Jenis Makanan yang Bisa Membuat Badanmu Bau
5 min read
JAKARTA – Setiap orang membawa aroma khasnya sendiri, seunik sidik jari. Gen dan hormon jadi faktor dominan pembentuk aroma. Namun, kepribadian juga turut berpengaruh, entah kita ekstrovert, dominan, atau mudah cemas. Semuanya ikut “menulis” komposisi wangi yang memancar dari kulit kita.
“Bau tubuh dibentuk oleh gen, hormon, kesehatan, dan kebersihan. Entah kita laki-laki atau perempuan, muda atau tua,” kata Craig Roberts, profesor psikologi sosial di University of Stirling, Skotlandia, seperti dikutip dari BBC Future, Senin (3/11).
Sebagian besar dari faktor itu memang di luar kendali kita. Tetapi, tidak semuanya. Salah satu pengaruh paling besar, yang bisa kita pilih setiap hari, justru datang dari makanan.
Apa yang kita makan bukan hanya menentukan aroma tubuh, tapi juga cara orang lain memersepsikannya—termasuk seberapa menarik kita di mata (dan hidung) mereka.
Di level biologis, makanan memengaruhi aroma tubuh lewat dua jalur utama: perut dan kulit. Dua ruang yang diam-diam menyimpan rahasia tentang siapa kita—dan apa yang baru saja kita makan.
Pertama, soal perut. Begitu makanan masuk, bakteri di usus mulai bekerja, memecah zat-zat kimia yang ada di dalamnya. “Dari proses itulah lahir molekul-molekul gas yang mudah menguap,” kata Lina Begdache, asisten profesor studi kesehatan dan kebugaran di State University of New York, Binghamton.
Molekul-molekul itu kemudian keluar dari tubuh lewat jalur yang sama seperti saat makanan masuk—dalam bentuk napas. Inilah sebabnya mengapa bau mulut (atau halitosis) sering kali tak bisa dilepaskan dari apa yang kita konsumsi. Data menunjukkan, sepertiga populasi orang dewasa di dunia mengalami bentuk halitosis tertentu.
Napas adalah bukti paling nyata bagaimana makanan meninggalkan jejak di tubuh. Namun, jejak itu juga muncul di tempat lain—di keringat yang menetes di bawah sinar matahari, di bau yang menempel pada pakaian setelah seharian bekerja.
Keringat, pada dasarnya, tidak berbau. Yang membuatnya “hidup” adalah koloni bakteri di kulit yang berpesta pora pada tetesan itu, memecah komponen kimia di dalamnya menjadi aroma yang khas.
Setiap makanan punya senyawa yang bekerja pada tahap berbeda, tapi sumber paling klasik dari “bau menyengat” hampir selalu kembali pada satu biang keladi: senyawa sulfur.
Anehnya, penelitian justru menemukan bahwa senyawa berbau tajam ini tak selalu memberi kesan buruk. Beberapa studi menunjukkan, dalam dosis tertentu, zat-zat yang membuat tubuh “beraroma kuat” bisa meningkatkan daya tarik kita.
Buah dan sayuran
Brokoli, kol, kembang kol, dan kecambah Brussels—sayuran yang dikenal menyehatkan—ternyata juga penyumbang utama aroma “tajam” pada tubuh. Keempatnya kaya senyawa sulfur yang, saat bertemu bakteri di kulit, bisa membuat keringat berbau seperti telur busuk.
Begitu pula dengan anggota keluarga allium seperti bawang putih dan bawang bombai. Saat dicerna, keduanya melepaskan senyawa seperti diallyl disulfide dan allyl methyl sulphide—zat-zat yang membuat napas dan keringat sama-sama beraroma menusuk.
Efeknya dari makan berbagai jenis bawang datang bergelombang: bau pertama muncul tak lama setelah makan, lalu mencapai puncaknya sekitar 30 menit kemudian.
Asparagus juga serupa. Tanaman ini mengandung asparagusic acid yang setelah dicerna menghasilkan senyawa sulfur seperti methanethiol dan dimethyl sulphide. Zat-zat ini sangat mudah menguap dan memberi bau khas pada keringat dan urin—bau yang bisa bertahan hingga lima jam setelah makan.
Meski begitu, secara umum, buah dan sayuran memberi hasil yang lebih ramah hidung. Sebuah studi di Australia tahun 2017 menunjukkan, pria yang banyak mengonsumsi buah dan sayuran memiliki aroma tubuh yang dinilai lebih menyenangkan—lebih manis, lebih floral, lebih segar.
Kulit mereka pun cenderung lebih kekuningan karena kaya karotenoid—zat alami dari wortel, labu, tomat, pepaya, dan sayuran oranye lainnya—yang ternyata juga dianggap menarik secara visual.
“Kita adalah mamalia” kata Roberts. “Dan seperti mamalia lain, bau hampir pasti memainkan peran penting dalam interaksi sosial.”
Daging dan ikan
Daging dan ikan punya aroma yang khas, tak hanya di piring, tapi juga di tubuh. Saat protein hewani dicerna, tubuh memecahnya menjadi asam amino dan lemak, lalu menyalurkannya melalui aliran darah hingga keluar lewat pori-pori. Di sanalah mereka bertemu dengan bakteri kulit, menciptakan jejak aroma yang kadang samar, kadang menyengat.
Ikan dan kacang-kacangan, misalnya, mengandung senyawa trimetilamina—zat beraroma tajam yang menjadi sumber bau khas “amis.” Pada sebagian orang, senyawa ini tak bisa diurai dengan sempurna.
Tubuh mereka tak mampu mengubah trimetilamina menjadi bentuk yang tidak berbau, menyebabkan kondisi medis langka bernama trimethylaminuria, atau lebih dikenal sebagai “fish odour syndrome.”
“Bagi mereka yang mengalaminya, tubuh bisa mengeluarkan bau sangat kuat,” kata terapis nutrisi Kerry Beeson,
Kondisi ini memang jarang, tapi nyata. Dalam laporan medis tahun 2025, misalnya, seorang bayi berusia 10 bulan mulai berbau seperti ikan busuk setelah memakan ikan todak. Untungnya, kondisi itu bersifat sementara—setelah dietnya diatur, gejala perlahan menghilang, dan sang bayi bisa kembali menikmati ikan tanpa masalah.
Namun, bahkan tanpa sindrom langka, makanan hewani tetap punya peran besar dalam aroma tubuh kita. Sebuah penelitian klasik tahun 2006 dari tim Jan Havlícek di Charles University mencoba menjawab pertanyaan sederhana tapi sensitif: apakah daging membuat seseorang lebih menarik?
Tiga puluh pria diminta menjalani dua jenis diet selama dua minggu—satu tanpa daging, satu dengan konsumsi daging. Setelah itu, aroma tubuh mereka dikumpulkan dan dinilai oleh sekelompok perempuan berdasarkan empat kategori: kemenarikan, keharuman, maskulinitas, dan intensitas.
Hasilnya? Para pria yang tidak makan daging mendapat nilai lebih tinggi hampir di semua aspek. Aroma mereka dinilai lebih menyenangkan, lebih lembut, lebih alami. “Yang mengejutkan, mereka yang makan daging justru tercium sedikit lebih buruk,” kata Havlicek.
Ia semula mengira daging—yang selama ribuan tahun menjadi bagian penting dari evolusi manusia—akan memberi sinyal biologis positif. Tapi, rupanya masyarakat modern yang makan daging setiap hari menciptakan pola baru yang tak lagi sejalan dengan biologi purba manusia.
“Dalam sejarah evolusi kita, makan daging setiap hari adalah hal yang tidak umum,” kata Havlícek. “Itu kebiasaan yang baru muncul di era industri.”
Alkohol dan kopi
Bau tubuh yang lahir dari makanan terkadang masih bisa disamarkan dengan parfum. Tapi aroma yang muncul setelah segelas alkohol atau secangkir kopi sering kali lebih jujur dari itu—lebih langsung, dan sulit ditutupi.
Alkohol, terutama bila diminum dalam jumlah besar dan rutin, bisa meninggalkan jejak yang khas: bau basi yang sulit hilang. Begitu masuk ke tubuh, alkohol dipecah di dalam hati menjadi asetaldehida, senyawa beracun dan mudah menguap yang memberi aroma “sisa pesta” pada napas seseorang.
Selain meninggalkan senyawa volatil, alkohol juga menyebabkan dehidrasi dan menurunkan produksi air liur. Mulut pun menjadi tempat ideal bagi bakteri untuk berkembang, memperpanjang usia bau napas yang tidak sedap.
Kafein dari kopi dan teh juga ikut bermain di medan bau tubuh. Senyawa pada ketiganya menstimulasi kelenjar apokrin—kelenjar yang bertanggung jawab atas produksi keringat di area seperti ketiak dan selangkangan.
Keringat yang keluar akibat kafein menciptakan lingkungan hangat dan lembap, kondisi ideal bagi bakteri kulit untuk tumbuh, memperkuat aroma tubuh seseorang.
Penelitian bahkan menemukan molekul kafein bisa ikut terbawa hingga ke keringat, meski belum ada bukti jelas apakah zat itu sendiri memengaruhi bau tubuh.
Yang pasti, pada level sosial, kopi sering kali menjadi paradoks: ia mempertemukan orang lewat aromanya yang menenangkan, sambil diam-diam menanamkan aroma baru di tubuh mereka yang meminumnya.
Namun, seperti halnya daya tarik fisik, aroma hanyalah satu dari banyak isyarat halus yang membentuk persepsi kita terhadap orang lain. Dalam konteks sosial modern, sulit—bahkan mungkin mustahil—memisahkan pengaruh bau dari hal-hal lain: ekspresi wajah, bahasa tubuh, nada bicara, atau cara seseorang menatap.
“Tubuh menghasilkan banyak sekali senyawa aromatik,” kata Havlícek. “Dan kebanyakan dari mereka belum kita pahami pengaruhnya terhadap bau tubuh.” []
