Ariffah Chafsoh lima tahun lalu, penggunaan Tionghoa, bukan Cina, tak menghapus diskriminasi (Tempo.co, 31/3/2014).
Jika kembali ke “asing dan Aseng”, salah satu politikus pengucapnya adalah Amien Rais. Ketika ramai soal reklamasi Teluk Jakarta (2017), Amien menyebut dua istilah itu. Tahun lalu dia mengulangi dua sebutan itu ketika membahas Pemilu 2019.
Bagaimana sebenarnya sikap Amien terhadap warga keturunan Tionghoa maupun Republik Rakyat Tiongkok dan mungkin Taiwan?
Pada Minggu 14 Februari 1999, dua bulan sebelum pemilu, sebagai ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN) Amien berbicara di depan para pengusaha beretnis Tionghoa Indonesia yang bermukim di Hongkong. Dia menebar janji.
Dia katakan, akan mendirikan kembali sekolah-sekolah Cina, mengizinkan penggunaan aksara Cina, dan akan menjadikan ajaran Konfusianisme sebagai agama resmi di Indonesia. Demikian menurut arsip berita Kompas — yang saat itu masih memakai kata Cina — berdasarkan laporan wartawannya dari Hongkong.
Cina, China, Tionghoa, Tiongkok…
Sudah banyak terbahas ihwal kekagokan menyebut Cina dan China, pun Chinese. Kagok karena banyak orang merasa tak bersikap rasis, namun di sisi lain memahami ketidaknyamanan warga lain yang disebut Cina.
Sebagian bahasawan merasa tak harus mengganti semua kata “cina” (“c” kecil) dalam peristilahan. Sastrawan Sapardi Djoko Damono menulis dalam majalah Tempo, 17 Februari 2014.
Menurut Sapardi, “petai cina” tak harus diubah menjadi “petai china”. “Pecinan”, nama sebuah kampung, harus diganti dengan “Pechinan”.
Tahun 2014 itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mencabut surat edaran Kabinet Ampera di bawah Soeharto pada 1967 yang menganjurkan penyebutan Cina, bukan Tionghoa maupun Tiongkok. Saat itu SBY sekaligus menerbitkan Keputusan Presiden No. 12/2014. Isinya, menetapkan penyebutan Cina (orang, suku, kebudayaan) menjadi China, dan Cina sebagai negeri disebut Tiongkok.
Sebelum SBY menerbitkan keputusan, dalam masyarakat dan media penyiaran sudah kerap terdengar penyebutan “cai-na” untuk China. Banyak media juga menuliskan China, baik untuk orang dan suku maupun negeri.
Salah satu penyebab adalah upaya diplomatik RRC kepada Republik Indonesia, termasuk terhadap media oleh Kedutaan Besar RRC, yang mengimbau penggunaan China dan Tiongkok. Bukan Cina.
Diskriminasi masih ada
Penyebutan sudah diupayakan berganti. Sebisa mungkin tak ada sebutan Cina. Akan tetapi masih muncul keluhan adanya diskriminasi dan lontaran rasial terhadap Tionghoa.
Tentu tak setiap orang punya daya tahan liat seperti komedian Ernest Prakasa. Dia bilang, “Diskriminasi yang biasa dialami etnis Tionghoa itu ya kejadian.” Juga, “Di-bully, dioloki China, dipalakin. Waktu di sekolah dulu, ya sama pribumi.” (h/t CNN Indonesia)
Kasus Ernest, dan orang lain yang senasib, mungkin subjektif. Lingkupnya individual. Tetapi bagaimana dengan larangan memiliki hak atas atas? Di Daerah Istimewa Yogyakarta, instruksi wakil gubernur pada 1975 itu masih berlaku. Warga keturunan non-pribumi (tak spesifik Tionghoa) hanya dapat beroleh hak guna bangunan, bukan hak milik.
Setiap kali dipersoakan melalui pengadilan, setiap kali pula penggugat kalah.
Tidak hitam-putih
Akan tetapi persoalan Tionghoa memang kompleks. Tidak bisa hitam putih. Terbukti baju koko dan bakso serta bakmi bakmi dan soto banyak yang suka. Itu semua bermula dari kaum Tionghoa.
Jika pun sentimen negatif terhadap kecinaan merata, mengapa cerita silat Cina, dan juga film silat Cina, digemari? Bahkan pada awal 2000, ketika televisi menyiarkan serial dari Taiwan, Meteor Garden, peggemarnya pun meluas. Aneka produk seputar itu, sejak kertas surat sampai ransel anak, juga laku. Penggemarnya tak dibedakan oleh ras.
Begitu pun penggemar Bruce Lee dan Jackie Chen. Dari aneka latar.
Ensklopedia Sastra Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengakui peran cerita silat Cina dalam memperkaya gejala sastra Indonesia.
Dan jauh hari sebelum khalayak mengakrabi Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo (1926-1994; dia juga menulis cerita silat Jawa), nama Chin Yung (1924-2018) dari Hongkong, sang pengarang Pendekar Pemanah Rajawali, sudah bergema di Indonesia. Terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia pun ada. Misalnya Sia Tiauw Eng Hiong. Ada pula versi cetak ulang dari tahun 1960.[Anto]