Kerentanan Baru PMI itu Bernama Judol

JAKARTA – Sektor pekerja migran Indonesia (PMI) tengah menghadapi tantangan baru yang semakin kompleks dan mengkhawatirkan. Selama ini, kerentanan yang dialami PMI identik dengan persoalan prosedural, status tidak berdokumen, atau menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Namun, tren terkini menunjukkan perluasan kerentanan yang menyasar kelompok usia muda, terutama mereka yang terjebak dalam praktik force criminality alias dipaksa melakukan kejahatan digital seperti penipuan daring (online scamming) dan judi online alias judol.
Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, perubahan tersebut mencerminkan pergeseran demografi yang signifikan. Jika pada masa lalu kerentanan kerap dialami kelompok perempuan dari wilayah miskin, perdesaan, dengan pendidikan terbatas, saat ini bertambah.
Sekarang, imbuh Wahyu, yang juga kerap muncul dan marak tersangkut kasus terkait pekerja migran justru generasi muda perkotaan, melek teknologi, bahkan lulusan perguruan tinggi. Mereka tidak jarang berasal dari latar ekonomi yang relatif lebih baik.
“Ada perluasan kerentanan pada orang muda, mereka yang terjebak di dalam force criminality dipaksa bekerja melakukan kejahatan digital melalui scamming online ataupun judi online,” kata Wahyu dinukil dari Media Indonesia, Rabu (13/8/2025).
Fenomena itu, kata dia, menunjukkan adanya keganjilan dalam tata kelola ketenagakerjaan nasional. Pasalnya, lapangan kerja yang layak semakin sulit diakses sehingga mendorong sebagian orang muda mencari peluang di luar negeri tanpa memperhitungkan risiko yang ada.
Kondisi saat ini, menurutnya, juga dinilai sebagai kemunduran kebijakan. Migrant Care menilai orientasi pemerintah kembali terfokus pada perolehan devisa dan remitansi, alih-alih mengedepankan perlindungan tenaga kerja. Dorongan untuk menempatkan PMI dalam jumlah besar demi mencapai target remitansi triliunan rupiah dipandang menempatkan pekerja migran sebagai komoditas ekonomi, bukan sebagai subjek yang harus dilindungi hak-haknya. Menurutnya, menjadi tugas negara untuk lebih dahulu mengedepankan perlindungan PMI.
“Menurut saya yang terjadi sekarang ini ialah kemunduran total karena orientasi kembali ke orientasi memperoleh devisa, memperoleh remitensi sebanyak-banyaknya,” ucap Wahyu.
“Dari nafsu Menteri PPMI yang pingin menempatkan sebanyak-banyaknya, bahkan menyebut angka 425.000 PMI (pengiriman pekerja per tahun) untuk mendongkrak remitensi sampai Rp500 triliun,” tambahnya.’
REALITAS PASAR KERJA
Pemicu kerentanan baru tersebut dikatakan Wahyu tidak lepas dari realitas pasar kerja dalam negeri yang masih jauh dari harapan. Janji penciptaan 19 juta lapangan kerja terbukti sulit terealisasi. Pekerjaan berbasis digital yang semula dijanjikan sebagai solusi ternyata sering kali tidak layak secara penghasilan maupun perlindungan, dengan contoh paling nyata ialah pekerjaan sebagai pengemudi ojek daring yang bersifat eksploitatif.
Sementara itu, gelombang kejatuhan berbagai perusahaan rintisan atau startup, yang kerap digadang-gadang membantu lapangan pekerjaan, justru semakin mempersempit peluang. Akibatnya, frustrasi muncul di kalangan anak muda. Fenomena ini bahkan tecermin dalam maraknya seruan ‘kabur aja dulu’ di media sosial yang viral beberapa bulan lalu.
Fenomena tersebut mencerminkan dorongan untuk mencari pekerjaan di luar negeri tanpa bekal pengetahuan memadai tentang prosedur dan risiko yang dihadapi. Situasi tersebut juga memperbesar peluang mereka terjerat dalam skema perekrutan ilegal, penipuan, hingga eksploitasi.
“Terjadi kondisi lapar kerja ini, yang sebenarnya adalah ekspresi atau tagihan janji 19 juta lapangan kerja. Padahal sebuah janji itu memang enggak masuk akal, apalagi kita memasuki masa pascapandemi, banyak pekerjaan yang hilang,” ungkap Wahyu.
“Ekspresi atas angka janji lapangan kerja yang enggak dipenuhi, pengangguran yang begitu banyak, itu menimbulkan frustrasi di kalangan orang muda sehingga ada tagar ‘kabur aja dulu’,” ujarnya.
HARUS KEDEPANKAN PERLINDUNGAN
Untuk mengatasi masalah, pembenahan kebijakan sekaligus pola pikir dinilai mendesak. Revisi Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) dinilai harus menegaskan kembali prinsip perlindungan sebagai pilar utama. Regulasi tersebut seharusnya menghapus ruang bagi praktik komodifikasi pekerja migran dan memperkuat mekanisme pengawasan serta penindakan terhadap pihak-pihak yang mengeksploitasi PMI.
Langkah tersebut penting agar orientasi penempatan tenaga kerja ke luar negeri tidak lagi semata-mata demi target ekonomi, tetapi benar-benar menjamin keselamatan, kesejahteraan, dan hak-hak pekerja migran Indonesia. Terutama bagi generasi muda yang kini menjadi kelompok paling rentan terhadap bentuk-bentuk eksploitasi baru di era digital. “Revisi Undang-Undang PPMI itu harus menguatkan perspektif perlindungan. Tidak membuka ruang adanya komodifikasi pekerja migran,” ucap Wahyu.
PENINGKATAN KASUS SIGNIFIKAN
Kasus warga negara Indonesia (WNI) yang terjerat TPPO di sektor judol dan penipuan daring di luar negeri terus melonjak tajam dalam beberapa tahun terakhir. Data Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) menunjukkan, hingga Maret 2025, sudah lebih dari 7.600 kasus ditangani.
Direktur Pelindungan WNI Kemenlu, Judha Nugraha, menyebut lonjakannya sangat signifikan jika dibandingkan dengan pada 2020. Saat itu, Kedutaan Besar RI (KBRI) Phnom Penh pertama kali mencatat hanya 15 kasus. “Saat ini KBRI Phnom Penh menangani total dari 2020 sampai saat ini sudah 4.300 kasus,” kata Judha dalam podcast Durasi oleh Media Indonesia, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, peningkatan bukan hanya soal jumlah, tetapi juga sebaran negara tujuan. Awalnya kasus terkonsentrasi di Kamboja, tapi kini telah meluas ke Myanmar, Laos, Vietnam, Malaysia, Filipina, bahkan di luar Asia Tenggara seperti Uni Emirat Arab, Afrika Selatan, dan Belarus. “Jadi ini tantangan dan magnitude-nya sangat besar,” ucap Judha.
Fenomena tersebut juga bukan hanya masalah Indonesia, karena ada 59 negara lain yang warga negaranya juga terjerat dalam jaringan judol dan penipuan daring lintas negara.
Kemenlu menegaskan, kehadiran negara dalam setiap pengaduan kasus menjadi prioritas. Respons cepat melalui perwakilan RI di luar negeri dan penegakan hukum terhadap pihak yang bersalah menjadi langkah utama. Dari total 7.600 kasus, sekitar 1.500 diidentifikasi sebagai korban TPPO berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.
Meski banyak korban, ucap Judha, sebagian WNI diketahui terlibat secara sukarela bekerja di sektor judol dan penipuan daring bahkan sebagai pelaku. Bagi WNI yang dikategorikan korban, mekanisme penanganan sudah tersedia hingga proses rehabilitasi dan reintegrasi. Namun, bagi pelaku, jalurnya jelas menuju proses hukum.
“Yang perlu kita pastikan. Satu, kehadiran negara dalam setiap pengaduan kasus. Jadi kita harus pastikan respons cepat dari negara melalui perwakilan Republik Indonesia,” ungkap Judha. “Yang kedua, tentu masalah penegakan hukum. Siapa yang bersalah, kita pastikan harus mendapatkan proses hukum,” tukasnya. []
Sumber Media Indonesia