April 25, 2024

Portal Berita Pekerja Migran Indonesia

Keluarga Korban Lion Air : Sudah Jatuh Tertimpa Tangga, Ditinggalkan Pemerintah Hingga Rogoh Kocek Ratusan Juta

6 min read

JAKARTA – Nasib keluarga korban jatuhnya pesawat  Lion Air JT 610 dengan rute Jakarta-Pangkal Pinang ibarat peribahasa ‘sudah jatuh tertimpa tangga pula’ (mendapat kesusahan atau musibah berturut-turut). Peribahasa ini dirasa cocok, karena belum hilang rasa sedih kepergian anggota keluarga tercinta, permasalahan lainnya sudah muncul.

Keluarga merasa ditinggalkan pemerintah. Padahal, kehadiran pemerintah dan pihak Lion Air pada awal peristiwa tersebut diharapkan dapat membantu beban keluarga korban. Paling tidak, jenazah dari 189 orang penumpang dan awak pesawat buatan Boeing dengan tipe 737 Max 8 tersebut bisa ditemukan. Namun, harapan itu sirna seketika, setelah pemerintah melalui Badan Search and Rescue Nasional (Basarnas) memutuskan secara resmi menghentikan operasi pencarian pada tanggal 10 November 2018.

Padahal, belum semua jenazah korban ditemukan, serta waktu pencarian yang terhitung belum terlalu lama. Ditambah pula, keberadaan bangkai pesawat sudah diidentifikasi oleh Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Namun, kenyataan yang bertabrakan dengan harapan tersebut membuat hati keluarga korban merasa pedih.

Proses pencarian oleh Basarnas hanya berlangsung selama 13 hari. Waktu yang bahkan tidak sampai dua pekan tersebut sangat pendek bila dibandingkan dengan proses pencarian korban jatuhnya pesawat Air Asia dengan nomor penerbangan QZ 8501 di perairan Kalimantan pada tahun 2014 lalu. Pada saat itu pemerintah menyediakan waktu hampir 12 minggu atau tiga bulan untuk mencari korban pesawat milik asing tersebut. Penderitaan keluarga korban semakin lengkap ketika Lion Air enggan memfasilitasi pihak keluarga yang terus menuntut untuk melanjutkan pencarian terhadap korban yang belum ditemukan.

Pihak Lion hingga hari ini belum memberikan jawaban pasti untuk siap memfasilitasi keluarga korban demi mencari 64 jenazah korban yang belum ditemukan. Sebenarnya, harapan tersebut sudah disampaikan oleh Managing Director Lion Air Group Daniel Putut Kuncoro pada tanggal 23 November 2018. Pada saat itu, pria yang selalu berhadapan dengan para keluarga korban tersebut mengaku akan membantu pencarian dengan menggunakan kapal yang dibayarkan Lion Air Group dari Singapura. Namun, nyatanya hingga hari ini, kapal canggih tersebut belum juga datang. Padahal sebelumnya kata Daniel, kapal tersebut sudah bergerak dari Singapura.

“Lion sudah janji ke kami, katanya sudah mendatangkan kapal MPV Everest dari Singapura, yang digolong kapal canggih, bisa mendeteksi sampai ke kedalaman lumpur. Ketika saya mendownload satu aplikasi findship, dan saya masukin nama kapalnya, kapalnya ternyata tidak bergerak dari Singapura. Akhirnya kemarin, ada wacana mau mengganti kapal itu dengan pertamina. Waktu itu saya tanya (Pak Daniel Putut), apakah bapak mengganti kapalnya karena kami sudah berhasil mendeteksi atau bagaimana? Tapi nggak ada jawabnya,” kata Engky Bocana, Keluarga Korban Tami julian dinukil dari Justice Law, Senin (10/12/2018).

 

Sewa Helikopter dan Perahu karet Hingga Ratusan Juta dan Dihadang Aparat

Keluarga korban, baik itu yang anggota keluarganya sudah ditemukan maupun yang belum, terus berjuang bersama untuk mencari jenazah yang masih hilang tersebut. Keberadaan bangkai pesawat yang sudah ditentukan oleh KNKT memberi harapan bagi keluarga korban bahwa anggota keluarganya masih berada di dalam badan pesawat yang belum terangkat tersebut.

“Sekarang ini kita semua dari pihak keluarga masih fokus mencari yang ke-64 korban yang belum ditemukan itu,” kata Anton Sahadi, keluarga dari dua korban Muhammad Rafi Andrian dan Riyan Aryandi kepada Law-Justice.co pada Senin (10/11/2018).

Apa yang disampaikan oleh Anton, dibenarkan oleh Engky. Menurut pria yang sangat getol memperjuangkan pencarian jenazah korban yang belum ditemukan ini mengaku para keluarga korban sudah membentuk Tim SAR sendiri. Hal itu dilakukan menyusul kebijakan pemerintah yang memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan proses pencarian setelah 13 hari berjalan.

Untuk mendukung proses pencarian ini, keluarga kata Engky menyewa Helikopter dan perahu karet. Mereka terus mencari dengan menyisir area sekitaran jatuhnya pesawat milik Rusdi Kirana tersebut.

“Kami keluarga korban sudah bikin tim SAR, melibatkan helikopter, melibatkan perahu karet juga. Kami menyisiri dari pantai Tegal sampai ke Pantai Pakis,” kata Engky melalui sambungan telepon.

Penggunaan helikopter dalam proses pencarian bukanlah hal yang mudah. Pasalnya keluarga harus merogoh kocek pribadi hingga ratusan juta untuk hitungan jam. Namun, itu semua dilakukan oleh keluarga karena tidak bisa mencari solusi lain setelah pemerintah memutuskan untuk berhenti mencari korban.

Anton mengatakan dalam tiga jam, keluarga harus membayar Rp150 juta untuk membayar helikopter. Sementara untuk hal lainnya belum terhitung. Di sisi lain, kondisi keuangan mereka sudah semakin menipis lantaran ada yang meninggalkan pekerjaan sementara demi pencarian tersebut.

“Kami juga bahu membahu membayar sewa helikopter 3 jam Rp 130 juta untuk memantau lokasi, terus kita pakai perahu karet. Kita mulai mencari dari Cirebon, menyisir pantai segala macam,” jelasnya.

Tidak hanya itu, masalah lain pun muncul dalam proses pencarian ini. Keluarga korban yang melakukan penyisiran melalui perahu karet, mendapat hadangan dari pihak tertentu. Pasalnya, mereka tidak diizinkan masuk ke Tanjung Pakis, lokasi yang disebut menjadi keberadaan bangkai pesawat. Yang berhak untuk masuk ke area yang disterilkan itu adalah pihak yang sudah mendapatkan izin dari Basarnas.

“Sampai di Tanjung Pakis, kami dilarang untuk masuk. Pertama, alasannya nggak jelas, setelah lama-lama saya pancing dengan pertanyaan, akhirnya ada satu statemen yang menjadi salah satu bahan kecurigaan saya, karena pertama aparat itu mengatakan orang di pantai Pakis ini pintar nyelam, banyak penyelam tradisional handal. Jadi dia bilang, kalau kami nggak larang, nggak jaga tempat ini, jadi bangkai pesawat yang ada di dalam itu pasti habis dalam dua hari,” kata Engky.

“Jadi benar apa yang menjadi dugaan kami, karena kami kan selama ini mendengar keterangan dari penyelam itu, dan berdasarkan keterangan KNKT baru 25 persen bodi pesawat diangkat. Jadi lewat ucapan aparat itu, maka disitu kami memutuskan untuk bertahan melakukan pencarian ulang. Kalau tidak dilakukan pencarian ulang, maka kami akan dudukin kantor Lion, tapi kami tidak akan anarkis, cuman kami tidak akan tidur dan nginap. Intinya, kami akan cari keluarga kami sendiri di pantai Pakis,” tambahnya.

Law-justice.co sudah berusaha mengkonfirmasi perihal keluhan keluarga korban Lion Air ini ke Dirjen Perhubungan Udara Suprasetyo dan Kepala Basarnas Muhammad Syaugi. Namun, belum ada jawaban dari keduanya hingga tulisan ini diturunkan.

 

Pencairan Asuransi Diperumit oleh Lion Air

Proses pencarian belum selesai dan jenazah korban belum ditemukan semua, keluarga korban kembali harus dihadapkan dengan persoalan baru. Proses pencairan asuransi oleh Lion tidak berjalan mulus. Prosesnya yang dinilai rumit membuat keluarga korban kewalahan. Padahal, uang asuransi tersebut bisa saja digunakan untuk biaya operasional pencarian korban yang belum ditemukan.

Belum lagi, adanya kalusul atau poin yang diberikan oleh Lion kepada keluarga korban yang mewajibkan mereka untuk tidak menggugat Lion Group dan pihak yang masih berhubungan dengan Lion jika telah mendapatkan uang asuransi.

Persyaratan tersebut jelas ditentang oleh keluarga korban, karena hal tersebut bertentangan dengan Peraturan Menteri perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang tanggung jawab pengangkut angkutan udara. Dalam Permenhub tersebut, korban bisa menggugat pihak lain.

“Itu adalah kewajiban mereka, itu sudah sesuai Undang-undang. Tapi kami heran kenapa dimasukan juga poin-poin yang melarang kami untuk menuntut. Itu ada di poin 4. Yang lebih mengherankan lagi, Lion katanya mau gugat Boeing, terus kenapa dia larang kami gugat 200an perusahaan Lion Group dan termasuk Boeing,” kata Engky.

Pembicaraan mengenai proses pencairan uang asuransi ini berlanjut dalam diskusi antara keluarga Lion yang ada di Jakarta dengan pihak Lion di  Hotel Ibis Sentral Cawang pada Selasa (11/12/2018) malam. Daniel Putut yang didampingi oleh beberapa jajaran Lion Air kala itu dicecar oleh keluarga korban yang menyesalkan proses pencairan asuransi dengan proses administrasi yang rumit.

Salah satu keluarga korban mengaku sangat kecewa degan Lion yang mewajibkan ayahnya yang sudah tidak bisa berjalan untuk datang ke Jakarta dari Yogyakarta, hanya untuk memenuhi persyaratan tersebut.

“Kalau Bapak jadi saya, bagaimana perasaan bapak. Bapak saya itu hanya bisa duduk di kursi roda, dan kalau datang ke Jakarta saya ha rus bawa dia pakai kereta api, dia takut naik pesawat, apalagi pesawat Lion yang bapak punya itu. Tolonglah jangan persulit kami. Siapa yang mau menukarkan nyawa dengan uang, kami tidak mau Pak. Kalau bapak mau, kami kasih bapak uang 1,3 miliar, tetapi kembalikan nyawa kakak kami, bapak bisa nggak,” kata salah satu keluarga korban yang mengaku bolak-balik Yogyakarta hingga saat ini tujuh kali denagn biaya sendiri.

Terhadap keluhan dari warga tersebut, Daniel Putut hanya meminta maaf, karena pada malam itu pihak PT Asuransi Tugu Pratama Indonesia Tbk (Tuguinsurance) yang menjamin asuransi untuk korban tidak hadir. Padahal, kata Daniel, awalnya Tugu Pratama ingin mempresentasikan proses pencairan asuransi tersebut pada selasa malam itu juga.

“Mohon maaf pak, kalau mengenai asuransi, sampai dengan malam ini kami belum mendapatkan jawaban dari Tugu Pratama, dalam hal ini pihak insurance kami. Malam ini juga saya mungkin akan teleconferensi dengan mereka untuk mendapatkan jawaban. Mudah-mudahan malam ini saya bisa dapatkan jawabannya,” jawab Daniel Putut.

Pesawat Lion Air JT 610 rute Jakarta-Pangkal Pinang jatuh di Perairan tanjung karawang pada Senin (29/10/2018) lalu setelah 13 menit lepas landas. Pesawat tersebut membawa 181 penumpang dengan 8 awak pesawat. Semuanya diduga tewas. Hingga saat ini baru 125 jenazah korban yang berhasil diidentifikasi, sementara 64 lainnya masih belum diketahui keberadaanya.

Berdasarkan hasil investigasi KNKT sementara, pesawat tersebut mengalami permaslahan karena adanya tombol otomatis untuk mengatur pesawat yang tidak diketahui oleh pilot. Tombol tersebut dapat mengatur moncong pesawat secara otomatis pada posisi ketinggian tertentu.

Atas hasil tersebut tiga orang perwakilan keluarga korban sudah mendaftarkan gugatan ke pengadilan Amerika untuk menuntut Boeing, perusahaan pembuat pesawat Boeing 737 max 8. Meski begitu, keluarga lainnya masih mengkaji ulang untuk melakukan hal yang sama, apalagi pada saat ini, merka masih focus mencari 64 korban lain yang belum ditemukan. [Justice Law]

Advertisement
Advertisement