Jangan Disepelekan, Burnout Bisa Berdampak Serius Pada Kesehatan Mental

KAJARTA – Pernahkah Anda merasa lelah terus-menerus meski sudah tidur cukup atau menikmati hal-hal yang dulu membuat bahagia? Bisa jadi itu bukan sekadar lelah biasa, melainkan burnout.
Kondisi ini semakin sering dialami banyak orang, terutama mereka yang harus membagi waktu antara pekerjaan, keluarga, dan tuntutan sosial.
Meski terdengar sepele, burnout bisa berdampak serius pada kesehatan mental jika tidak segera ditangani. Inilah saat yang tepat untuk mengenali gejala dan mencari cara menghadapinya.
Melansir laman Health University of Utah, istilah burnout pertama kali didefinisikan oleh Merriam-Webster sebagai kondisi kelelahan fisik dan emosional atau hilangnya motivasi yang umumnya disebabkan oleh stres berkepanjangan maupun rasa frustrasi yang terus-menerus. Pada 2019, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan telah memasukkan burnout dalam International Classification of Diseases sebagai isu kesehatan global yang perlu ditangani serius.
Kondisi ini sangat umum terjadi pada mereka yang bekerja di sektor profesi penolong seperti tenaga kesehatan atau guru. Menurut Tina Halliday, LCSW, Manajer Ilmu Perilaku di Huntsman Mental Health Institute, kelelahan jenis ini sering disebut sebagai compassion fatigue, artinya kelelahan karena empati yang terus-menerus diberikan kepada orang lain. Dalam beberapa tahun terakhir, compassion fatigue bahkan disebut telah menjadi pandemi tersendiri.
Gejala burnout bisa sangat beragam mulai dari kelelahan mental dan emosional, berkurangnya kemampuan untuk berempati, mudah marah, hingga kehilangan semangat dalam menjalani aktivitas sehari-hari atau pekerjaan. Beberapa orang juga akan mengalami peningkatan kecemasan, gangguan tidur, sinisme, sarkasme berlebihan, hingga kecenderungan untuk menggunakan alkohol atau obat-obatan sebagai pelarian.
Ciri lainnya termasuk sulit memisahkan kehidupan kerja dan pribadi, merasa kewalahan karena ekspektasi diri yang terlalu tinggi, serta enggan mengambil waktu istirahat.
Cara Mengatasi Burnout dan Compassion Fatigue
Tina Halliday menyarankan, cara terbaik untuk mengatasi burnout adalah dengan memiliki sistem dukungan yang kuat, baik di lingkungan pribadi maupun profesional. Seseorang perlu menerapkan kebiasaan sehat seperti olahraga rutin, relaksasi, tidur yang cukup, dan asupan gizi seimbang.
Selain itu, penting untuk memberi perhatian pada diri sendiri misalnya dengan menyempatkan waktu bersama orang-orang terdekat, membatasi aktivitas kerja agar tidak mendominasi seluruh hidup, bersabar dengan proses diri, melakukan refleksi, menikmati alam, tertawa lebih sering, dan mempraktikkan rasa syukur dalam kehidupan sehari-hari.
Burnout yang tidak ditangani bisa menimbulkan konsekuensi serius seperti peningkatan sakit, penurunan produktivitas, hingga gangguan kesehatan mental, emosional, fisik, dan spiritual. Menurut Halliday, burnout bisa membuat seseorang kehilangan keseimbangan hidup dan semangat terhadap pekerjaannya.
Hal yang sering terjadi adalah seseorang justru bekerja semakin keras untuk mengatasi rasa tidak berdaya tersebut, padahal hal itu justru memperparah kelelahan dan mendorong munculnya depresi. Memang dalam kenyataannya, memisahkam urusan kerja dan kehidupan pribadi memang tidak mudah.
Namun jika memungkinkan, cobalah untuk menyudahi pekerjaan di tempat kerja dan tidak membawanya ke rumah. Menjaga keseimbangan antara kerja dan hidup pribadi adalah salah satu cara paling efektif untuk mencegah burnout.
Meskipun rasanya berat dan melelahkan, sebenarnya burnout bukanlah kondisi permanen. Menghabiskan waktu bersama keluarga, dan orang terdekat untuk sekadar berbincang bisa menjadi pengingat bahwa hidup tak melulu tentang tuntutan dan tekanan.
Rasa lelah, kehilangan semangat, atau berkurangnya minat terhadap hal-hal yang dulu menyenangkan bukanlah akhir dari segalanya. Yang terpenting adalah menyadari bahwa bantuan selalu tersedia dan Anda tidak sendirian dalam menghadapi masa-masa sulit ini. []