IQ Pas Pasan Bukan Takdir, Kecerdasan Bisa Ditingkatkan

JAKARTA – Selama bertahun-tahun, kita diajari percaya bahwa kecerdasan atau intelligence quotient (IQ) adalah sesuatu yang diwariskan — seperti warna mata atau bentuk wajah. Tes IQ dibuat untuk mengukurnya, grafiknya dibuat untuk membandingkan, dan kita pun terbiasa menerima hasilnya seolah nasib intelektual telah ditentukan sejak lahir.
Namun, riset terbaru yang dilakukan Jared C. Horvath dan Katie Fabricant menunjukkan kemungkinan lain. Lewat rancangan penelitian yang langka—kembar identik yang tumbuh di lingkungan berbeda—, dua peneliti itu menemukan bahwa pendidikan dan pola asuh ternyata bisa mendongkrak IQ seseorang.
“Kembar dengan edukasi yang serupa, punya perbedaan hingga 6 poin IQ. Kembar dengan pendidikan yang berbeda secara signifikan punya perbedaan hingga poin IQ,” tulis Hovart dan Fabricant dalam laporan riset yang dipublikasikan di Jurnal Acta Psychologica, belum lama ini.
Dalam penelitiannya, Hovart dan Fabricant mengolah data 87 pasangan kembar yang diasuh oleh orang tua yang berbeda. Untuk keperluan analisis, para peneliti membagi pasangan-pasangan tersebut ke dalam tiga kelompok, yakni mereka yang memiliki latar pendidikan serupa, agak berbeda, dan sangat berbeda.
“Hasil analisis menunjukkan bahwa perbedaan tingkat pendidikan memiliki dampak signifikan, bukan hanya pada selisih rata-rata IQ antar pasangan (masing-masing 5,8 poin, 12,1 poin, dan 15,1 poin), tetapi juga pada koefisien korelasi intrakelas (ICC),” jelas keduanya.
ICC adalah ukuran kesamaan antar pasangan kembar. Angka itu turun seiring meningkatnya perbedaan pendidikan, yakni 0,87, 0,80, dan 0,56. “Temuan ini menimbulkan pertanyaan penting terkait penggunaan historis ICC sebagai ukuran pengaruh genetik terhadap IQ dan berbagai sifat psikologis lainnya,” kata Hovard dan Fabricant.
Pasangan kembar identik atau monozigot dipilih karena mereka berbagi hampir 100 persen materi genetik yang sama. Adapun kembar dizigot (DZ) atau tak identik hanya berbagi sekitar 50 persen gen yang sama. Dengan begitu, susunan genetik bisa dikesampingkan sebagai faktor pemengaruh hasil riset.
Mengomentari hasil riset Horvath dan Fabricant, pakar psikologi organisasi di Universitas Harvard, Alexander Puutio mengatakan riset keduanya membawa bukti yang lebih tajam bahwa pendidikan bisa mendongkrak IQ seseorang.
“Para psikolog sudah lama tahu bahwa meski ‘perangkat keras’ otak sulit diubah, ‘perangkat lunak’-nya masih bisa dikembangkan,” tulis Puutio seperti dikutip dari Psychology Today, Selasa (14/10).
Di dunia psikologi, dikenal istilah IQ efektif — kemampuan memanfaatkan kecerdasan bawaan. Menurut Puutio, IQ efektif dapat meningkat lewat beragam hal. “Motivasi, metakognisi, hingga hal sepele seperti pakaian yang membuat seseorang merasa lebih percaya diri,” jelas dia.
Menurut Puutio, pandangan bahwa IQ bersifat genetik punya sejarah panjang. Pada awal abad ke-20, John B. Watson mengibarkan panji behaviorisme dan percaya manusia bisa dibentuk oleh lingkungan. Dunia psikologi terus berdebat tentang seberapa besar “porsi alam” dan “porsi asuhan.”
Memasuki dekade 1970–1980-an, arah berbalik. Studi monumental seperti Minnesota Study of Twins Reared Apart yang dipimpin Thomas Bouchard menunjukkan korelasi IQ antar-kembar identik mencapai 0,75 — hampir setara dengan hereditas tinggi badan.
Peneliti lain, Robert Plomin, memperkuat temuan itu lewat studi genetika berskala besar. Ia menyebut kecerdasan sebagai sifat poligenik yang stabil seumur hidup, dan bahkan bisa makin dipengaruhi gen seiring usia — teori yang disebutnya genetic amplification hypothesis.
“Dari situ lahir anggapan baru: sekolah bukan pemahat, melainkan penyaring. Bahwa pendidikan sekadar menyingkap potensi yang sudah ada, bukan menciptakan kemampuan baru,” jelas Puutio.
Seperti pohon
Namun, penelitian lainnya menemukan bahwa orang dewasa yang belajar bermain juggling mengalami peningkatan volume materi abu-abu di area visual dan motorik otak. Hal serupa ditemukan pada musisi dan orang dwibahasa: latihan mental yang berulang membentuk struktur otak baru.
Horvath dan Fabricant, kata Puutio, kini memperluas temuan itu. Jika otak bisa membentuk jalur baru karena musik dan bahasa, mengapa tidak karena pendidikan? Artinya, manusia punya kendali—hingga batas tertentu—untuk meningkatkan kecerdasan mereka.
“Kecerdasan, dengan kata lain, bukan garis lurus yang berhenti di ujung gen. Ia lebih mirip pohon yang terus tumbuh, selama diberi tanah, cahaya, dan waktu… Otak, seperti pikiran, akan terus berubah — selama kita mau mengajarinya,” kata Puutio. []