Jarang Disadari banyak Orang, Begini Tiga Red Flag Dalam Pertemanan

JAKARTA – Bersosialisasi dan memiliki lingkaran pertemanan yang sehat bisa memperkaya kualitas hidup secara mendalam. Persahabatan yang tepat mampu mengangkat suasana hati, memberi dukungan di saat genting, hingga memperkuat rasa aman dalam diri.
Namun, tak semua persahabatan memberi pengaruh serupa. Ada pula relasi yang membuat kita justru merasa timpang. Kita merasa lebih banyak memberi ketimbang menerima. Alih-alih pulang dengan perasaan terisi, kita keluar dari tempat “nongkrong” dengan hati yang kosong.
Dan ketika kebutuhan pribadi terus ditekan demi menjaga harmoni, sejatinya kita sedang mengorbankan diri sendiri atas nama persahabatan. Sebagaimana kita belajar mengenali tanda bahaya dalam hubungan romantis, penting juga mengidentifikasi “red flags” dalam pertemanan.
“Sebab, orang-orang terdekat berperan besar membentuk rasa aman maupun harga diri kita—entah kita sadari atau tidak,” ujar psikolog dari Cornell University Mark Travers, seperti dikutip dari Psychology Today, Ahad (5/10).
Red flag adalah istilah populer yang berarti tanda bahaya atau peringatan dini tentang suatu situasi, perilaku, atau kondisi yang berpotensi negatif atau membahayakan. Dalam konteks hubungan, red flag adalah sikap atau kebiasaan pasangan yang menandakan ketidaksehatan, seperti perilaku mengontrol, manipulatif, tidak percaya, atau kekerasan.
Dalam hubungan persahabatan, menurut Travers, kita harus tahu kapan relasi dengan sahabat kita menyehatkan dan kapan kita harus “menghindar”. Travers menyinggung setidaknya ada tiga red flag yang harus diperhatikan dalam relasi pertemanan.
Hanya mencari saat membutuhkan
Dalam hidup, wajar bila kita saling bergantung di saat sulit. Menopang satu sama lain adalah bagian alami dari persahabatan. Tetapi bila seorang teman hanya muncul saat butuh bantuan—entah berupa tenaga, materi, atau dukungan emosional—sementara jarang sekali hadir di luar itu, relasi bisa terasa sepihak.
“Lama-lama, kamu bisa merasa lebih mirip “tali penyelamat” ketimbang sahabat. Timbul pertanyaan: apakah mereka benar-benar menghargai dirimu, atau sekadar apa yang bisa kamu berikan?” ujar Travers.
Sebagai gambaran, Travers mengutip sebuah penelitian pada 2019 yang terbit di Journal of Research on Adolescence. Riset itu menelaah lebih dari 950 remaja di 41 kelas, melacak jaringan pertemanan sekaligus pola saling membantu.
Hasilnya menunjukkan, pertolongan timbal balik menjadi fondasi kuat bagi persahabatan jangka panjang. Sebaliknya, bantuan sepihak lebih rapuh dan terasa transaksional.
“Temuan ini juga mengungkap bahwa memberi bantuan bisa terjadi di luar ikatan persahabatan. Artinya, sekadar dimintai tolong bukanlah indikator kedekatan emosional,” jelas dia.
Menumpahkan emosi, tapi jarang bertanya balik
Mungkin kamu sering jadi tempat curhat: mendengar cerita duka, menenangkan krisis, menjadi pendengar setia. Di awal, ini bisa terasa sebagai tanda kedekatan. Namun, bila pola ini terus berulang tanpa keseimbangan, yang muncul adalah kelelahan emosional.
“Terutama bila percakapan intens itu selalu terjadi atas kendali mereka, tanpa persetujuanmu, dan berakhir meninggalkan rasa lelah,” jelas Travers.
Untuk yang satu ini, sebuah penelitian di Communication Quarterly bisa menjadi penjelas. Dalam riset itu, diteliti 82 percakapan nyata antar pasangan relasi dekat—baik teman, keluarga, maupun pasangan romantis.
Para partisipan diminta mengingat situasi ketika mereka mendengarkan seseorang membagikan pengalaman sulit. Mereka kemudian melaporkan respons, durasi mendengarkan, hingga seberapa besar tanggung jawab yang mereka rasakan atas emosi orang lain.
Hasilnya? Semakin lama seseorang mendengarkan, semakin tinggi pula tingkat distress yang dialaminya. Bahkan, mereka yang lebih sering merespons dengan validasi—misalnya “aku mengerti perasaanmu”—ketimbang memberi solusi, justru mengalami beban emosional lebih besar.
“Temuan ini menegaskan bahwa dukungan emosional penting, tetapi paparan berulang terhadap curahan emosi sepihak tanpa timbal balik bisa menggerus kesejahteraan psikologis pendengar,” ujat Travers.
Semua selalu berputar pada masalah mereka
Pola lain yang lebih tak kentara: setiap kali kamu berbagi pengalaman, temanmu segera mengubah fokus pada kisahnya—bahkan seolah ingin membuktikan hidupnya lebih sulit. Hasilnya, emosimu tersisih, tidak dianggap penting.
Studi tahun 2022 yang terbit di Anxiety, Stress, and Coping menyelidiki dampak dari emotional invalidation atau pengabaian emosional. Peneliti meminta partisipan melaporkan kondisi emosinya beberapa kali dalam sehari, mencatat dengan siapa mereka berinteraksi, serta bagaimana mereka menafsirkan peristiwa yang menekan.
Temuannya mencolok: mereka yang merasa emosinya kerap diabaikan cenderung mengalami lebih banyak emosi negatif dan stres harian yang lebih intens. Invalidasi emosional juga terbukti menekan emosi positif, bahkan ketika partisipan sedang tidak berada dalam kondisi sulit.
“Pesannya jelas: merasa ditolak atau dipinggirkan secara emosional, terutama dalam hubungan dekat, bisa mengikis kesehatan emosional jangka panjang,” kata Travers.
Travers menegaskan persahabatan tak harus seimbang setiap waktu. Ada kalanya satu pihak memberi lebih banyak, lalu bergantian. Namun, ketika hubungan secara konsisten berjalan timpang—kamu selalu memberi, mereka selalu menerima—itu pertanda persahabatan tak lagi sehat.
“Yang membuat persahabatan bertahan bukanlah intensitas bantuan, melainkan timbal balik dan rasa saling menguatkan… Persahabatan sejati bukan tentang siapa yang lebih menderita, melainkan tentang bagaimana kita saling menjaga agar tetap utuh,” ujar Travers. []