Kenapa Bisa Subur dan Merajalela di Indonesia, Padahal Oligarki Bertentangan dengan Pancasila
ApakabarOnline.com – Saat ini oligarki menjadi sebuah ancaman bagi bangsa Indonesia. Bagaimana tidak? Seluruh kekuasaan terbesar dipegang sepenuhnya oleh kaum elite demi keuntungan pribadi dan kelompok mereka. Kita harus ingat bahwa negara kita adalah negara demokrasi, di mana kekuasaan terbesar ada pada rakyat bukan yang lainnya.
Di negara demokrasi, kita semua berdaulat, semuanya sama-sama punya kuasa. Tapi pada kenyataannya, sistem demokrasi di Indonesia dikuasai oleh kaum oligarki yang bertentangan dengan Pancasila sehingga semakin menjauhkan kita dari cita-cita bersama dalam mencapai tujuan berbangsa dan bernegara sesuai dengan bunyi pembukaan UUD 1945.
Apa itu oligarki yang saat ini menjadi momok bagi bangsa Indonesia ?, Mengapa oligarki saat ini tumbuh subur di Indonesia ?, Apakah oligarki memang bertentangan dengan nilai nilai Pancasila ?,Bagaimana melawan oligarki yang saat ini merajalela ?
Mengenal Oligarki dan bahayanya
Kata oligarki berasal dari Bahasa Yunani “oligarkhia” bila dirunut ke akarnya ada dua kata yang menyusunnya yakni “ologon” yang berarti sedikit dan “arkho” yang memiliki arti memerintah. Oligarki kemudian didefinisikan sebagai bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya dikendalikan oleh sekelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, militer atau keluarga.
Seringkali golongan ini mengendalikan kekuasaan sesuai dengan kepentingan mereka saja. Menurut Aristoteles, oligarki, yang makna literalnya dapat diterjemahkan menjadi ‘kekuasaan oleh segelintir orang,’ merupakan manifestasi pemerintahan yang buruk rupa. Oleh karena sifatnya yang elitis dan eksklusif, terlebih lagi biasanya beranggotakan kaum kaya, oligarki tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat luas dan yang membutuhkannya.
Oligarki tidak dapat disamakan dengan aristokrasi yang dapat dianggap sebagai pemerintahan oleh golongan kecil yang benar. Yang berkuasa dalam pemerintahan aristokrasi adalah kaum bangsawan yang berparitisipasi di parlemen beserta dengan raja dan ratu yang dipercayai sebagai pemimpin oleh karena garis keturunannya.
Walau memang aristokrasi juga dikendalikan oleh kelompok kecil orang, perbedaannya dengan oligarki dapat dilihat dari komitmen aristokrat untuk tidak menyalahgunakan wewenangnya dan memastikan bahwa rakyatnya hidup sejahtera. Namun, aristokrasi juga dapat berubah menjadi oligarki apabila dipengaruhi oleh kelompok elitis bangsawan seperti penasehat-penasehat tinggi sang raja.
Mark Bovens dan Anchrit Wille dalam sebuah karya yang berjudul Diploma Democracy: The Rise of Political Meritocracy menekankan bahwa demokrasi sesungguhnya merupakan sistem yang dicetuskan sebagai bentuk penentangan terhadap kekuasaan yang diwariskan secara turun temurun, kekuasaan secara turun temurun merupakan praktik oligarki yang nyata.
Mekanisme pemilihan umum oleh rakyat dalam negara demokrasi diharapkan bertindak sebagai senjata pamungkas untuk memutus mata rantai oligarki yang masih ada.Karena melalui pemilu, diharapkan rakyat dari semua kalangan punya kesempatan sama dalam pemerintahan, sehingga pemerintahan diisi oleh orang dari berbagai latar belakang yang berbeda. Situasi ini diharapkan akan mampu mencegah munculnya sekelompok elit kecil orang yang mengontrol kekuasaan atau yang jadi pengendalinya.
Sayangnya cita cita ideal tersebut tidak seindah dengan kenyataan yang ada. Yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa untuk ikut dalam perhelatan pemilu, khususnya pemilihan langsung dalam konteks Indonesia, membutuhkan banyak dana. Disini , kekuatan uang memainkan peran penting, karena rata-rata yang tampil sebagai pemenang dalam kontestasi pemilihan langsung adalah mereka yang punya kekuatan dana.
Mereka yang tidak punya uang banyak, walaupun memiliki kompetensi, akhirnya terpental dari ring pemilihan langsung karena masyarakat tidak akan memilihnya.diakui atau tidak, situasi ini membuka ruang bagi munculnya oligarki terselubung dimana kekuasaan dikendalikan oleh mereka yang banyak uangnya.
Mereka yang menang dalam pemilihan langsung belum tentu bertindak sebagai penguasa yang sesungguhnya.Dalam banyak kasus, uang berlimpah yang digunakan selama kontestasi pemilu merupakan uang “pinjaman” dari para bohir yang menjadi bandarnya. Para bohir ini bisa saja berlatar belakang pengusaha atau orang yang punya kuasa.
Mereka yang terpilih karena kekuatan uang para bohir ini harus siap siap menjalankan agenda pihak pihak yang telahmengongkosinya. Fenomena ini menegaskan bahwa untuk memahami oligarki tidak cukup hanya dengan memetakan aparat pemerintah semata, sebab jejaring oligarki mengular hingga di luar struktur kekuasaan, bahkan boleh jadi yang di luar kekuasaan justru lebih berkuasa karena ia yang mengendalikannya.
Tumbuh Subur
Dengan tumbangnya pemerintah Orba menyusul dicanangkannya pemilu secara langsung diharapkan akan mengikis keberadaan oligarki yang sudah mengakar saat Presiden Soeharto berkuasa. Namun ternyata konsolidasi demokrasi yang diharapkan bakal terjadi di saat pemerintahan reformasi berkuasa telah gagal mencapai tujuannya.
Gagalnya konsolidasi demokrasi pasca runtuhnya rejim otoritarianisme Soeharto membawa implikasi negatif bagi iklim demokrasi di Indonesia. Kebanyakan masyarakat terjebak pada euforia reformasi yang membuat mereka lupa bahwa runtuhnya Orba tidak disertai melenyapnya kekuatan oligarki yang sudah bercokol 32 tahun lamanya.
Justru, kekuatan oligarki yang semula bersenggama dengan rezim Soeharto mampu kembali mengonsolidasi diri (beradaptasi) dengan rezim reformasi yang jauh lebih menguntungkannya.Kenyataan bahwa Indonesia pasca tumbangnya Orba kembali dikuasai oleh para oligark yang telah berkuasa sebelumnya.
Seperti dinyatakan berulang kali oleh Vedi R. Hadiz bahwa“keuntungan terbesar bagi para konglomerat barangkali adalah bahwa proses reformasi terjadi di dalam aparatur negara yang masih didominasi oleh hubungan-hubungan kekuasaan predatoris serta berbagai tokoh yang sama yang pernah mendominasi rezim lama”.
Saat ini kalau kita amati kebanyakan penguasa yang kini menempati posisi strategis di berbagai institusi publik hingga partai politik, rata-rata adalah petarung lama. Para pimpinan (elite) partai, penguasa media mainstream, para pejabat pemerintahan yang berada di jajaran kabinet Jokowi, sampai pada seluruh jabatan strategis lainnya di dalam birokrasi pemerintahan saat ini hanyalah sirkulasi elit-elit lama.
Para oligark di atas, termasuk orang-orang yang pernah diistimewakan di rezim kepemimpinan saat Soeharto berkuasa. Orang orang lama yang penuh muslihat dan tipu daya semasa Orba, belakangan banyak yang tampil di garda depan sebagai tokoh pejuang demokrasi dengan kedok populisnya. Inilah wajah anomali demokrasi pasca tumbangnya pemerintahan Orba. Kebanyakan orang tertipu dengan politik pencitraan yang terus dipolesi oleh media, dimana medianya sendiri notabene adalah milik mereka.
Dominasi oligarki dalam ranah politik Indonesia terjadi karena kenaifan asumsi reformasi institusional neoliberal yang percaya akan primasi pengelolaan institusi rasional. Kenaifan ini mengabaikan keberadaan relasi ekonomi politik oligarki yang menyejarah.
Kemampuan oligarki untuk menaklukkan kekuasaan negara serta melakukan disorganisasi atas kekuatan oposisi masyarakat sipil, membuat proses reformasi institusional neoliberal tidak memiliki basis sosial dan politik yang kuat. Hal inilah yang kemudian menyebabkan oligarki dapat mempertahankan dominasi politiknya, yang dengannya merepresi kemungkinan bagi munculnya agensi politik non-oligarki.
Harus disadari bahwa reformasi politik yang beriringan dengan reformasi ekonomi pasca Orba, tidak sama sekali menghancurkan relasi oligarki ini. Kenyataan bahwa lemahnya kekuatan civil society belakangan ini dalam membendung gurita oligarki semakin membuktikan tesis Richard Robison dan Vedi R Hadiz bahwa penguasaan atas politik negara sekaligus disertai disorganisasi kekuatan oposisional yang tercakup dalam elemen masyarakat sipil menjadi dasar historis bagi dominasi oligarki terhadap kekuatan politik non-oligarki. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa perseteruan politik di era reformasi kembali meneguhkan posisi elit lama.
Sebagai buntut dari berkuasanya kekuatan oligarki, banyak kebijakan kebijakan yang merugikan rakyat Indonesia disebabkan demokrasi tidak berjalan sebagaimana mestinya.Salah satu contohnya pengesahan Perppu Nomor 1 tahun 2020 tentang Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan menjadi undang-undang yang berlangsung mulus mulus saja.
Demikian juga pengesahan berbagai Undang Undang kontroversial lainnya seperti UU Omnibuslaw Cipta Kerja, revisi UU KPK, UU Minerba dan yang lain lainnya. Proses pengesahan UU tersebut dinilai cacat prosedural dan cacat substansial sehingga di gugat ke Mahkamat Konstitusi (MK).
Pengesahan Undang Undang yang terkesan terburu buru dan tertutup prosesnya ini telah menimbulkan serangkaian pertanyaan ada apa sebenarnya. Artinya, keputusan yang cepat mengindahkan suara rakyat yang berada di luar parlemen, dengan kata lain bisa dikatakan mem-baypass demokrasi substansial (Heyness, 2003).
Fenomena tersebut membuktikan kuatnya “Oligarki Partai Politik” dalam memberikan dukungan tanpa reserve terhadap pemerintahan eksekutif, bersama partai koalisinya.Kuatnya cengkeraman oligarki ini telah membuat suara suara penentangan yang terjadi di luar parlemen dianggap sebagai angin lalu saja.
Bertentangan dengan Pancasila
Praktek praktek oligarki politik yang terjadi saat ini sudah barang tentu bertentangan dengan Pancasila baik sebagai pandangan hidup maupun sebagai dasar negara karena praktek praktek oligarki berpotensi menggerogoti nilai-nilai Pancasila.
Oligarki bertentangtan dengan sila “Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa”. Karena seharusnya tidak ada satu pun entitas di dunia ini yang layak dipertuhankan kecuali Tuhan Yang Maha Kuasa. Tapi saat ini banyak orang Indonesia mulai pejabat maupun rakyat jelata yang tidak menjadikan Tuhan Yang Esa sebagai sesembahannya melainkan yang lainnya.
Tak sedikit manusia beriman yang sedang mencari tuhan-tuhan baru pengganti Tuhan yang sebenarnya. Banyak yang mempertuhankan nafsunya, hartanya, mempertuhankan penghisapan manusia atas manusia, mempertuhankan jabatan dan kekayaan, bahkan ada pula yang mempertuhankan pemimpinnya. Sila Pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa dalam prakteknya sudah menjadi Keuangan Yang Maha Kuasa.
Oligarki bertentangan dengan sila Kedua Pancasila yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.Bahwa kemanusiaan hanya mungkin tegak berdiri di atas keadilan dan keadaban. Tetapi faktanya kemanusiaan yang adil dan beradab itu baru sebatas wacana.
Kaum oligarki telah memperlihatkan praktek yang sebenarnya. Mereka diantaranya telah memperlihatkan bagaimana caranya mendistribusikan sumber daya ekonomi secara tidak adil dan tidak merata. Pada al tanpa keadilan dan keadaban, kemanusiaan hanya tinggal jargon dan utopia belaka.
Fenomena praktek oligarkhi di negara kita faktanya memang cukup menggenaskan sehingga membuat kita mengelus dada. Betapa tidak, oligarki yang hanya berjumlah 2/1.000.000 atau sekitar 400 orang (dengan asumsi jumlah penduduk 200 juta), mereka memiliki kekayaan bersih setara 10 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto – 2010).
Dengan pola oligarkhi, Negara diatur sedemikian rupa agar tidak turut campur dalam aktivitas mekanisme pasar karena dikendalikan oleh kekuatan swasta. Prinsipnya negara hanya berfungsi sebagai fasilitator, penjaga modal serta pemungut pajak dari modal yang bekerja.
Akhir akhihr ini terlihat makin menguatnya pengaruh oligarki dalam menentukan kebijakan ekonomi politik negara. Menurut pengamat politik dari Amerika Serikat, Jeffrey A. Winters, para oligarki memiliki banyak cara mengekspresikan kekuasaan mereka dalam liberalisasi Indonesia.
Oligarki yang dibesarkan oleh rezim Soeharto terus bertransformasi dengan menyesuaikan konteks politik di Indonesia melalui skema neoliberalisme, seperti demokratisasi, desentralisasi, dan deregulasi yang berkelindan dengan agenda politik negara.
Sudah barang tentu praktek praktek oligarki yang menyalahi aspek kemanusiaan dan keadilan ini tidak sesuai dengan nilai nilai sila kedua Pancasila . Kurangnya penghayatan akan keadilan dan keadaban membuat sekelompo orang ini menjadi anti-kritik, melakukan korupsi, melakukan perampasan atas hak orang lain, dan tak sungkan mempertontonkan kekerasan kepada yang lainnya.
Oligarki juga bertentangan dengan sila Ketiga Pancasila , “Persatuan Indonesia” karena perilaku kaum oligarki mementingkan kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Mereka bersatu bukan untuk kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia tapi kepentingan kaumnya.
Setelah bangsa Indonesia Bersatu untuk mengusir penjajah, maka makna persatuan setelah itu adalah persatuan segenap manusia Indonesia untuk mengikis kemiskinan dan ketimpangan sosial yang ada.
Selain itu juga persatuan melawan korupsi, persatuan melawan perusakan lingkungan, dan yang paling utama adalah persatuan menegakkan cita-cita kemanusiaan dan keadilan di Indonesia.Namun ironisnya, sekarang rakyat semakin terpecah belah atas dasar pandangan politik yang berbeda. Ada kelompok cebong dan kadrun yang merupakan hasil dari residu pemilu/ pemilukada .
Sementara oligarki justru tengah bersatu melanggengkan korupsi, penegakan hukum yang tebang pilih, dan mereproduksi kejahatan yang berpotensi menggerogoti prinsip dasar dan nilai-nilai Pancasila terutama sila ketiga sehingga mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Oligarki bertentangan dengan sila “Keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Karena telah terbukti mereka para pemimpin dan wakil rakyat yang dipilih untuk mewakili aspirasi politik rakyat, justru banyak yang meninggalkan rakyatnya. Banyak pula dari mereka yang membiarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilucuti dan mengabaikan pelanggaran HAM (Hak Azasi Manusia).
Bahkan mereka itu ada yang bermusyawarah di gedung wakil rakyat tetapi tidak semuanya sedang mewakili rakyatnya. Tetapi mewakili kepentingan para pemodal dan petualang politik yang menjadi bandarnya. Pada hal semestinya Kebijaksanaan yang mereka ambil harusnya mampu membimbing semua percakapan politik dan ekonomi untuk semata mata demi rakyat pemegang kedaulatan yang sebenarnya.
Oligarki bertentangan dengan sila Kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena pemerintahan oligaki yang berkuasa sekarang terbukti belum mampu mengatasi ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi yang terjadi dimana mana. Kemiskinan meluas dari desa hingga ke kota. Bahkan konon kabarnya ada satu persen orang terkaya di Indonesia masih menguasai 46 persen kekayaan Indonesia.
Mereka menguasai modal, sumber daya alam, dan mengatur jalannya kebijakan negara yang merugikan rakyat dan keberlanjutan lingkungan di Indonesia. Mereka memonopoli penegakan hukum sehingga penegakan hukum hanya menyasar pihak pihak tertentu saja yang bukan kelompoknya.
Meskipun jelas jelas oligarki bertentangan dengan Pancasila namun sampai saati ini masih diamalkan sebagai bagian dari praktek bebangsa dan bernegara. Keberadaannya dianggap biasa biasa saja pada hal sangat merugikan kepentingan bersama rakyat Indonesia. Yang dijadikan musuh justru ancaman yang direka reka seperti paham khilafah beserta elemen pendukungnya.
Mengapa ancaman oligarki yang sudah sangat nyata merugikan ini justru terkesan malah dipelihara ? apakah karena hal ini menguntungkan elite elite politik yang kini sedang berkuasa ?
Melawan Oligarki
Meskipun faktualnya oligarki telah menjadi penguasa pemerintahan di Indonesia namun keberadaannya sepertinya dianggap biasa biasa saja. Pada hal ia telah merusak demokrasi dan membuat terhambatnya tujuan kita dalam mencapai cita cita tujuan berbangsa dan bernegara sesuai amanat Undang Undang Dasar 1945.
Saat ini begitu terasa beroperasinya oligarki politik yang lebih memikirkan kepentingan bisnis semata, demi melindungi pemilik modal serta kepentingan keluarganya. Alih- alih menegakkan jiwa nasionalisme bahkan jika ada kesempatan kedaulatan negara pun akan dijualnya.
Situasi ini sangat mengkhawatirkan dan harus ada upaya untuk mencegahnya. Ada beberapa alasan mengapa kita harus berkomitmen melawannya. Karena oligarki akan menyebabkan nilai-nilai seperti persamaan, partisipasi politik, keterbukaan, kebebasan berekspresi, dan terutama kedaulatan rakyat akan sirna. Situasi ini biasanya akan berlanjut pada upaya menafikan civil society dan terbelinya institusi-institusi demokrasi yang ada.
Selain itu oligarki yang ditujukan untuk kepentingan yang elitis dan eksklusif akan menyebabkan demokrasi berjalan hanya bersifat prosedural saja, mengabaikan aspek substansialnya. Akibatnya kedaulatan rakyat akan terlihat samar dan hanya tampak pada momen kontestasi electoral belaka.
Sementara setelah momen itu berakhir, kebijakan akan ditentukan oleh invisible hand yang melibatkan hanya elite politik, birokrat, dan pengusaha. Fenomena ini bisa terjadi secara masif hingga ke daerah-daerah di seluruh Indonesia.
Demokrasi yang terbajak oleh oligarki akan menyebabkan segenap kebijakan semata diarahkan pada pemenuhan kepentingan eksklusif para elite, pengusaha, dan rekanannya. Sebagai konsekuensinya, sistem politik yang ada juga tidak akan mampu menyejahterakan rakyatnya.
Dengan mengingat bahayanya maka keberadaan oligarki seyogyanya tidak boleh dibiarkan terus merajalela. Karena kalau dibiarkan akan berpotensi semakin membesar dan masyarakat akan larut dalam kekuasaan oligarki hingga akhirnya benar-benar sepenuhnya dikendalikan oleh mereka.
Oleh karena itu perlu dilakukan beberapa upaya untuk mencegahnya dengan sekuat tenaga. Diantaranya dengan membentuk kelas menengah yang kuat dan terdidik.Sebagai kaum terdidik, mereka merupakan bibit-bibit kemunculan demokrasi yan g sesungguhnya.
Merekalah yang akan menuntut partisipasi politik yang lebih tinggi sehingga mampu mewarnai kehidupan politik kedepannya. Dengan demikian adanya kelas menengah yang kuat dan terdidik diharapkan dapat mencegah suburnya pertumbuhan oligarki di Indonesia.
Cara lain dalam melawan oligarki adalah dengan perbaikan kehidupan ekonomi bangsa. Dalam catatan Jeffery Winters dalam kajiannya mengenai oligarki kurang dari 0,0000002% dari total penduduk menguasai 10% GDP di Indonesia (Jeffry Winters 2013, 1). Saat ini situasinya masih memprihatinkan karena situasi ekonomi bangsa yang belum menggembirakan, terutama bagi rakyat pada umumnya.
Kondisi ini menyebabkan segelintir kalangan akhirnya dapat membeli, memengaruhi dan bahkan memanipulasi pilihan politik orang banyak, termasuk partai bisa dibelinya. Oleh karena itu dengan peningkatan ekonomi rakyat diharapkan mereka tidak mudah goyah ketika ada iming iming untuk merubah pilihan politiknya.
Upaya melawan oligarki bisa juga dilakukan melalui pembenahan institusi-institusi politik dan sistem pemilu/ pemilukada. Saat ini sudah diakui banyak kalangan terjadi politik biaya tinggi (high cost) yang disebabkan pelaksanaan pemilu yang mahal harganya. Kemahalan itu menyebabkan eksistensi oligarki menjadi selalu relevan dan menemukan habitatnya. Oleh karena itu perbaikan institusi politik dan sistem pemilu menjadi salah satu alternatif untuk mengikis oligarki supaya tidak semakin merajalela.
Tidak kalah pentingnya dalam memerangi oligarki ini adalah dengan penguatan budaya berdemokrasi dilingkungan masyarakat kita. Meski dalam berbagai survei terlihat mayoritas masyarakat kita mengakui demokrasi sebagai bentuk pemerintahan terbaik, namun budaya berdemokrasi kita belum mampu menopangnya. Budaya politik uang masih mewarnai mental pemilih dalam menentukan pilihannya.
Oleh karena itu penguatan masyarakat sipil yang sadar politik sangat penting untuk ditumbuhkan eksistensinya. Saat ini dalam kondisi ketika hampir semua partai suda masuk kedalam jajaran pemerintahan, maka melalui pengutatan masyarakat sipil adalah sebuah keharusan supaya ada kelompok masyarakat kritis sebagai penyeimbang kekuatan mereka yang kini berkuasa. Hanya dengan keterlibatan masyarakat sipil dalam politik sajalah perlawanan atas oligarki dan elitisme akan tetap bisa dijaga.
Untuk itu masyarakat sipil (berkolaborasi dengan partai-partai oposisi yang tersisa) harus terus mengupayakan penggalangan kekuatan moral rasional secara kontinum agar pemerintah dapat terus sejalan dengan aspirasi masyarakat banyak bukan pemerintah yang menjalankan agenda politiknya sendiri yang jauh dari upaya mencapai tujuan kita dalam berbangsa dan bernegara. []
Penulis Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI