Jalan Masih Panjang Setelah Ramadhan
ApakabarOnline.com – Masih terbayang dalam benak dan ingatan, saat buka puasa terakhir di penghujung Ramadhan 1442 berlanjut dengan gema Takbir, Tahlil dan Tahmid gempita terdengar.
Dari segala penjuru orang mengumandangkan “Allahu Akbar”. Hari kemenangan, itulah ungkapan orang akan hari lebaran. Kemenangan dari perjuangan melawan hawa nafsu selama sebulan, berhasil menunaikan ibadah puasa selama sebulan penuh.
Esoknya, setelah menunaikan sholat Idul Fitri beramai-ramai di lapangan dan Masjid kita pun bersalam-salaman, baik secara fisik maupun secara virtual, sambil mengucapkan “minal aidin wal faizin” walaupun banyak yang salah mengartikannya.
Mereka menganggap bahasa arab itu artinya “mohon ma’af lahir dan batin”. Ungkapan itu sebenarnya adalah ucapan selamat pada orang lain, bukan ucapan permintaan maaf.
Arti “minal aidin wal faizin” yang sebenarnya adalah, semoga anda termasuk para pemenang dan dapat merayakan hari lebaran”.
Hari kebahagiaan telah tiba, yaitu hari raya iedul fitri. Memang pantas itu disebutkan hari kebahagiaan bagi orang yang berpuasa. Karena, itulah janji Rasulullah bagi mereka, beliau bersabda: “Bagi orang berpuasa akan mendapatkan dua kegembiraan, gembira ketika mereka berbuka puasa, dan gembira saat mereka bertemu dengan Allah Ta’ala kelak” (HR. Bukhari).
Ketika berbuka puasa kita diperintahkan makan dan minum, tidak boleh terus melanjutkan puasa sampai subuh. Begitu juga pada hari Iedul fitri diwajibkan makan minum, maksudnya adalah diharamkan berpuasa di hari bahagia tersebut.
Akan tetapi, perjalanan dan perjuangan hidup kita masih berlanjut. Kemenangan yang kedua, yaitu saat berjumpa dengan Allah Ta’ala masih suatu rahasia. Kita belum tahu apa yang akan dialami semasa hidup kita sebelum ajal menjemput nyawa. Kemenangan di hari hari akhir puasa ini bukanlah final. Ini hanyalah ibarat ujian harian atau ujian semesteran. Masih ada ujian besar yang menanti di depan, hari yang membuktikan menang atau kalah. Yaitu, hari kematian.
Ibadah kita belum selesai dengan berakhirnya Ramadhan. Karena, Ramadhan hanyalah waktu, ia akan datang dan pergi menghampiri kita. Kitalah orang yang berperan di dalamnya. Bukan Ramadahan yang dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Ta’ala, akan tetapi, kitalah yang dimintai perhitungan dari seluruh amalan kita.
Allah Ta’ala memerintahkan Rasulnya:
Maknanya: “Beribadahlah kepada Allah sampai datang ajal yang pasti akan datang menjemputmu” (QS. Al Hijr: 99)
Masih banyak kewajiban yang harus ditunaikan selama hidup ini. Dan banyak pantangan yang harus dihindari agar pahala yang telah kita simpan sebagai bekal tidak hancur dimusnahkan dosa.
Sungguh amat rugi lah orang yang membawa pahalanya di hadapan Allah Ta’ala pada hari kiamat, akan tetapi semua pahala itu hancur menjadi debu yang diterbangkan angin. Merekalah yang mencampuri ibadahnya dengan perbuatan kesyirikan, menyekutukan Allah Ta’ala dalam ibadahnya.
Juga, amat rugilah, orang yang memikul pahala shalat, puasa, sedekah dan lain-lain, namun dihadapan Allah Ta’ala pahala tersebut malah dihadiahkan kepada orang lain sampai habis. Merekalah orang yang suka menzolimi orang lain selama di dunia, menyakiti orang lain dengan ucapannya, sikap dan perbuatannya.
Jadi, apa guna kemenangan puasa saat itu, jika “piala” kemenangan itu tidak sanggup kita jaga keawetannya sampai hari kematian menjelang. Inilah tugas kita yang masih tersisa, yaitu tugas menjaga amalan tetap berharga di hadapan Allah Ta’ala kelak di hari Kiamat. Agar kita dapat memperoleh surga dan dihindarkan dari neraka.
Itulah kemenangan hakiki, yang disebutkan Allah Ta’ala,
Maknanya: “Setiap jiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”. (QS. Ali Imran: 185). Semoga bermanfaat. []