December 22, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Jika Tidak Mendapat BPJS PBI, Orang Miskin “Dilarang Sakit”

6 min read

JAKARTA – Beberapa bulan lalu, Yayu, warga Dusun Sekaran, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah yang mengidap penyakit gula darah, harus meninggal dunia karena terlambat mendapatkan penanganan kesehatan. Perempuan yang wafat di usia 62 tahun itu, tak bisa dibawa ke rumah sakit karena BPJS Kesehatan miliknya macet.

Yayu tak sanggup membayar iuran BPJS Kesehatan. Ia tergolong keluarga tak mampu, namanya terdaftar dalam data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS). Maka, seharusnya ia mendapatkan hak BPJS Kesehatan Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan, yang iurannya dibayar negara.

PBI Jaminan Kesehatan adalah salah satu program bantuan sosial (bansos) dari pemerintah. Merujuk Peraturan Menteri Sosial Nomor 21 Tahun 2019 tentang Persyaratan dan Tata Cara Perubahan Data PBI Jaminan Kesehatan, penerimanya adalah fakir miskin dan orang tidak mampu sebagai peserta program jaminan kesehatan.

Anggota Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Jawa Tengah, Bismo, yang kala itu membantu upaya pengobatan Yayu, mengatakan ia mengurus administrasi agar Yayu mendapat pengobatan. Usaha Bismo sesungguhnya berhasil. Pemkab Magelang mau membiayai pengobatan Yayu maksimal Rp10 juta.

“Kemudian, saya minta segera dibawa ke rumah sakit. Kelengkapan administrasi menyusul, itu masih bisa. Tapi, ternyata sore, kira-kira jam enam atau setengah tujuh, (Yayu) meninggal,” kata Bismo, Jumat 0(7/10/2022).

 

 

Persoalan nonaktif kepesertaan

Bismo mengungkapkan, orang-orang seperti Yayu banyak ditemukan di lapangan—terdaftar dalam DTKS, tetapi tak punya BPJS Kesehatan PBI. Ia menduga, hal itu muncul karena persoalan data pemerintah yang “kacau”.

“(Seperti) data yang tidak valid, yang tidak (bersumber) dari keluarga per keluarga melalui rapat RT, RW, kemudian diusulkan,” ucapnya.

Syarat peserta PBI Jaminan Kesehatan yang disebut dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Sosial Nomor 21 Tahun 2019, selain terdaftar dalam DTKS adalah warga negara Indonesia dan punya nomor induk kependudukan (NIK) yang terdaftar di direktorat jenderal bidang kependudukan dan catatan sipil.

Bismo menilai, ada mekanisme yang tak jalan terkait pendataan DTKS. Seharusnya, kata Bismo, perangkat kelurahan atau desa inisiatif mendaftarkan warganya yang masuk DTKS menjadi peserta PBI Jaminan Kesehatan. Sosialisasi hak dan kewajiban ke warga juga absen.

“Makanya masyarakat enggak ngerti,” katanya.

Celakanya, dari temuan Bismo, perangkat desa di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah ada pula yang tak paham. “Kepala desa atau sekretaris desa, banyak yang enggak ngerti,” ucapnya.

Masalah lain yang tak kalah serius adalah penonaktifan sepihak peserta PBI Jaminan Kesehatan. “Mereka (peserta) tahunya BPJS (PBI) itu masih aktif. Kemudian, mau menggunakan, ternyata sudah dinonaktifkan,” ujar Bismo.

Sudarmo, 42 tahun, adalah contoh warga yang tak bisa berobat karena tiba-tiba BPJS Kesehatan PBI-nya sudah tidak aktif. Ia baru mengetahuinya ketika ke puskesmas untuk berobat, akhir September 2022.

“Saya juga kaget, kok sudah dinonaktifkan. Keadaan pas lagi enggak enak badan,” ucap Sudarmo, yang berprofesi sebagai kuli proyek itu, Jumat (07/10/2022).

Pihak puskesmas lalu menyarankan Sudarmo mengajukan pengaktifan kembali dengan iuran dari APBD. Ia diminta mengurusnya ke dinas sosial. Namun, kondisinya yang sedang sakit dan keadaan ekonomi tak menentu, membuat Sudarmo mengurungkan saran itu.

Jika iuran dialihkan ke APBD, Sudarmo juga keberatan. Sebab, dari informasi yang diketahuinya, fasilitas kesehatan yang diakses hanya di daerah itu saja. Sementara sebagai kuli proyek, lokasi bekerjanya tak menentu.

“Yang namanya kerja di proyek kan kita pindah-pindah. Kadang di Jakarta, kadang di Tangerang. Kita enggak bisa menentukan,” tutur warga Pondok Jati, Tangerang Selatan itu.

Menurutnya, hanya dirinya yang diketahui kepesertaan PBI Jaminan Kesehatan sudah tak aktif. Ia belum tahu soal kepesertaan istri dan empat orang anaknya.

“Saya takut juga mereka dinonaktifkan, kita kan enggak tahu,” ucapnya.

Selain Sudarmo, menurut Jahrudin, penonaktifan BPJS Kesehatan PBI juga dialami warga di Kecamatan Kemiri, Kabupaten Tangerang, Banten. Buruh harian lepas itu mengatakan, hal tersebut diketahui pada 2021. Jahrudin pernah menanyakan masalah itu ke dinas sosial setempat.

“Ternyata benar. Satu kecamatan itu ada sekitar 7.000-an yang tidak aktif waktu saya konfirmasi di tahun 2021,” ujar Jahrudin, Jumat (07/10/2022).

Pihak dinas sosial beralasan, penonaktifan dilakukan karena ada pengurangan anggaran. Sedangkan ketika menanyakan ke pihak puskesmas, alasannya BPJS Kesehatan PBI jarang atau tak dipakai sama sekali untuk berobat. Lalu, Jahrudin kembali mendatangi dinas sosial. Pihak dinas sosial mengatakan, penonaktifan karena ada pembaruan data administrasi kependudukan.

“(Alasannya) banyak warga yang sudah meninggal, tapi tidak terdata dan masih dibayarkan (iurannya) oleh pemerintah,” ucapnya.

Selama penonaktifan, lanjut Jahrudin, warga mengalami kesulitan mengakses layanan kesehatan. Kalau ada warga peserta BPJS Kesehatan PBI yang sakit, biasanya menggunakan skema jaminan kesehatan daerah (jamkesda).

Bagi Jahrudin, birokrasi mengakses layanan kesehatan lewat jamkesda terlalu rumit. Diawali mengurus surat keterangan tidak mampu di kantor desa, kemudian menghadap camat untuk minta stempel.

“Habis itu kita merujuk ke puskesmas, minta surat verifikasi. Dari puskesmas juga meminta difoto rumahnya. Setelah itu baru kita bawa ke dinsos,” tuturnya.

Belum lagi ada tekanan terhadap pihak keluarga pasien. “Pernah saya bawa pasien pendampingan. Walaupun pasien masih lemah, tapi buru-buru disuruh pulang,” kata dia.

Kondisi penonaktifan, sebut Jahrudin, berlangsung berbulan-bulan. Hingga, katanya, baru aktif kembali dua pekan lalu. Informasi itu didapat dari pihak puskesmas yang menyebut, BPJS Kesehatan PBI sekitar 8.000 warga di Kecamatan Kemiri sudah aktif lagi.

“Setelah saya cek, memang betul ada beberapa yang sudah aktif, yang ditanggung APBN atau APBD. Cuma masih banyak juga yang tidak aktif,” katanya.

Menurut Jahrudin, penonaktifan yang lama itu ibarat “jebakan batman”. Sebab, akhirnya warga yang sakit terpaksa membuat kartu BPJS Kesehatan mandiri.

“Jadi seolah-olah karena terpaksa,” ucapnya.

 

Masalah anggaran dan lain-lain

Sekjen Kementerian Sosial (Kemensos) Harry Nikmat, melalui pesan singkat dan telepon untuk mengonfirmasi penonaktifan kepesertaan BPJS Kesehatan PBI. Akan tetapi, tak ada respons.

Bismo menjelaskan, untuk kasus penonaktifan BPJS Kesehatan PBI, setiap daerah berbeda-beda. Menurut dia, untuk mengaktifkan kembali, biasanya menggunakan dana bantuan sosial tak terduga pemerintah daerah.

Syarat mengurusnya, lanjut dia, salah satunya menyertakan surat keterangan tidak mampu. Proses bisa cepat kalau sebelumnya iuran peserta dibayar oleh pemerintah daerah. Sedangkan jika dibayar pemerintah pusat, prosesnya bakal lebih lama.

“Itu pun pengusulannya dikeluhkan oleh banyak perangkat desa karena tidak masuk-masuk. Katanya sudah diusulkan, tapi ternyata belum bisa,” katanya.

Sementara itu, Ketua DKR Banten, Argo Bani Putra mengatakan, penonaktifan PBI APBN terjadi tak lama usai Tri Rismaharini menjabat Menteri Sosial, yang dilantik pada 23 Desember 2020. Argo pun menerima banyak laporan masyarakat terkait penonaktifan tersebut. Ia menuturkan, yang menjadi persoalan karena Kemensos menonaktifkan kepesertaan tanpa sepengetahuan peserta.

“Itu masih ada solusi untuk dialihkan ke BPJS PBI APBD, tapi dinsos hanya bisa merekomendasikan ke dinas kesehatan pemerintah daerah,” ujarnya, Jumat (07/10/2022).

“Jadi tidak otomatis dinsos langsung mengembalikan ke BPJS PBI APBN atau menanggung PBI.”

Artinya, jelas Argo, semua kembali ke pemerintah daerah masing-masing. Meski begitu, ia menyayangkan kebijakan ini karena kalau pemerinah daerah tak punya dana, maka terpaksa peserta BPJS Kesehatan PBI mengalihkan ke BPJS Kesehatan mandiri.

“Jadi ada unsur pemaksaan dari pengelola BPJS mandiri. Karena APBD sendiri tidak menanggung semua yang dinonaktifkan,” ujar dia.

Argo menduga, Menteri Sosial Tri Rismaharini tak melihat persoalan tersebut dapat selesai di tingkat bawah. Ia juga sangsi Presiden Joko Widodo mengetahui masalah ini. Pasalnya, seperti tak ada solusi karena dinas sosial hanya bisa merekomendasikan kepada dinas kesehatan.

“Dinkes sendiri melihat APBD pemerintah daerah ada atau enggak. Kalau enggak ada, mau enggak mau masyarakat yang tadinya dinonaktifkan menjadi peserta BPJS mandiri,” ucapnya.

Menurut Argo, kesanggupan anggaran pemerintah daerah memang menentukan nasib peserta PBI APBD. Jika pemerintah daerah masih ada anggaran, maka kepesertaan bisa aktif kembali. Akan tetapi, kata Argo, yang statusnya bisa aktif lagi hanya sedikit. Adapun bila pemerintah daerah tak punya anggaran, maka peserta PBI APBN yang dinonaktifkan terancam tak dapat dialihkan ke APBD.

“Harus menunggu tiga bulan. Itu juga belum pasti dapat atau enggak,” ujarnya.

“Bila masyarakat dalam waktu mengalihkan sakit, mau enggak mau dia jadi pasien umum. Kalau dia mampu (bayar), kalau enggak gimana?”

Jika ada warga yang mengalami kondisi demikian, Argo menuturkan, DKR biasanya melakukan pendampingan berbekal Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Dengan regulasi itu, DKR bakal meminta rumah sakit meringankan biaya pasien tak mampu.

“Kendalanya sedikit berdebat, berargumentasi, akhirnya mereka (pihak rumah sakit) acc (menyetujui),” kata dia.

“Ada juga pihak rumah sakit yang mau survei rumah keluarga pasien sebelum acc.”[]

Advertisement
Advertisement