December 26, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Kekerasan yang Terjadi pada PMI Perempuan Menjadi Perhatian IOM

3 min read

JAKARTA – Dalam sektor perkebunan kelapa sawit, pekerja perempuan menjadi salah satu hal penting yang harus dilindungi haknya dalam bekerja. Seperti diketahui, permasalahan-permasalahan perempuan migran tidak terlepas dari perusahaan atau pemberi kerja yang mereka tempati.

Kepala Unit Anti TPPO IOM Indonesia, Eny Rofiatul Ngazizah menjelaskan, secara geografis, Malaysia memiliki dua bagian wilayah terpisah, yaitu kawasan Semenanjung dan Serawak-Sabah, yang mana wilayah Serawak-Sabah berbatasan langsung dengan Kalimantan. Sehingga dua daerah tersebut memiliki tipologi pekerja yang berbeda.

Wilayah Semenanjung di sektor kelapa sawit, lebih banyak permintaan untuk mempekerjakan laki-laki. Sedangkan bagian Serawak-Sabah, perkebunannya kebanyakan dimiliki oleh perseorangan, yang mana sistemnya pun lebih berbeda dengan wilayah Semenanjung.

“Mereka sama-sama Malaysia, tapi di bagian Serawak dan Sabah memiliki keleluasaan untuk menentukan peraturan spesifik atau syarat-syarat kerja bagi pekerja yang bekerja di area itu,” ungkapnya.

Di Serawak-Sabah, banyak ditemukan pekerja migran laki-laki yang membawa istrinya. Bahkan membawa anak dan terlibat dalam proses kerja di kelapa sawit.

“Mungkin anak-anaknya disuruh membersihkan buah buah yang berceceran, istrinya bantu nyemprot, kemudian suaminya fokus untuk memetik dan memotong buah kelapa sawit,” kata Eny.

Yang menjadi persoalan adalah, pekerja yang terdaftar di pemilik perkebunan hanya laki-laki sehingga gaji yang dipertimbangkan hanya untuk laki-laki. “Tapi, kalau di sistemnya mungkin saja bisa borongan, misalnya kalau mengajak keluarga bekerja di sana, itu bisa jadi borongan,” tambahnya.

Ia mengungkapkan dalam kondisi seperti itu, perlindungan yang diberikan pemilik perkebunan atau pemberi kerja hanya didapatkan oleh laki-laki, tanpa melihat kebutuhan dan bahaya yang dialami oleh pekerja perempuan yang terlibat di dalam proses perawatan perkebunan kelapa sawit. Misalnya paparan bahan kimia yang menyebabkan gangguan reproduksi, seperti menstruasi yang tidak teratur, dan gangguan reproduksi lainnya.

“Belum lagi kalau ada anak yang diikutsertakan untuk membantu, padahal itu sebenarnya bagian dari proses kerja. Yang mana aturan perkebunannya memang untuk produksi barang-barang sebagai konsumsi masyarakat. Memang kalau berbicara tentang kelapa sawit merembet ke banyak aspek,” tambahnya.

Eny menyatakan, isu kekerasan pada pekerja migran perempuan menjadi salah satu perhatian serius bagi IOM. Sepanjang tahun 2005 hingga 2023, IOM telah mendampingi lebih dari 9.700 korban TPPO, dari jumlah tersebut lebih dari 80% adalah perempuan.

Data dari BP2MI tentang penempatan terbesar pemerintah adalah penempatan perempuan migran untuk bekerja di luar negeri, sehingga perlindungan terhadap pekerja perempuan menjadi sangat krusial untuk didorong dan dipenuhi oleh pemerintah, dan juga oleh negara tujuan.

“Makanya yang perlu diupayakan secara maksimal sebenarnya adalah bagaimana meminimalisir para migran tidak memiliki kasus. Ini juga berlaku di negara-negara timur tengah yang juga rentan dengan kekerasan terhadap perempuan,” ujarnya.

Terkait dengan perlindungan perempuan migran, khususnya di sektor kelapa sawit,

IOM melalui program yang saat ini dibangun dengan Consumer Goods Forum melalui the People Positive Palm Project yaitu membangun satu solid information platform melalui OPP sebelum berangkat bekerja ke luar negeri. Selain itu, terdapat post arrival saat pekerja sampai di negara tujuan yang terkait dengan perundang-undangan di Malaysia, adat istiadat dan budaya, serta berkaitan dengan  migrant support atau hal hal apa yang bisa diakses oleh migran ketika ada permasalahan di negara tujuan.

“Jadi kita memberikan informasi tentang siapa yang bisa dikontak apabila mereka memiliki persoalan dengan masalah hukum, maupun administrasi ketenagakerjaan,” ungkapnya.

Untuk IOM sendiri, mereka memiliki program bantuan bagi para korban. IOM memberikan dukungan mulai dari pemberdayaan rehabilitasi medis maupun sosial dan psikososial. Kemudian bantuan pemulangan ke daerah asal di Indonesia. Serta membantu para PMI  berupa bantuan ekonomi dalam bentuk reintegrasi ekonomi.

“Jadi kita memberikan semacam funding untuk mereka memulai usaha setelah pulang dari sana. Dan juga kalau mereka mau memproses hukum kasusnya di Indonesia kita bisa mensupport legal aspeknya dengan misalkan mendatangkan ahli terkait tentang kasus yang mereka alami,” tambahnya.  []

Advertisement
Advertisement