April 26, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Kapal Ikan China, Neraka Pekerja Migran Indonesia

6 min read

JAKARTA – Di perairan Kalimantan, seorang pemuda bernama Soleh (24) gelisah menunggu balasan pesan Facebook dari sahabatnya, Rila Salam (22). Biasanya, Rila yang mengawaki kapal ikan berbendera China, Liao Dong Yu 571, di perairan Somalia langsung membalas dalam hitungan jam. Soleh tidak tahu, sahabatnya itu sudah tewas.

Jika takdir tak berkata lain, seharusnya saat ini Soleh sedang bersama Rila, mengawaki sebuah kapal berbendera Taiwan dan menghasilkan lembar demi lembar dollar bagi keluarga di Tegal, Jawa Tengah. Begitulah ide yang Soleh lontarkan, 2019 lalu, untuk menjawab keluhan Rila yang kesulitan mendapat pekerjaan. Rila menyukai ide itu.

Pucuk dicinta ulam tiba, mereka bertemu seorang pria bernama Ali Imron, direktur eksekutif sekaligus pemilik PT Raja Crew Atlantik (RCA), perusahaan perekrut dan penyalur anak buah kapal (ABK) ke kapal asing. Ali menjanjikan penempatan di kapal perikanan berbendera Taiwan, persis seperti pekerjaan Soleh setahun belakangan.

Dua sahabat itu pun menyiapkan dokumen untuk pemberangkatan. Sayangnya, berkas mereka dinyatakan belum lengkap sehingga keberangkatan ditunda. Akhirnya, Soleh memilih bekerja di kapal perikanan domestik yang melaut di perairan Kalimantan. Ia dan Rila pun berpisah.

Bulan demi bulan pun berlalu tanpa saling kabar. Tiba-tiba, suatu hari pada Desember 2019, Rila menelepon Soleh. Di luar dugaan, Rila mengabarkan bahwa dirinya sudah berada di atas sebuah kapal ikan berbendera Taiwan. Soleh tertegun.

”Saya kaget, kok enggak pamit, tahu-tahu sudah di atas kapal. Ternyata dia ditawari calo buat ngurus kekurangan dokumen supaya enggak ribet. Dia diminta bayar Rp 4 juta supaya bisa cepet berangkat,” kata Soleh ketika dihubungi dari Tegal, Jumat (24/09/2021).

Sejak itu, keduanya rutin bertukar kabar melalui Facebook. Anehnya, Rila yang awalnya semangat mengejar dollar lambat laun jadi suka mengeluh. Menurut Soleh, teman kelasnya di bangku SMA itu mengatakan, situasi di kapal tidak sesuai ekspektasi. Antara Desember 2019 dan Mei 2020, uang saku tunai senilai 50 dollar AS (Rp 714.000) per bulan di kapal Taiwan tak pernah dibayarkan.

Beban kerja Rila semakin berat, apalagi setelah ia dipindah tanpa persetujuannya ke kapal pukat berbendera China, Liao Dong Yu 571, pada Mei 2020. Dalam sehari, ia hanya diberi waktu istirahat dua jam. Lebih dari itu, ia tak akan diberi makan. ”Dia pengen cepet pulang, enggak betah,” kata Soleh menirukan isi pesan Rila.

Tanggal 18 Juli 2021 adalah terakhir kali Soleh menerima pesan dari Rila. Berminggu-minggu tiada balasan, hingga seorang ABK asal Indonesia yang juga mengawaki Liao Dong Yu 571 menghubunginya untuk mengabarkan sebuah berita buruk.

Pada 19 Juli 2021, Rila dan seorang ABK asal Brebes, Jateng, Fathul Majid, tertimpa kecelakaan saat bekerja. Mereka dihantam pintu pukat dan rantai yang lepas, terbang terlibas ombak. Majid tewas seketika di dek.

Perusahaan pemilik armada kapal Liao Dong Yu, Liaoning Daping Fishery Group Co Ltd, menolak memulangkan jenazah Majid. Ia dikubur di suatu tempat di Somalia, sedangkan keluarganya di Brebes dikirimi santunan ratusan juta rupiah.

Sementara itu, Rila terpental ke laut, dibiarkan hilang ditelan ombak yang bergejolak. ”Katanya, jenazahnya tidak dicari, masih di laut,” ujar Soleh.

Peristiwa itu memang tak terkait langsung dengan Soleh. Namun, Soleh tak bisa menyangkal rasa sesal mendalam dalam hatinya. ”Jujur, saya merasa bersalah karena saya yang ngajak dia daftar di PT RCA, tapi malah ketipu calo,” kata Soleh.

Sejak itu, Soleh berusaha menghubungi Ali Imron untuk mengabarkan dan minta bantuan, tetapi tidak pernah ada jawaban. Belakangan, Ali Imron disebut menghilang. Tak satu pun dari enam nomor teleponnya aktif.

Kementerian Luar Negeri, Kementerian Ketenagakerjaan, dan berbagai institusi lain telah menghubungi Disperinaker Tegal untuk meminta kejelasan. Namun, Ma’mun mengaku tak bisa berbuat banyak lantaran data terkait Rila tidak masuk dalam Sistem Informasi Ketenagakerjaan (Sisnaker). Artinya, PT RCA memberangkatkannya secara tak prosedural.

Keluarga Rila di Tegal juga kebingungan. Hingga detik ini, Muhajirin (30), kakak Rila, masih belum bisa mencerna apa yang terjadi pada adik laki-lakinya. Mereka pernah menghubungi PT RCA untuk meminta penjelasan, tetapi malah disuruh menunggu, entah sampai kapan.

Buntu di jalur perusahaan, keluarga Rila melapor ke Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker) Kabupaten Tegal. Laporan itu ditanggapi dengan pelaksanaan mediasi antara keluarga dan perwakilan PT RCA di rumah Muhajirin. ”Intinya, mereka akan membantu supaya keluarga dapat kompensasi dari perusahaan (penyalur) di Taiwan,” ujar Muhajirin, Selasa (05/10/2021).

Anehnya, Kepala Disperinaker Kabupaten Tegal Nur Ma’mun mengaku tidak tahu hasil akhir mediasi itu, apalagi pelaksanaannya. ”Kalau memang keluarga belum puas, kami sarankan untuk menempuh jalur hukum melalui pengadilan hubungan industrial,” ujar Ma’mun ketika ditemui di Tegal, Sabtu (25/09/2021).

Kementerian Luar Negeri, Kementerian Ketenagakerjaan, dan berbagai institusi lain telah menghubungi Disperinaker Tegal untuk meminta kejelasan. Namun, Ma’mun mengaku tak bisa berbuat banyak lantaran data terkait Rila tidak masuk dalam Sistem Informasi Ketenagakerjaan (Sisnaker). Artinya, PT RCA memberangkatkannya secara tak prosedural.

Kejadian ABK yang direkrut dan diberangkatkan PT RCA, yang kemudian meninggal di kapal asing, bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya, Riki Simamora (28), ABK yang direkrut, juga meninggal saat bekerja di kapal berbendera China, Taixiang 11. Jenazah pemuda asal Pematang Siantar, Sumatera Utara, itu dipulangkan melalui Batam, Kepulauan Riau, pada 21 Juli 2021.

Dalam rentang November 2019-Maret 2021, Fishers Center di Tegal dan Bitung (Sulawesi Utara) mencatat 37 ABK asal Indonesia tewas ketika dan setelah bekerja dari kapal-kapal perikanan asing. Mereka diberangkatkan 16 perusahaan penyalur ABK yang tidak resmi, salah satunya PT RCA.

 

Tak dibayar

Beberapa ABK armada Liao Dong Yu lebih beruntung, seperti Brando Brayend Tewuh (28) asal Minahasa, Sulut, dan Muhammad ”Aab” Abdullah (25) asal Cirebon, Jawa Barat. Bersama 10 ABK lain, mereka direpatriasi pemerintah, 28 Agustus 2021 lalu, dalam keadaan hidup dan sehat.

Namun, bukan berarti segala urusan sudah tuntas. Aab masih belum menerima sisa gaji serta uang jaminan senilai 1.300 dollar AS (Rp 18,5 juta), sedangkan Brando 1.050 dollar AS (Rp 14,9 juta). Hak mereka itu seolah menguap begitu saja.

”Sampai sekarang belum ada kejelasan siapa yang mau mengganti. Saya berharap banget hak kami ini bisa cair, setengahnya aja deh enggak apa-apa,” kata Aab yang ingin merintis warung siomai ketika dihubungi, Selasa (14/09/2021).

Delapan dari 12 ABK yang baru saja direpatriasi adalah rekrutan PT RCA. Kini, mereka menuntut pertanggungjawaban dari Ali Imron, direktur eksekutif perusahaan itu. Namun, Ali menghilang, tak jelas rimbanya. Tak satu pun mantan anggota staf PT RCA mengaku tahu keberadaan bekas bosnya itu, termasuk Edi Baron, mantan kepala mes calon ABK perusahaan itu.

Ketika dihubungi, Sabtu (25/09/2021), Edi mengatakan, perusahaan itu sudah bangkrut dan bubar sejak April 2020. ”Setahu saya, Pak Ali sekarang sama Pak John Albert. ABK yang masih aktif dipasrahkan ke beliau,” kata Edi yang sekarang menganggur.

John Albert adalah pendiri Indonesian Fisher Federation (IFF), sebuah lembaga nonpemerintah yang, menurut profil LinkedIn-nya, juga merekrut, melatih, dan mengirim ABK ke kapal asing. Dihubungi pada hari yang sama, John yang sedang berada di Karawang, Jawa Barat, menyatakan sudah berkomunikasi dengan Brando dan kawan-kawan, tetapi tidak mau membantu mereka karena keterbatasan anggaran pribadi.

Ia justru menyalahkan Brando karena membuat status di Facebook yang berisi tuntutan agar PT RCA bertanggung jawab. ”Gara-gara itu, Ali Imron susah dihubungi. Enggak tahu udah di mana orangnya. Kalau udah dimasukin di Facebook sampai viral, si Ali pasti takut juga ketangkep polisi,” kata John kesal.

Menurut John, ke-12 mantan ABK armada Liao Dong Yu itu justru beruntung karena pembayaran gaji mereka terbilang lancar, kecuali gaji bulan terakhir serta uang jaminan. ”Masih untung cuma jaminan yang enggak dibayar. Banyak kok (ABK) yang dua tahun kerja enggak dibayar sama sekali,” ucapnya.

Brando telah melaporkan Direktur Eksekutif PT RCA Ali Imron ke Polda Jateng dan Bareskrim Polri meskipun ia tidak yakin akan ada penyelesaian. ”Katanya banyak kasus serupa, tetapi dibiarkan berlalu karena PT sudah ganti nama. Akhirnya ABK tetap enggak dapat haknya,” katanya, Kamis (16/09/2021).

Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (BHI) Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha, ketika dihubungi pada Sabtu (18/9/2021), mengatakan akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memenuhi hak para ABK yang direpatriasi dari kapal perikanan China. Ia cukup optimistis hal itu bisa tercapai.

”Sudah ada progres (kemajuan). Dua bulan lalu kami menerima nota diplomatik dari Kedutaan Besar RRT (Republik Rakyat Tiongkok) yang menyatakan salah satu perusahaan di Dalian, yang banyak mempekerjakan ABK kita, sudah memenuhi sebagian hak mereka,” kata Judha.

Ketua Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I) Imam Syafi’i, Sabtu (09/10/2021), mengatakan, banyak kasus kesewenang-wenangan terhadap ABK asal Indonesia yang diselesaikan melalui hukum pidana. Perusahaan perekrut dan penyalur ABK biasanya dijerat oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

”Sejak Mei 2021 hingga kini, kami menangani 60 ABK yang hampir semuanya mengeluhkan gajinya belum dibayar. Mereka bingung harus menagih gaji mereka ke mana karena pengelola perusahaan penyalurnya sudah dipidana. Bagus sih, penyalur-penyalur ilegal seperti itu dipidana. Tapi, para ABK tersebut akhirnya tetap gigit jari karena gaji mereka tetap tidak dibayarkan,” tutur Imam.

Ia menambahkan, perusahaan penyalur ABK seharusnya bisa juga diproses dengan hukum perdata sehingga kewajiban untuk memenuhi hak-hak para ABK bisa dilakukan. Jika tidak, mereka sangat mungkin membuat perusahaan baru setelah dihukum penjara selama setahun atau dua tahun.

”Kalau cuma dipidana, mereka (para penyalur tenaga kerja) ini malah senang karena mereka jadi tidak perlu keluar uang untuk membayarkan kewajibannya. Nanti perusahaan-perusahaan seperti itu akan tumbuh lagi dan lagi. Rantai kasusnya tidak bisa diputus,” pungkasnya. []

Sumber Kompas

 

Advertisement
Advertisement